SALAT DHUHA, BID’AH ?
Oleh Ustadz : Abdullah Al Jirani
Menurut Jumhur ulama (mayoritas ulama) termasuk di dalamnya madzhab Syafi’i, salat Dhuha hukumnya sunah (Dalam madzhab Syafi’i,tidak sekedar sunah, namun sunah mu’akkadah, sebagaimana dijelaskan Imam An-Nawawi –rahimahullah-). Hal ini berdasarkan hadis qauli (ucapan) dan fi’li (amaliah) langsung dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Diantaranya, hadis dari sahabat Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- :
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ: «صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ»
“Kekasihku (maksudnya Rasulullah) berwasiat kepadaku dengan tiga perkara : (1). Puasa tiga hari pada setiap bulan, (2). Dua rekaat salat Dhuha, (3). Salat witir sebelum tidur.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Namun, dalam kitab “Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab” (4/40), Imam An-Nawawi menyebutkan adanya riwayat dari sahabat Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud yang membid’ahkannya ( Maksudnya, salat Dhuha). Sementara, dalil-dalil yang ada menunjukkan akan kesunahannya. Lalu bagaimana sikap kita yang tepat dalam kondisi seperti ini ? Apakah kita akan membuat kesimpulan bahwa salat Dhuha bid’ah, atau bagaimana ?
Metode kompromi, merupakan metode yang paling baik dalam kondisi seperti ini. Artinya, ucapan dua sahabat di atas harus dikompromikan dengan dalil-dalil yang menunjukkan akan sunah-nya salat Dhuha dengan cara ditakwil (dialihkan kepada makna lain) sehingga bisa terwujud kesesuaian diantara keduanya.
Takwil yang memungkinkan ada tiga : (1). Mungkin hadis-hadis yang menunjukkan anjuran salat Dhuha dan pengamalan nabi terhadapnya belum sampai kepada mereka berdua, atau (2). Mungkin kata “bid’ah” di sini, maksudnya nabi tidak menunaikannya secara terus-menerus,atau (3). Mungkin kata “bid’ah” di sini, maksudnya bid’ah dari sisi kaifiyat (tata cara) perlaksanaannya di masjid dengan bacaan yang dikeraskan.
Tiga takwil inilah yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H) dalam kitab “Al-Majmu’ Syahul Muhadzab” (4/40) :
وَيُتَأَوَّلُ قَوْلُهُ بِدْعَةً عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَبْلُغْهُ الأَحَادِيْثُ الْمَذْكُوْرَةُ,أَوْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُدَاوِمْ عَلَيْهَا أَوْ أَنَّ الْجَهَارَةَ فِي الْمَسَاجِدِ وَنَحْوِهَا بِدْعَةٌ وَإِنَّمَا سُنَّةُ النَّافِلَةِ فِي الْبَيْتِ
“Pernyataan bid’ah beliau di sini harus ditakwil, (mungkin) hadis-hadis yang telah disebutkan belum sampai kepada beliau, atau (mungkin) nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melakukannya secara terus menerus, atau (mungkin) pelaksanaannya di masjid dengan dikeraskan dan yang semisalnya merupakan perkara bid’ah, (karena) salat nafilah (sunah) hanya dilakukan di rumah.”
Dengan demikian, tidak ada lagi pertentangan antara dalil-dalil yang menyunahkan salat Dhuha dengan pernyataan Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud yang telah berlalu penyebutannya. Selain itu, metode takwil seperti ini sebagai salah satu bentuk husnu adz-dzan (baik sangka) terhadap para sahabat Nabi. Karena sangat kecil kemungkinan, mereka memiliki sebuah kesimpulan hukum terhadap suatu ibadah yang bertentangan dengan dalil.
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran, apabila kita mendapatkan pernyataan “bid’ah” dari ulama salaf, terkhusus para sahabat, jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa yang dimaksud bid’ah di sini bid’ah secara istilah syara’ (perkara baru yang tidak ada dalil atau contohnya dari nabi). Masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang harus dipertimbangkan dengan melihat berbagai sisi yang ada. Hal ini bisa dilakukan dengan cara merujuk kepada keterangan para imam-imam mujtahidin yang termaktub dalam kitab-kitab turats mereka. Karena merekalah yang paling pantas untuk menjelaskannya. Jangan sampai kita yang awam dan tidak punya apa-apa ini membuat kesimpulan sendiri. Bahaya !
Faidah lainnya, kita bisa mengerti bagaimana metode para imam mujtahidin sekelas imam An-Nawawi dan yang semisal beliau dalam melakukan istimbath (memetik) sebuah hukum, serta bagaimana metode mereka dalam mengkompromikan berbagai sisi yang sekilas bertentangan.
Mungkin jadi, kalau kondisi ini diserahkan kepada orang awam macam kita, kesimpulan yang akan muncul “salat Dhuha hukumnya bid’ah”. Alasannya ada dua sahabat bahkan lebih yang telah membid’ahkannya. Ini kesimpulan prematur dan bodoh. Orang awam seperti kita ini, yang paling pantas cuma taqlid (mengikuti ulama mujtahid) dengan menukil keterangan dari mereka. Jangan sok-sokan bisa memahami Al-Qur’an dan sunah sendiri, atau merujuk langsung kepada dalil, atau berlagak seperti ulama’ ahli ijtihad. Hal seperti ini hanya akan membuat kacau dan rusak agama ini.
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
19 Juni 2019 ·