𝗔𝗟𝗔𝗦𝗔𝗡 𝗦𝗔𝗬𝗜𝗗𝗜𝗡𝗔 𝗨𝗠𝗔𝗥 𝗠𝗘𝗠𝗘𝗖𝗔𝗧 𝗞𝗛𝗔𝗟𝗜𝗗
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Diantara cara kaum kuffar dan munafiq melampiaskan kebenciannya kepada Islam adalah mereka memburu riwayat- riwayat yang menunjukkan adanya perselisihan diantara para shahabat nabi ridwanallahu ‘alaihim.
Lalu mereka akan membumbui dengan cerita dan analisa versi mereka untuk memburukkan citra para shahabat. Tujuannya jelas agar umat ini tidak lagi percaya, atau sekurang-kurangnya mulai mencurigai, atau minimalnya kehilangan kekaguman terhadap sosok-sosok agung yang menjadi panutan dalam Islam itu.
Termasuk yang sering diangkat adalah riwayat yang akan kita bahas dalam tulisan ini, yakni kisah pemecatan panglima legendaris Islam, sayidina Khalid bin Walid dari jabatannya sebagai panglima perang oleh khalifah Umar bin Khattab.
Musuh-musuh Islam ingin menggiring opini bahwa ini menjadi bukti telah terjadi dendam dan permusuhan antara kedua shahabat Nabi ini. Mereka membawakan riwayat-riwayat sebenarnya sangat bermasalah yang tidak memadai untuk dijadikan argumentasi secara objektif.
Namun sayangnya, karena keterbatasan literasi, informasi sampah dari mereka ini sering ditelan mentah-mentah oleh kebanyakan orang bahkan oleh yang mengaku tokoh agama sekalipun.
Berikut adalah kisah tentang pemecatan sayidina Khalid radhiyallahu’anhu yang sebenarnya. Bersumber dari riwayat yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan, tanpa ada tendensi, rekayasa, apalagi pemutarbalikan fakta.
Saya memulainya dengan alasan-alasan utama mengapa sayidina Umar bin Khattab sampai menetapkan keputusan untuk memberhentikan Khalid bin Walid saat itu. Berikut diantara alasannya :
1. Perbedaan sistem politik Umar dengan khalifah sebelumnya
2. Perbedaan pandangan politik Umar dengan Khalid
3. Menjaga aqidah umat
4. Menjaga Khalid dari sifat ghurur (kagum dengan prestasinya)
Mari kita urai satu persatu point-point diatas :
𝟭. 𝗣𝗲𝗿𝗯𝗲𝗱𝗮𝗮𝗻 𝘀𝗶𝘀𝘁𝗲𝗺 𝗽𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗨𝗺𝗮𝗿 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗸𝗵𝗮𝗹𝗶𝗳𝗮𝗵 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮
Antara sayidina Abu Bakar Shidiq dengan al Faruq Umar bin Khattab, keduanya memiliki cara pandang politik yang cukup berbeda. Hal ini telah menjadi pengetahuan umum karena memang diungkap hampir di semua kitab sejarah yang menceritakan sirah keduanya.
Sayidina Abu Bakar, cenderung mempercayakan sepenuhnya kepada gubernur dan panglima perangnya untuk mengambil kebijakan dan menjalankan roda pemerintahan sesuai ijtihad masing-masing, asalkan tidak keluar dari koridor syariat dan kemaslahatan umat.
Abu Bakar sama sekali tidak mempermasalahkan keadilan dan kemakmuran itu lahir dari keputusannya ataukah hasil ijtihad para bawahannya.
Sehingga di masa pemerintahannya para gubernur dan panglima bebas melakukan tindakan apapun tanpa harus merujuk kepada khalifah, dan Abu Bakar memang tidak suka cawe-cawe dalam masalah kewenangan mereka.
Hal ini sangat berbeda dengan sayidina Umar. Sejak sebelum menjabat sebagai khalifah, beliau sering menyampaikan kritik keras kepada sayidina Abu Bakar yang terkesan terlalu longgar pengawasannya.
Kaitannya dengan Khalid saat itu, Umar pernah keberatan dengan sikap Khalid yang membagi-bagikan harta rampasan perang dalam jumlah yang besar tanpa mau berkonsultasi terlebih dahulu dengan sang Khalifah, sayidina Abu Bakar.
Ketika itu Abu Bakar sebenarnya menerima usul Umar untuk mengkoreksi kebijakan Khalid. Sang Khalifah sempat mengirimkan surat kepada Khalid terkait masalah itu, tapi Khalid memberikan jawaban sebagai berikut :
اما ان تدعني وعملي والا فشأنك وعملك
“Biarkan aku dengan kebijakanku, atau terserah keputusanmu (kalau mau memberhentikanku).”
Mendapat balasan seperti itu, Umar mengusulkan kepada Khalifah agar Khalid dipecat saja, tapi Abu Bakar memilih untuk membiarkan Khalid dengan pilihan politiknya.
Begitu menjadi khalifah, Umar langsung berpidato dengan menjelaskan model kebijakan politik yang ditempuhnya akan sangat berbeda dengan sang pendahulunya. Umar memerintahkan semua gubernur dan panglima perang hanya boleh menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh pusat, dan mereka wajib melaporkan hasilnya secara rutin kepada khalifah.
Para pejabat hanya boleh melakukan ijtihad dengan cara dikonsultasikan terlebih dahulu dengan khalifah. Khalifah yang nanti akan menimbang terlebih dahulu apakah hal itu bisa dijalankan ataukah tidak.
Sayidina Umar melakukan ini karena dalam pandangannya khalifah bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan para gubernurnya kelak di hadapan Allah, dan kesalahan gubernur adalah kesalahan dirinya, tidak bisa diberi udzur (alasan) kalau Khalifah hanya dibebani memilih bawahan yang baik, kalau toh kerjanya kemudian tidak baik, itu urusan dia.
Dalam salah satu petikan pidatonya, amirul mukminin Umar bin Khattab sempat melontarkan pertanyaan :
أرأيتم إذا استعملت عليكم خير من أعلم ثم امرته بالعدل اكنت قضيت علي ؟
“Apa pendapat kalian jika aku memilih pejabat dari orang terbaik dari kalian, lalu aku perintahkan dia untuk berbuat baik dan adil, apakah keputusanku itu cukup untuk kalian ?"
Para shahabat yang hadir menjawab, “Iya, itu cukup.”
Umar membalas dengan tegas :
لا ! حتى انظر فى عمله اعمل بما أمرته ام لا
“Tidak, itu tidak cukup ! Sampai aku mengetahui dengan baik pekerjaannya, apakah ia bekerja dengan baik ataukah tidak.”
Nah di sinilah kemudian para pejabat yang sebelumnya diangkat oleh Abu Bakar ada yang sanggup ada juga yang tidak. Sebagian memilih menyesuaikan diri dengan gaya pemerintahan yang baru, namun sebagian lagi memilih untuk mundur. Diantaranya yang menolak sikap politiknya Umar ini adalah sayidina Khalid bin Walid.
Umar sempat menyurati Khalid untuk tetap bekerja memimpin pasukannya dengan mengikuti instruksi dari pusat, namun Khalid menolak. Dengan alasan bahwa ia berada di medan jihad dan yang lebih paham kondisi lapangan, sehingga lebih tahu kebijakan apa yang hendak diputuskan.
Lagi pula, jika harus dikonsultasikan dengan pusat, maka keputusan selain bisa tidak tepat, juga akan lambat. Dan itu bisa berakibat kebinasaan pasukan yang dipimpinnya.
Akhirnya karena perbedaan pandangan politik inilah, menjadi salah satu pertimbangan sayidina Umar memilih memberhentikan Khalid dari jabatannya.
𝑩𝒆𝒓𝒔𝒂𝒎𝒃𝒖𝒏𝒈 𝒌𝒆 𝒑𝒐𝒊𝒏𝒕 2 ....
_________
Ref : Fashl Khattab fi sirah Umar bin Khatab hal. 372-378, Khalid bin Walid li Shadiq Urjun hal, 321, al Bidayah wa Nihayah (7/115).
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq