Gharimin vs Orang Berhutang
(Problem Terjemah Al-Quran)
by. Dr. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Mustahik zakat nomor urut keenam sesuai surat At-Taubah ayat 60 adalah al-gharimin (الغارمين). Sayangnya bahasa Indonesia tidak punya padanan kata yang tepat dan akurat jadi terjemahannya.
Kalau pun dipaksa cari padanan kata, sebenarnya kurang presisi, sekedar kata yang agak sedikit mewakili, tetapi tetap bukan kata yang tepat.
Faktanya istilah gharimin ini sering diterjemahkan secara mudahnya menjadi orang yang berhutang, walaupun sebenarnya penerjemahan ini agak kurang tepat sehingga seringkali berakibat pada kesalahan fatal.
Sebab kalau sekedar orang yang berhutang, dalam bahasa Arab sudah ada sebutannya, yaitu al-madin (المدين). Dasar katanya adalah dain (دَين) yang artinya hutang.
Padahal yang disebutkan dalam ayat terkait siapa yang berhak mendapatkan harta zakat bukan madin tetapi gharim. Tentu saja kedua istilah itu meski agak mirip-mirip tetapi tetap berbeda maknanya.
Di dalam surat Al-Waqiah ada disebutkan istilah gharam, yaitu :
إِنَّا لَمُغْرَمُونَ
Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian", (QS. Al-Waqiah : 66)
Jadi sekedar seseorang punya hutang, belum termasuk ke dalam kategori gharim, kecuali dia rugi dalam bisnis sampai pailit dan terlilit hutang. Di masa jahiliyah dulu kalau sampai ada pedagang yang bangkrut, pailit dan sampai ke titik terlilit utang dan tidak mampu membayar hutangnya, maka dia harus rela menyerahkan anaknya untuk dijadikan budak.
Kalau belum cukup, maka anak satunya lagi dan lagi dan lagi, sampai akhirnya istrinya pun jadi budak, bahkan akhirnya dirinya pun jadi budak. Sekeluarga semua jadi budak, seperti yang pernah dialami oleh beberapa shahabat yang sekeluarga semua jadi budak, gara-gara pailit dan terkena lilitan utang yang menggurita tidak ada habisnya.
Maka dalam ini Mujahid mendefinisikan istilah gharim dengan redaksi yang lebih lengkap yaitu :
هُمْ قَوْمٌ رَكِبَتْهُمُ الدُّيُونُ مِنْ غَيْرِ فَسَادٍ وَلاَ تَبْذِيرٍ
Kaum yang ditunggangi oleh hutang yang bukan karena fasad atau tabdzir.
Maka datanglah syariat Islam dengan kewajiban zakat demi untuk membela mereka yang pailit ini agar jangan sampai terlilit utang dan menjadi budak. Lalu disebutlah mereka dengan sebutan gharimin.
Tetapi apabila sudah terlanjur terlilit utang yang menggurita dan sudah terlanjur jadi budak, syariat zakat masih memberikan kesempatan agar yang bersangkutan bisa terlepas dari jerat perbudakan, sehingga mustahik pada nomor urut lima justru diberikan kepada para budak (و في الرقاب) agar bisa mencicil kepada tuannya demi mendapatkan pembebasannya.
Maka dua asnaf ini saling terkait erat. Kalau diberikan kepada gharim agar tidak jadi budak, dan kalau diberikan kepada riqab atau budak, untuk program pembebasan dirinya.
Untuk Kebutuhan Mendasar
Seseorang tidak akan menjadi bersatatus sebagai gharim kecuali memang terlilit hutang untuk memenuhi hajat yang paling dasar. Setidaknya demikian menurut mazhab Al-Malikiyah.
Adapun hutang bisnis atau untuk kebutuhan yang sudah melewati kebutuhan paling mendasar, maka tidak termasuk dalam syarat ini.
Dan di masa sekarang, tidak ada pengusaha yang sukses kecuali punya hutang. Begitu juga, di masa sekarang, tidak ada orang kaya kecuali punya hutang.
Bahkan berhutang justru menjadi simbol kekayaan di masa kini. Orang-orang yang didompetnya ada sederet kartu kredit sering diasumsikan sebagai orang kaya.
Padahal kalau kita teliti, orang yang menggunakan kartu kredit untuk berbelanja atau membayar ini dan itu, pada hakikatnya dia sedang berhutang. Lantas apakah orang-orang yang punya sederet kartu kredit itu otomatis berhak menerima harta zakat?
Jawabnya tentu saja tidak. Sebab hutang yang membolehkan seseorang berhak menerima zakat adalah hutang yang dilakukan karena keterpaksaannya untuk menyambung hajat hidup yang paling dasar. Karena saking miskinnya sudah tidak punya apa-apa lagi untuk sekedar menghilangkan rasa lapar, maka terpaksa dia berhutang.
Syarat yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa hutangnya itu bukan hutang dalam rangka bermaksiat kepada Allah.
Maka orang yang berhutang untuk berzina, membunuh orang, mencuri atau modal untuk melakukan korupsi dan seterusnya, maka hutangnya itu tidak boleh dibayar dengan harta zakat.
Sudah Jatuh Tempo
Sudah jatuh tempo berarti bila hutang itu masih lama jadwal pembayarannya, maka belum boleh diambilkan dari harta zakat.
Misalnya seseorang berhutang 10 juta rupiah untuk masa waktu 5 tahun. Maka harta zakat tidak boleh dikeluarkan saat ini, karena masih ada waktu panjang bagi orang yang berhutang untuk bekerja mencari nafkah dan menabung untuk membayar hutang-hutangnya. Juga bisa dilakukan dengan mencicil hutangnya itu.
Tidak Mampu Mencicil
Syarat berikutnya adalah bahwa orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya walau pun dengan mencicilnya.
Di masa sekarang ini, hampir semua orang berhutang dalam arti membeli secara kredit, untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan yang mendasar atau pun kebutuhan yang bersifat tambahan.
Membeli secara kredit itu hutang, tetapi bukan termasuk hutang yang membuat seseorang berhak untuk menerima harta zakat.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat