𝗣𝗘𝗞𝗘𝗥𝗝𝗔 𝗕𝗘𝗥𝗔𝗧 𝗕𝗢𝗟𝗘𝗛𝗞𝗔𝗛 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗕𝗘𝗥𝗣𝗨𝗔𝗦𝗔 ?
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Syariat yang mulia ini akan senantiasa selaras dengan fitrah kehidupan manusia. Itu mengapa dari semua kewajiban agama, akan selalu tersedia udzur yang membolehkan seseorang untuk mendapatkan keringanan dari mengerjakannya, termasuk dalam hal kewajiban puasa di bulan Ramadhan.
Diantara udzur bolehnya seseorang tidak berpuasa yang kemudian bisa di qadha atau dibayarkan fidyah sebagai gantinya adalah kondisi sedang sakit, musafir, ibu hamil atau menyusui dan orang yang sudah tua renta.
Lalu bagaimana dengan keadaan yang ditanyakan, yakni seseorang yang bekerja dengan pekerjaan berat seperti kuli bangunan atau buruh kasar yang berada di bawah terik matahari sepanjang waktu, bolehkah mereka ini tidak berpuasa ?
Para ulama berfatwa bahwa hal ini secara hukum asal tidak masuk ke dalam udzur bolehnya tidak berpuasa. Seseorang bekerja berat tetap wajib berniat untuk berpuasa setiap harinya. Barulah ketika ia mendapati kepayahan yang memberatkan, ia boleh berbuka. Namun jika tidak, ia tetap wajib menunaikan puasanya.
𝟭. 𝗙𝗮𝘁𝘄𝗮 𝗦𝘆𝗮𝗳𝗶’𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵
Berkata al imam al Adzhra’i rahimahullah :
يلزم الحصادين أي ونحوهم تبييت النية كل ليلة، ثم من لحقه منهم مشقة شديدة – أفطر، وإلا فلا.
“Hendaknya para petani dan yang semisalnya untuk menetapkan niat berpuasa di setiap malam, kemudian bila di siang hari saat berpuasa ia mengalami kesulitan yang berat, boleh tidak puasa. Namun apabila tidak mengalami kesulitan, maka tidak boleh berbuka.”[1]
Syaikh Ba’alawi al Hadrami asy Syafi’i rahimahullah berkata :
ويلزم أهل العمل المشق في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية، ثم مَنْ لحقه منهم مشقة شديدة .. أفطر، وإلا .. فلا.ولا فرق بين الأجير والغني وغيره، والمتبرع وإن وجد غيره وتأتى لهم العمل ليلاً
“Para pekerja berat seperti para petani dan lainnya ketika berada di bulan Ramadhan wajib berniat untuk berpuasa. Jika mereka mendapati keletihan yang sangat maka ia boleh berbuka. Jika tidak, maka tidak dibolehkan. Hal ini tidak dibedakan antara buruh kasar, orang yang berkecukupan, atau sekedar pekerja berat yang bersifat relawan.
Namun jika mereka mendapatkan orang lain yang bisa menggantikan posisinya bekerja, atau pekerjaan itu bisa dilakukannya pada malam hari, itu lebih baik baginya.”[2]
𝟮. 𝗙𝗮𝘁𝘄𝗮 𝗛𝗮𝗻𝗮𝗳𝗶𝘆𝗮𝗵
Imam Ibnu Abidin al Hanafi rahimahullah berkata :
المحترف المحتاج إلى نفقته علم أنه لو اشتغل بحرفته يلحقه ضرر مبيح للفطر يحرم عليه الفطر قبل أن يمرض
“Pekerja yang membutuhkan kepada nafkah yang mengetahui jika ia sibuk dengan pekerjaannya akan tertimpa mudharat maka ia boleh berbuka. Tapi ia tidak boleh berbuka sebelum merasakan kepayahan.”[3]
Lebih lanjut beliau menjelaskan :
إذا كان عنده ما يكفيه وعياله لا يحل له الفطر، لأنه يحرم عليه السؤال من الناس فالفطر أولى
“Jika dia punya sesuatu yang sebenarnya cukup untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya, maka tidak halal baginya untuk membatalkan puasa. Namun diharamkan juga untuk meminta-minta kepada orang lain (jika ia membutuhkan). Jika demikian, membatalkan puasa lebih utama dari meminta-minta.”[4]
𝟯. 𝗙𝗮𝘁𝘄𝗮 𝗛𝗮𝗻𝗮𝗯𝗶𝗹𝗮𝗵
Al imam Buhuti al Hanbali rahimahullah berkata :
من صنعته شاقة فإن خاف بالصوم تلفا أفطر ... إن ضره ترك الصنعة، فإن لم يضره تركها أثم بالفطر
“Siapa yang pekerjaannya berat dan jika ia berpuasa akan jatuh kepada kebinasaan maka ia boleh berbuka hal ini kalau ia tertimpa mudharat jika meninggalkan pekerjaannya. Jika ia tidak tertimpa mudharat jika meninggalkan pekerjaannya, berdosa jika ia membatalkan puasanya.”[5]
Juga difatwakan dalam madzhab ini :
يجوز لصاحب العمل الشاق أن يفطر إن خاف بالصوم تلفاً، ويتضرر إن ترك صنعته، وليس لديه ما ينفق منه...أما إن كان لا يتضرر بترك صنعته في رمضان وعنده ما ينفق منه فعليه تركها والقيام بفرض الصيام
“Dibolehkan bagi para pekerja berat untuk berbuka jika ia mengkhawatirkan jatuh kepada kebinasaan jika tetap memaksakan berpuasa dan ia juga akan tertimpa mudarat jika meninggalkan pekerjaannya itu.
Di mana ia tidak punya sumber nafkah selain darinya. Adapun jika ia tidak tertimpa kemudaratan jika meninggalkan pekerjaannya di Ramadhan dan ia punya sumber nafkah lainnya. Maka ia harus meninggalkan pekerjaan itu dan menegakkan kewajiban berpuasa.”[6]
𝟰. 𝗙𝗮𝘁𝘄𝗮 𝗠𝗮𝗹𝗶𝗸𝗶𝘆𝗮𝗵
Imam Malik ketika ditanya tentang orang yang sibuk bekerja hingga tertimpa haus dan lapar lalu berbuka, maka beliau menjawab :
لا ينبغي للناس أن يتكلفوا من علاج الصنعة ما يمنعهم من الفرائض وشدد في ذلك
“Tak sepatutnya bagi seseorang untuk membebani dirinya dalam mengurus pekerjaan hingga membuat ia melanggar kewajiban agama dan ia memberat-beratkan diri dengannya.”[7]
Kelihatannya madzhab Maliki cenderung lebih keras dari fatwa ulama madzhab lainnya dalam masalah ini. Dikecualikan menurut kalangan ini adalah para petani yang sedang kondisi tanamannya siap panen, yang mana jika ia meninggalkannya akan menyebabkan rusaknya harta, maka ia boleh berbuka jika merasakan keletihan ketika bekerja di saat panen tersebut.[8]
𝗦𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝘂𝗸𝘂𝗿𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮
Keadaan darurat seperti yang disebutkan menyebabkan seseorang boleh mengambil keringanan untuk tidak berpuasa. Sebagaimana hal ini didasari oleh sebuah kaidah ushul fiqih yang menyebutkan :
الضرورة تبيح المحظورات
“Keadaan yang darurat menyebabkan dibolehkannya hal-hal yang dilarang.”[9]
Namun agar tidak menyebabkan seseorang jatuh kepada sikap menggampang-gampangkan perintah agama, lalu sedikit- sedikit mengaku udzur.
Atau juga sebaliknya jangan sampai menjatuhkan diri kepada kebinasaan karena terbebani sebuah kewajiban, di sinilah kemudian syariat mengatur qadar kedaruratan dan udzur dari sebuah ibadah.
Sehingga kaidah usul lainnya menetapkan :
الضرورات تقدر بقدرها
“Kedaruratan harus diperkirakan berdasarkan qadarnya.”[10]
Al Imam Nawawi al Bantani rahimahullah ketika menyebutkan udzur sakit yang membolehkan tidak berpuasa, beliau memberikan penjelasan lalu menghubungkan dengan keadaan darurat yang sedang kita bahas ini, beliau berkata sebagai berikut :
فللمريض ثلاثة أحوال إن توهم ضررا يبيح التيمم كره له الصوم ...وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ... وإن كان المرض خفيفا بحيث لا يتوهم فيه ضررا يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم
“Para ulama membagi tiga keadaan orang yang sedang sakit. Pertama, yakni orang yang sedang sakit dengan kategori cukup kritis hingga membolehkannya dia tayammum, maka ia makruh untuk berpuasa.
Kedua, yakni orang yang sakit terbukti kritis atau secara dugaan kuat sedang mengalami kepayahan hingga bisa menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka dalam kondisi seperti ini penderita diharamkan berpuasa.
Dan yang ketiga, kalau sakitnya hanya ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan berat yang membolehkannya tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah.
Maka kasus orang sakit ini serupa dengan pekerja seperti buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka (yakni ada ukurannya).”[11]
Keterangan yang kurang lebih sama juga diberikan oleh Syaikh Ba’alawi al Hadrami asy Syafi’i rahimahullah :
إن لم يتأت لهم ليلا، ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه ... بل لزمه عند وجود المشقة الفطر، لكن بقدر الضرورة. ولا أثر لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر
“Tapi jika tidak bisa, ia boleh membatalkan puasa dengan alasan : (1) Ia tidak mungkin melakukan aktivitas pekerjaannya pada malam hari, (2) Ketika pendapatannya untuk memenuhi kebutuhannya terhenti jika ia tidak bekerja.
Mereka dengan kondisi diatas jika bekerja lalu mendapatkan kepayahan maka dibolehkan membatalkan puasanya, tentu didasarkan pada keadaan yang memang dharurat.
Namun kalau hanya sekadar sedikit pusing atau sakit ringan yang tidak mengkhawatirkan, maka tidak ada pengaruhnya dalam hukum ini (tetap wajib berpuasa).”[12]
Sedangkan dalam fatwa kontemporer semisal dari Lajnah Daimah Arab Saudi menyebutkan :
فإذا لم يتيسر له شيء من ذلك كله واضطر إلى مثل ما ذكر في السؤال من العمل الشاق صام حتى يحس بمبادئ الحرج فيتناول من الطعام والشراب ما يحول دون وقوعه في الحرج ثم يمسك وعليه القضاء في أيام يسهل عليه فيها الصيام
“Maka, apabila tidak dimungkinkan untuk melakukan suatu apa pun dari semua hal yang telah disebutkan (mencari pekerjaan yang lain), sehingga ia benar-benar terdesak dan membutuhkan pekerjaan sebagaimana yang disebutkan di dalam pertanyaan, yaitu pekerjaan yang memberatkan, maka ia harus tetap berpuasa, sampai ia merasakan tanda-tanda kritis (yang membahayakan dirinya).
Barulah jika demikian keadaannya ia diperbolehkan untuk makan dan minum sebatas apa yang dapat mencegahnya dari kritis dan bahaya. Kemudian ia menahan diri (dari makan dan minum), dan wajib baginya untuk mengganti puasanya di hari-hari yang akan datang.”[13]
𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝘁𝗮𝗹 𝗽𝘂𝗮𝘀𝗮𝗻𝘆𝗮 𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯 𝗶𝗺𝘀𝗮𝗸 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮
Dan bagi orang yang membatalkan puasanya, ia diperintahkan untuk tidak makan dan minum sesukanya, apalagi dengan mengumbarnya di hadapan orang banyak. Syaikh al Jazairi rahimahullah berkata :
من فسد صومه في أداء رمضان وجب عليه الإمساك بقية اليوم تعظيماً لحرمة الشهر
“Siapa menunaikan kewajiban puasa Ramadhan lalu batal puasanya, maka wajib atasnya untuk imsak (yakni menahan diri dari makan minum dan segala hal yang dilarang saat berpuasa) pada hari yang tersisa. Hal ini sebagai bentuk pengagungan terhadap bulan ini.”[14]
Ada rincian yang lumayan panjang tentang aturan tetap menahan diri setelah batalnya puasa dari makan dan minum ini, dimana mayoritas ulama mengharamkan termasuk pendapat yang kuat dalam syafi’iyyah sedangkan sebagian memandang sebagai perkara yang disunnahkan.[15]
𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
1. Kebolehan bagi para pekerja berat untuk tidak berpuasa adalah dengan syarat yang ketat, yakni ia membutuhkan hasilnya untuk nafkah keluarga dimana ia tidak bisa mengalihkan pekerjaannya ke orang lain atau menggeser waktunya ke malam hari.
2. Syarat selanjutnya adalah ia merasakan keletihan yang sangat berat jika tetap berpuasa.
3. Ia hendaknya makan dan minum secukupnya agar bisa kembali kuat bekerja. Alias bukan makan dan minum seterusnya sepanjang hari meski sebenarnya tidak lapar dan haus.
Namun jika ia kemudian tertimpa kembali rasa sangat haus atau lapar, ia boleh kembali makan dan minum sesuai kebutuhannya.
4. Bagi yang tidak memenuhi syarat udzur, seperti ia bisa memindahkan pekerjannya di waktu lain atau ke orang lain dan juga tidak merasakan kepayahan, maka ia tetap wajib untuk berpuasa.
Wallahu A’lam.
_________
[1] Fath Mu’in hal. 269
[2] Syarah al Muqadimah al Hadramiyah hal. 559
[3] Hasyiah Ibn Abidin (2/420), Al Fatawa Hindiyah (1/208)
[4] Hasyiah Ibn Abidin (2/114)
[5] Kasyaf al Qina (2/310)
[6] Fiqh Ibadah ala madzhab Hanbali hal. 399
[7] Taj wal Iklil (2/395)
[8] Ibid
[9] Mawahib al Jalil (3/355)
[10] Qawaid al Fiqh hal. 89
[11] Nihayatuz Zain hal. 189
[12] Syarah al Muqadimah al Hadramiyah hal. 559
[13] Lajnah Daimah (10/234-236)
[14] Fiqh ‘Ala Madzhab al ‘Arba’ah (1/519)
[15] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (28/79)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq