BERCANDA MASA SIH NGGAK BOLEH ?
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Tentu saja boleh. Karena hukum asal dari humor, bercanda dan tertawa karena hal yang lucu atau menggembirakan itu adalah mubah.[1] Dalilnya adalah sebuah hadits yang berbunyi :
إِنِّي لَأَمْزَحُ وَلَا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا
“Sesungguhnya aku juga bercanda hanya saja aku tidak mengatakan kecuali yang benar.” (HR. Thabrani)
Karena itulah Nabi ﷺ sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat murah senyum dan juga sering tertawa. Ummul mukminin Aisyah mengatakan :
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ تَبَسُّمًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang paling banyak tersenyum seperti Nabi Muhammad ﷺ.” (HR. Tirmidzi)
Dalam riwayat yang lain beliau berkata :
كَانَ رَجُلًا مِنْ رِجَالِكُمْ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ ضَحَّاكًا بَسَّامًا
“Rasulullah ﷺ adalah seorang lelaki seperti seorang laki-laki yang lain di antara kalian, akan tetapi beliau senang tertawa dan selalu tersenyum.”
Bahkan ada beberapa riwayat canda dan humor Nabi ﷺ ketika bersama keluarganya, shahabatnya dan juga anak-anak kecil. Semua itu menegaskan bahwa bercanda adalah hal mubah yang tidak dilarang dalam Islam.
Barulah kemudian hukumnya bisa berubah karena adanya kondisi tertentu, dari mubah bisa menjadi terpuji atau sebaliknya bisa jatuh ke hukum makruh bahkan diharamkan. Dan memang demikian kaidah umumnya, sesuatu yang mubah itu ada ukuran dan batasannya, bisa dilanggar hukumnya bisa berubah.
Seperti contohnya makan dan minum hukumnya adalah mubah. Kapan ? Selama yang dikonsumsi halal dan tidak berlebihan. Begitu yang dikonsumsi benda haram atau jatuh kepada kemubaziran maka hukum mubah menjadi haram.
Demikian juga dengan bercanda, ada batasan dan rambu-rambu yang harus dindahkan agar hal mubah ini tidak jatuh kepada keharaman. Berikut diantara beberapa terkait canda tawa dan humor yang harus diperhatikan bagi siapapun yang hendak bercanda.
1. Tidak boleh ada unsur kedustaannya
ويل للذي يحدث فيكذب؛ ليضحك به القوم، ويل له، ثم ويل له
"Celakalah bagi orang yang berbicara dengan berdusta agar ditertawakan oleh orang lain. Sungguh celaka baginya.” (HR. Abu Daud)
Al Khadimi berkata :
شرط جواز المزاح قولا أو فعلا أن لا يكون فيه كذب ولا روع مسلم وإلا فيحرم
“Syarat bolehnya humor adalah pembicaraan dan perbuatannya hendaknya tidak mengandung unsur dusta. Jika tidak bisa terjaga dari itu, maka ia diharamkan.”[2]
2. Tidak megandung kekejian berupa ucapan maupun perbuatan
لا تُظهر الشماتة بأخيك فيرحمه الله ويبتليك
"Janganlah kalian membuat celaan kepada saudaramu, Allah bisa saja merahmatinya dan justru kamu yang ditmpa musibah.” (HR. Tirmidzi)
مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لأَبِيهِ وَأُمِّهِ
“Barangsiapa mengacungkan senjata tajam kepada saudaranya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai dia meninggalkan perbuatan tersebut, walaupun saudaranya tersebut adalah saudara kandung sebapak dan seibu.” (HR. Muslim)
3. Hendaknya tidak berlebihan dan dilakukan terlalu sering
وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ
“Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi)
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
المزاح المنهي عنه هو الذي فيه إفراط ويداوم عليه ، فإنه يورث الضحك وقسوة القلب ، ويشغل عن ذكر الله تعالى : ويؤول في كثير من الأوقات إلى الإيذاء ، ويورث الأحقاد ، ويسقط المهابة والوقار ، فأما من سلم من هذه الأمور فهو المباح الذي كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله .
"Canda yang dilarang yaitu bila dilakukan secara berlebihan dan terlalu sering dilakukan. Karena yang seperti itulah yang bisa mengeraskan hati, melalaikan dari dzikir kepada Allah, menyia- nyiakan waktu, menanamkan kebencian, menjatuhkan wibawa dan kehormatan. Adapun jika tidak terlalu sering maka ia mubah saja, sebagaimana Rasulullahﷺ juga melakukannya."[3]
4. Tidak memalingkan dari dzikrullah dan melalaikan dari ibadah
كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ فَهُوَ لَعِبٌ ، لَا يَكُونُ أَرْبَعَةٌ: مُلَاعَبَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ ، وَتَأْدِيبُ الرَّجُلِ فَرَسَهُ، وَمَشْيُ الرَّجُلِ بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ، وَتَعَلُّمُ الرَّجُلِ السَّبَّاحَةَ
“Setiap hal yang tidak mengandung dzikrullah hanyalah permainan, kecuali empat; seorang suami ‘bermain’ dengan istrinya, atau melatih kuda, atau berjalan di antara dua tujuan, serta belajar berenang.” (HR Nasa'i).
Al imam Khatib al Baghdadi rahimahullah berkata :
يجب على طالب الحديث أن يتجنَّب اللَّعبَ والعبث والتبذُّل في المجالس بالسخف، والضحك والقهقهة، وكثرة التنادر، وإدمان المزاح والإكثار منه؛
"Khususnya bagi para penuntut ilmu, hendaknya mereka menjauhi banyak bermain- main, melakukan kesia- siaan, ketawa- ketiwi, bercanda di majlis ilmu, tertawa sampai terpingkal- pingkal, terkekeh- kekeh.”[4]
5. Tidak ada unsur yang membuat takut atau menyakiti orang lain
لا يحل لمسلم أن يروع مسلماً
"Tidak halal bagi seorang muslim menakut- nakuti muslim lainnya." (HR. Abu Dawud)
6. Tidak menjadikan wilayah agama sebagai bahan candaan
Menjadikan agama sebagai bahan olokan yang ada unsur penghinaan bukan hanya diharamkan, tapi bisa menjadikan pelakunya jatuh ke dalam hukum murtad karena melakukan istihzah biddin (melecehkan agama).[5]
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُ ۗ قُلْ اَبِاللّٰهِ وَاٰيٰتِه وَرَسُوْلِه كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ
"Dan jika kamu tanyakan kepada orang-orang munafik (tentang apa yang mereka lakukan) tentulah mereka akan menjawab : 'Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja', katakanlah : 'Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kalian selalu berolok-olok ?" (QS. At Taubah : 65)
Hanya di sini perlu penjelasan lebih lanjut, karena ada sebagian orang yang mengira semua yang menyangkut agama tidak boleh dijadikan sebagai candaan. Karena pada kenyataannya,ulama juga terkadang membalas keisengan seseorang dengan ayat al Qur’an, lucu, tapi menohok.
Dan itu bukan bagian dari melecehkan agama tentunya. Silahkan baca di kitab yang membahas masalah ini semisal al Adzkiya karya imam Ibnu Jauzi.
7. Disesuaikan tempat dan kondisinya
اقتصر في مزاحك ، فإن الإفراط فيه يُذهب البهاء ، ويجرّئ عليك السفهاء
"Kurangi dari terlalu banyak canda, karena canda yang berlebihan bisa menghilangkan kewibawaan seseorang, dan membuat orang-orang bodoh berani kurang ajar kepadamu."[6]
Seseorang berkata kepada imam Sufyan bin Uyainah kalau bercanda itu bukan hal yang baik. Beliaupun membantah dengan mengatakan :
بل هو سنة ، ولكن لمن يُحسنه ويضعه في موضعه
“Justru canda itu adalah sunnah, bagi yang bercanda dengan baik dan bisa meletakkan pada tempatnya."[7]
Imam al Munawi rahimahullah berkata :
المداعبة مطلوبة مَحبوبة؛ لكن في مواطن مخصوصة، فليس في كلِّ آنٍ يصلح المزاح، ولا في كلِّ وقتٍ يحسن الجدُّ، (كما في "فيض القدير
"Bermain, bercanda adalah hal yang baik, tetapi di kondisi yang sesuai. Tidak baik pada setiap keadaan bercanda sebagaimana tidak baiknya terlalu selalu serius di setiap waktu."[8]
Humoris yang ideal
Bagi seorang muslim yang memang berperangai periang dan cenderung humoris, tidak harus ia mematikan karakter dan tabiat bawaannya tersebut atas nama ingin serius memburu negeri akhirat. Lalu berubah menjadi pendiam bahkan cenderung pemurung, banyak menangis dan memasang wajah sedih.
Karena tabiat yang periang, murah senyum dan suka bercanda dengan cara yang baik, juga dipuji dan disenanhi oleh orang-orang shalih sebagai perilaku yang utama. Bilal bin Sa’id berkata :
أدركتهم يشتدون بين الأغراض ، ويضحك بعضهم إلى بعض ، فإذا كان الليل كانوا رهباناً
"Aku telah mendapati adanya orang-orang yang begitu bersungguh- sungguh dalam uapaya menggapai cita-cita mereka, namun mereka tetap tertawa satu sama lain. Dan bila malam hari tiba mereka berubah menjadi pendeta (ahli ibadah).”[9]
Bahkan embahnya orang serius, yang dikenal begitu “angker“ seperti sayidina Umar radhiyallahu’anhu pernah berkata :
إنِّي ليعجبني أن يكون الرَّجل في أهله مثل الصَّبي، فإذا بُغي منه حاجة وُجد رجلاً
"Sungguh telah membuatku kagum, seseorang yang ketika di tengah keluarganya bersikap seperti anak kecil (banyak bercanda) namun ketika dalam masalah hajat kebutuhan dia tampil sebagai lelaki yang sebenarnya.”[10]
Ibnu Umar pernah ditanya :
هل كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يضحكون
“Apakah dahulu shahabat-shahabat Nabi ﷺ itu bercanda ?”
Beliau pun menjawab :
. نعم ، والإيمان في قلوبهم مثل الجبال .فعليك بأمثال هؤلاء
Beliau menjawab : "Iya, dan iman di hati- hati mereka bagaikan gunung. Jadilah kalian itu seperti mereka.”[11]
Semoga bermanfaat.
____________
[1] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (37/43)
[2] Syarh Thariqah Muhamadiyah (4/17)
[3] Al Adzkar li Nawawi hal. 326
[4] Jami li Akhlaq ar Rawi (1/156)
[5] Al Mausu’ah Fiqihiyyah al Kuwaitiyyah (13/231).
[6] Dalil al Wa’id (1/329)
[7] Dur al Muntaqah (10/220), Faidh al Qadir (3/13)
[8] Faidh al Qadir (3/18)
[9] Mushannaf li Abi Syaibah (14/423)
[10] Mirah fi al Mizah hal. 24
[11] Mirah fi al Mizah hal. 57
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq