KENAPA KALIAN TIDAK LANGSUNG BELAJAR AL UMM ??
Sering rasanya pertanyaan di atas dilontarkan sebagian kalangan kepada penganut Madzhab Syafi'iyyah bahkan sebagian dari mereka pun dengan semangat mengkaji kitab Al Umm di majelisnya sembari mengaku "lebih syafi'i" dari yang lain.
Pertanyaan di atas lumrah memang dilontarkan tapi sebenarnya penganut Syafi'iyyah di masa setelah Imam Nawawi dan Ar Rofi'i bahkan setelah generasi keduanya yaitu ibnu hajar al Haitami dan Ar Romli punya alasan tidak merujuk langsung ke Al Umm.
Berikut di antaranya:
1. Materi yang ada di Al Umm masih mentah belum matang sehingga tidak bisa langsung diterapkan.
Lumrah memang bentuk kitab di masa lalu isinya tanya jawab antara guru dan murid artinya kitab tersebut adalah hasil catatan seperti halnya Al Umm ini sehingga untuk bisa memahami isi Al Umm perlu dipahami juga konteks dari yang disampaikan Imam Syafi'i tersebut, lalu dari mana kita bisa paham konteks itu ? Jawabnya dari murid-murid As Syafi'i yang murid itu ajarkan ke murid-muridnya dan seterusnya sampai ke Imam Nawawi dll.
2. Di kitab Al Umm dan kitab sezamannya yang ditulis ulama' Syafi'iyyah banyak silang pendapat.
Nah, silang pendapat di sini maksudnya baik dari Imam Syafi'i sendiri antara pendapat lama dengan baru atau sama-sama baru tapi beda konteks dan juga sesama ulama' Syafi'iyyah di zaman dulu, oleh karena itu Imam Nawawi sendiri melarang merujuk langsung ke kitab ulama' Syafi'iyyah yang ada di masa sebelum beliau, alasannya karena banyak perbedaan pendapat dalam satu kasus sehingga tidak jelas mana yang betul rajih (kuat) pendapatnya sedangkan tidak semua orang punya kemampuan mentarjih sekelas Imam Nawawi.
Sedangkan Imam Nawawi sendiri telah memilah pendapat para ulama' Syafi'iyyah tersebut dan memilih yang rajih.
3. Al Umm tidak memuat semua perkataan dan pendapat Imam Syafi'i sehingga merujuk pada Al Umm saja tidak cukup untuk memahami pendapat beliau secara utuh.
4. Tidak ada yang lebih paham dengan perkataan dan pendapat Imam Syafi'i melebihi ulama' Syafi'iyyah sendiri khususnya Imam Nawawi.
Alasan keempat ini terkesan "sombong" tapi memang kenyataannya begitu, yang tahu isi dapur ya pemilik dapur itu. Bahkan Ibnu Hajar Al Haitami secara tegas berkata "TIDAK BOLEH MENGIKUTI FATWA ORANG YANG MENYELISIHI IMAM NAWAWI MESKIPUN ORANG ITU BERDALIH DENGAN TEKS AL UMM"
Alasannya karena nomor 3 itu, bisa jadi ada perkataan imam Syafi'i yang tidak kita ketahui sedangkan yang kita baca cuma Al Umm, yang paling paham tentang keseluruhan pendapat Imam Syafi'i tentu ulama' Syafi'iyyah.
Terkait dengan kasus menyelisihi imam Nawawi seorang Ibnu Hajar pun pernah mengalaminya.
Ceritanya dulu banyak Ulama' Syafi'iyyah yang berpendapat bahwa ketika shalat berjamaah posisi imam boleh lebih tinggi dari makmum kalau di dalam masjid sedangkan kalau di luar masjid perbedaan tinggi posisi ini hukumnya makruh, mereka ini berdalil dengan teks pendapat imam Syafi'i di Al Umm.
Lain halnya Imam Nawawi, beliau berpendapat bahwa posisi imam yang lebih tinggi dari makmum hukumnya makruh baik di dalam masjid atau di luar masjid.
Nah, ibnu hajar Al Haitami pilih pendapat yang disebutkan di Al Umm karena beliau mengira Imam Nawawi tidak sejalan dengan Imam Syafi'i.
Berjalannya waktu setelah Ibnu Hajar makin luas "piknik" kitab Syafi'iyyah akhirnya beliau menemukan teks pendapat Imam Syafi'i yang sejalan dengan pendapat Imam Nawawi bahkan disebutkan dalam teks itu bahwa beliau (Imam Syafi'i) berpendapat walaupun imam di dalam Ka'bah (lebih tinggi) dan makmum di luarnya (di bawah) hukumnya makruh.
Akhirnya, Ibnu Hajar Al Haitami angkat tangan dan mengakui bahwa Imam Nawawi lebih paham tentang pendapat Imam Syafi'i dibanding dirinya.
Nah, itu sekelas Ibnu Hajar Al Haitami lho lalu apa kabar dengan kita yang baru hijrah, baca Al Umm pakai terjemahan?? 😄😄
Semua penjelasan saya di atas merupakan penjabaran dari satu halaman dari kitab Al Fawaid Al Madaniyyah yang saya screenshot di bawah ini.
Itu baru satu halaman, kalau mau lebih lagi ya ngaji lama gak bisa dengan dauroh seminggu 😄😄
Sumber FB Ustadz : Muhammad Salim Kholili