Jangan Memantaskan diri diatas kapasitas diri
Oleh : Rahmat Taufik Tambusai
Tidak pantas melabel seseorang muslim sebagai ahli bidah, jika status hukum suatu amalan tidak disebutkan secara jelas dan pasti dalam Al Quran dan Hadits akan keharamannya.
Sebagai contoh rokok, tidak ada satu ayat dan hadits secara jelas dan tegas menyebutkan keharamannya, jika ada ulama mengatakan haram dan yang lain mengatakan makruh, maka hukum tersebut berlaku bagi yang meyakininya sesuai pendapat yang diambilnya.
Jika yang mengambil pendapat haram, maka keharamannya hanya untuk dirinya, dan tidak boleh memaksakannya untuk orang lain, karena Allah sendiri tidak menyatakan secara jelas dan tegas, diserahkan kepada umatnya sesuai kesimpulannya terhadap ayat dan hadits yang ada kaitannya dengan menjaga keselamatan jiwa.
Apabila dipaksakan pendapatnya kepada yang mengambil pendapat makruh, maka akan menimbulkan perkelahian dan perpecahan.
Kira - kira bagaimana reaksi, ada orang sedang merokok, tiba - tiba dikatakan kepadanya, bro rokok itu haram, yang melakukannya dosa, tempatnya di neraka bro.
Tidak pantas menuduh seorang muslim sebagai ahli bidah, jika status suatu amalan masih bersumber dari Al Quran dan hadits, hanya karena berbeda dalam menyimpulkan hukumnya, dan yang menyimpulkannya ulama otoritatif di bidangnya.
Sebagai contoh bersentuhan suami istri apakah membatalkan wudhu ? Dalam Mazhab syafii batal, sedangkan dalam mazhab hanafi tidak batal, padahal ayat yang dipakai sebagai dalil sama.
Ketika terjadi perbedaan seperti ini, maka orang yang bermazhab syafii tidak boleh memaksakan pendapatnya kepada orang yang bermazhab hanafi, lalu mengatakan kalian tidak mengikuti Al Quran dan sunnah, dan kalian ahli bidah.
Tidak pantas memvonis seorang muslim sebagai ahli bidah, jika hadits yang dipakainya dalam menetapkan hukum suatu amalan, masih diperselisihkan oleh ulama dalam kesahihannya.
Sebagai contoh azan di telinga bayi yang baru lahir, imam Tirmidzi dan imam nawawi menshahikan kesunnahan azan ditelinga bayi yang baru lahir, sedangkan yang lain mengatakan dhaif.
Jika terjadi dua penilaian ulama dalam status satu hadits, maka bagi yang mengambil pendapat hadits tersebut dhaif tidak boleh memaksakan pendapatnya, karena masih ada ulama yang otoritatif yang menilainya shahih.
Tidak pantas menghukumi seorang muslim sebagai ahli bidah, selama amalan tersebut tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits nabi.
Sebagai contoh maulid nabi, merupakan sarana dakwah, di dalamnya dibacakan ayat al Quran, sholawat, sejarah nabi, cinta nabi dan tausiah.
Bacaan Al Quran, sholawat dan tausiah merupakan ajaran islam, lalu dikemas dengan tema maulid nabi.
Tidak pantas menyalahkan seorang muslim sebagai ahli bidah, selama amalannya didasari ijma dan qias.
Karena ijma dan qias diakui oleh Al Quran dan hadits nabi, kemudian disepakati ulama sebagai sumber hukum dalam islam setelah Al Quran dan hadits.
Selama qiasnya sesuai dengan syarat dan rukunnya maka hukum yang dihasilkannya diakui sebagai produk hukum, maka tidak boleh menuduhnya sebagai perbuatan bidah dan tempatnya di neraka.
Sebagai contoh azan dua kali, merupakan ijma para sahabat, semenjak diberlakukan oleh usman bin affan tidak ada satu sahabat pun yang mengingkarinya.
Ijma diakui oleh syariat, karena diakui oleh syariat maka dijadikan salah satu sumber hukum dalam agama, siapa yang menyelisihi sumber hukum, sama halnya menyelisihi syariat itu sendiri.
Contoh yang lain, azan ketika meletakkan jenazah di liang lahat, sebagian ulama membolehkannya dengan metode qias, yang mana diqiaskan kepada bayi yang baru lahir.
Tidak pantas membidahkan amalan seorang muslim, dengan pendapat yang berbeda dengan yang diyakininya benar.
Sikap kita dalam hal perbedaan ulama dalam status hukum suatu amalan, diantaranya tidak meletakkan pendapat yang kita yakini kebenarannya kepada orang yang tidak sependapat dengan kita.
Kemudian tidak menginjak pendapat ulama yang berbeda dengan pendapat ulama yang kita pakai, dengan menganggap pendapat ulama tersebut salah dan sesat, sebab pendapat ulama tersebut juga berdasarkan kepada sumber hukum islam yang empat ; Al Quran, hadits, ijma dan Qias.
Hanya karena kejahilan kita, sehingga kita tidak paham syariat ini sebagaimana pemahaman mereka.
Sudah berapa guru yang kita datangi, sudah berapa buku yang kita baca, sudah berapa kali kita muzakarahkan pemahaman kita dihadapan orang alim ?
Sejarah telah mencatat, antara imam yang empat Imam Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin hambal, tidak ada diantara mereka saling menjatuhkan ketika ada perbedaan pendapat diantara mereka selama tidak keluar dari Al Quran dan sunnah.
Memantaskan diri diatas kapasitas diri merupakan bentuk kebodohan, apalagi tidak mempunyai kapasitas sedikit pun, maka itu kebodohan diatas kebodohan.
Yang Pantas untuk diri kita adalah belajar, belajar dan belajar.
Dalu - dalu, Minggu 4 September 2022
Yuk umroh yang minat hubungi kami.
Sumber FB Ustadz : Abee Syareefa
4 September 2022 pada 08.44 ·