MENGAPA TANGGAL LEBARAN IDUL ADHA KITA BERSELISIH DENGAN LEBARAN DI MAKKAH ?
oleh Ustadz Luthfi Bashori
Berikut sedikit bincang-bincang tentang pelaksanaan shalat Idul Adha 1443 H/2022 M.
PENANYA: Mengapa Lebaran Idul Adha kita berbeda waktunya dengan pelaksanaan di Makkah ?
SAYA: Ya, karena perbedaan Mathla' menyebabkan beda waktu Hari Raya Idul Adha di Indonesia dengan di Makkah.
Yang dimaksud dengan Mathla’ yaitu tempat terbitnya hilal di suatu wilayah (negara)’.
Seiring dengan perjalanan bulan dan matahari, pergantian siang dan malam, sehingga menyebabkan perbedaan terbitnya hilal di masing-masing wilayah.
Tidak mustahil memunculkan perbedaan, manakala hendak menentukan pelaksanaan perkara-perkara ibadah, seperti awwal Ramadhan, hari Lebaran ataupun haji, dan aktifitas ibadah lainnya.
PENANYA: Mengapa tidak diseragamkan saja di seluruh dunia, misalnya harus ikut waktu Makkah ?
SAYA: Memang ada kelompok memahami seperti itu, termasuk mengingkari keputusan pemerintah dari negara mana pun, selain meyakini satu khilafah untuk umat Islam seluruh dunia.
Termasuk dalam masalah Rukyah Hilal menurut mereka mewajibkan umat Islam ikut mathla' (tempat Rukyah Hilal) di Makkah.
Padahal ulama Aswaja memandang, bahwa setiap wilayah / negara itu mempunyai mathla' masing-masing, jadi tidak harus ikut/sama dengan Makkah.
Dalam penentuan Idul Adha tahun ini, menurut info/berita, bahwa Tim Rukyah Depag bersama Tim ormas-ormas Islam lainnya, TIDAK BERHASIL melihat HILAL, maka diputusilah bulan Dzul Qa'dah itu dengan metode istikmal, yaitu 30 hari, maka tanggal 1 Dzul Hijjah jatuh pada hari Jumat, atau tgl 1Juli. Dengan demikian maka pelaksanaan Idul Adha jatuh pada hari Ahad, 10 Juli.
PENANYA: Apa umat Islam Indonesia harus ikut ketentuan pemerintah dalam menentukan hari Raya Idul Adha ?
SAYA: Kalau menurut bahasa Fiqih, umat Islam harus ber-istikmal, 30 hari, bila mana Tim Rukyah di daerahnya tidak berhasil melihat/rukyah Hilal (bulan Tsabit) semisal karena tertutup awan/mendung.
Demikian juga menurut pendapat terkuat dari para ulama Aswaja, bahwa Hilal yang dinyatakan berhasil di-rukyah itu, jika ketinggiannya paling tidak 3 derajat di atas ufuk.
Jika keberhasilan Tim Rukyah sesuai standar tersebut, maka ormas-ormas Islam bersama Depag akan meng-itsbat hasil Rukyahnya, dan ini berarti keesokan harinya wajib (berlebaran Idul Fithri atau) menentukan tgl 1 Dzul Hijjah.
Namun jika ada Tim Rukyah yang berhasil melihat Hilal, tapi tidak diitsbat oleh pemerintah karena suatu sebab, misalnya karena standar derajatnya dianggap kurang memenuhi syarat, maka umat Islam yang ada di sekitar daerah mathla' tersebut boleh pilih, percaya terhadap hasil rukyah Tim, dan ikut Tim pelaksana Rukyah, artinya keesokan harinya berlebaran, atau akan ber-istikmal 30 hari, hingga lebarannya ditunda sehari lagi. Jadi istilahnya itu ISTIKMAL, bukan ikut pemerintah.
PENYANYA: Lantas bagaimana dengan pelaksanaan puasa Sunnah Arafah, kan bingung harus ikut yang mana ?
SAYA: Puasa Arafah itu tidak terikat dengan pelaksanaan Wukuf di Arafah sesuai dengan hitungan Tim Rukyah Makkah, tapi puasa Arafah itu dilaksanakan karena bertepatan dengan tanggal 9 Dzul hijjah sesuai dengan mathla' atau hitungan wilayah/negara masing-masing.
Begitu juga sebaliknya, Wukuf di Arafah itu dilaksanakan bukan karena orang di luar Makkah sedang berpuasa, tapi karena bertepatan dengan tanggal 9 Dzul hijjah mengikuti perhitungan hasil Tim Rukyah Makkah. Untuk beribadah itu kita mengikuti standar waktu bukan standar tempat.
Misalnya, kita wajib shalat Jumat (Jumatan) di masjid itu karena WAKTU nya sudah masuk Adzan Dhuhur di hari Jumat, bukan karena kita ketemu Masjid lantas diwajibkan shalat Jumat.
PENANYA: Sebagai ummat dalam masyarakat kita ingin adanya kesatuan pendapat. Ummat Islam di Belanda pernah mengajukan usul agar Idul Fitri dan Idul Adha dijadikan libur nasional, tapi ditanya kapan? Sehari sebelumnya.
Ya nggak bisa ya harus setahun sebelumnya untuk menyusun program tahunan.
Sebelum Indonesia punya masjid Al Hikmah di Den Haag dan belum memakai hisab kita nyewa gedung olahraga untuk shalat Ied yang harus disewa untuk 2 hari walaupun hanya dipakai sehari. Mereka tidak mau dirugikan. Yang rugi kita. Mengapa kalau waktu shalat bisa dan mau bersatu?
Bagaimana kacaunya kalau tidak bersatu untuk waktu shalat?
SAYA: Kalau pertanyaan seperti itu, maka ada dua tinjauan yang terjadi:
1. Tinjauan politis (perjuangan umat Islam).
2. Tinjauan hukum fiqih.
(Tata cara beribadah sesuai ilmu fiqih).
Kadang keduanya sinkron. Tapi kadang harus memilih salah satunya, mana yg perlu didahulukan, apakah mendahulukan masalah SYIAR ISLAM, atau mendahulukan KEABSAHAN IBADAH yang diutamakan ?
Tentang pilihan dari dua hal ini saja, saya kira jangankan dari seluruh umat Islam, bahkan dari anggota satu group WA saja, tentu akan terjadi adanya pandangan yang berbeda-beda.
Wallahu a'lam.
_____________
FAEDAH TERJEMAHAN KITAB ASSIYAR
Dalam Kitab Assiyar, bab kewajiban Jihad, disebutkan:
ثم نقل اعني صاحب الخادم عن القاضي شرف الدين البارزي انه قال: ويحتمل انه لما حج رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى هلال وذي الحجة بين مكة والمدينة ليلة الخميس وغم على أهل المدينة فلم يروا هلال ذي الحجة الا ليلة الجمعة.
Kemudian dinukil oleh Shahibul Khadim dari Alqadhi Syarafuddin Albarizi beliau mengatakan: "Kemungkinan besar, di saat Rasulullah SAW melihat (Rukyah) Hilal (masuk awwal) bulan Dzul Hijjah saat di tengah perjalanan dari Madinah ke Makkah pada hari Rabu malam Kamis, sedangkan bagi orang Madinah terjadi mendung hingga mereka tidak dapat melihat (Rukyah) Hilal itu kecuali pada hari Kamis malam Jumat."
Ket:
Di jaman Nabi SAW pernah terjadi perbedaan penentuan awwal masuk bulan Dzul Hijjah antara orang yang berangkat Haji (ke Makkah) dengan penduduk Madinah yang tidak berhaji dengan selisih satu hari. Tentunya perbedaan Rukyah ini juga berpengaruh kepada perbedaan penentuan kapan tanggal Wukuf di Arafah (Makkah) dan kapan penentuan pelaksanaan Idul Adha di Madinah yang berselisih satu hari, antara hitungan orang Makkah dengan orang Madinah.
Wallahu a'lam.
Sumber FB Ustadz : Luthfi Bashori
1 Juli 2022 pada 21.13 ·