Anak Yatim dalam Al-Quran
Kita di zaman sekarang terlanjur membatasi bahwa anak yatim adalah anak kecil dan MISKIN yang ditinggal mati ayahnya.
MISKIN disini sengaja saya tulis dengan huruf besar, karena titik tekannya justru pada kemiskinannya. Itu yang lebih sering kita pahami dari istilah yatim secara subjektif.
Padahal Al-Quran sendiri ketika bicara tentang anak yatim, justru malah tidak menekankan pada kemiskinannya. Coba perhatikan ayat berikut ini :
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) (QS. Al-Isra : 34)
Al-Quran justru bicara tentang anak yatim dalam status sebagai pemilik harta yang banyak. Makanya istilahnya justru maalal-yatim (مال اليتيم) yang artinya : harta anak yatim.
Ayatnya mengingatkan agar kita jangan mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang baik.
Disini terjadi kontradiksi, yatim tapi kok punya harta? Bagaimana maksudnya ini?
Kita di zaman sekarang mencoba menafsirkan dengan konteks zaman kita, yaitu jangan mengkorupsi santunan dana untuk anak yatim.
***
Padahal di zaman kenabian, kasusnya tidak seperti zaman sekarang. Anak Yatim yang dimaksud adalah anak dari seorang yang kaya raya, lalu dia meninggal. Harta warisannya bejibun, tapi ahli warisnya masih kecil belum cukup umur, karena itu disebut yatim.
Harta milik anak itu jangan didiamkan, karena akan habis dengan sendirinya digerogoti kewajiban zakat.
Agar tidak terkena zakat, harta itu wajib diputar sebagai modal usaha bisnis. Nah, ayat ini turun kepada pihak yang menjalankan bisnis dengan modal milik anak yatim itu. Pesannya, jangan kau makan dengan curang. Makan lah dengan cara bagi hasil yang baik.
Coba perhatikan ayat lain terkait dengan harta anak yatim lagi.
وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
Barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS. An-Nisa : 6)
Padahal terlanjur berkembang pemahaman agama di tengah kita bahwa makan harta anak yatim itu haram secara total, sedikit atau banyak, pokoknya harta anak yatim jangan diotak-atik, diamkan saja dan simpan.
Awas kalau ada berani dekat-dekat, ancamannya tidak berkah hartanya dunia akhirat.
Begitulah para guru ngaji kita memberi nasehat. Dan itu benar sekali. Tidak ada salahnya.
Hanya saja kalau kita baca ayat ini, justru aneh. Ayat ini justru memerintahkan kita yang faqir ini untuk makan harta anak yatim, asalkan dengan batas yang wajar alias ma'ruf.
Lalu bagaimana sampai muncul perintah makan harta anak yatim, kalau yang kita pahami tentang anak yatim itu sebatas anak kecil miskin yang tidak punya ayah?
Kalau kita batasi anak yatim hanya sebatas anak kecil miskin tak berayah, pastinya semua anak yatim tidak punya harta. Kalau tidak punya harta, bagaimana mau dimakan hartanya?
* * *
Jawabnya kembali lagi ke konteks ayat Al-Quran, bahwa yang dimaksud anak yatim bukan anak orang miskin yang mati tidak berharta. Justru sebaliknya, anak yatim dalam konteks ayat itu adalah orang kaya yang wafat meninggalkan warisan harta kekayaan besar dan jadi milik anaknya yang masih kecil.
Beda jauh pengertian yatim di ayat ini dibandingkan dengan di zaman kita sekarang.
Kita zaman sekarang membatasi yatim hanya sebagai anak orang miskin yang meninggal. Jadi tidak ada harta warisan bejibun.
Sedangkan ayat Qur'an bicara tentang milyuner yang masih kecil, karena dapat warisan kekayaan dari ayahnya.
NOTE
1. Memelihara anak yatim miskin di masa kenabian adalah mengasuhnya di rumah kita sendiri. Seperti ketika Nabi SAW masih kecil, diasuh oleh kakek dan pamannya. Sudah seperti anak sendiri.
2. Sedangkan di masa modern, anak yatim miskin diasuh bukan di dalam rumah tangga atau keluarga, tapi di asrama yang bernama : ASRAMA/PANTI YATIM. Tetap tidak punya sosok ayah.
3. Di zaman kenabian tidak ada panti yatim. Jadi gak mungkin di masa itu Al-Quran bicara hal-hal yang belum ada wujudnya. Saat ayat itu diturunkan, konteksnya adalah ada harta kekayaan milik anak yatim, yang wajib diputar dan dijadikan modal bisnis alias dibisniskan.
Ini justru merupakan perintah, agar harta waris milik anak yatim itu tidak habis dimakan zakat.
Tapi pengelola harta itu harus amanat, jujur dan profesional. Jangan sampai dia berlalu curang dalam pembagian hasil keuntungan.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
5 Mei 2022