POLEMIK HADITS DO'A PUASA
Ada dua hadits tentang do'a berbuka puasa yang kerap memantik perselisihan sebagian kaum muslimin dan bahkan tak jarang juga jadi ajang merendahkan satu dengan yang lain.
Hadits do'a buka puasa tersebut adalah:
ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله
"Dahaga telah pergi, urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan, insya Allah.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai).
Dan hadits do'a buka puasa yang umum dibaca kaum muslimin:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah, aku berpuasa hanya untuk-Mu dan aku berbuka dengan rezeki-Mu. (HR. Abu Dawud).
Hadits pertama dihukumi shahih atau hasan oleh banyak ulama' dan hadits kedua dihasankan oleh ulama', tetapi ia mursal (hadits yang tidak menyebutkan perawi shahabat).
Hadits mursal yang shahih atau hasan adalah jenis hadits dhaif menurut banyak ulama' hadits muta'akhirin, tapi ia shahih atau sah dibuat hujjah menurut ulama' mutaqaddimin, seperti Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Malik, Imam al-Auzai, Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan lain-lain. Karena itu, Imam Ibn Jarir ath-Thabari pernah membuat testimoni: "Menolak hadits mursal secara absolut adalah bid'ah yang muncul pada awal tahun 200 hijriyah".
Sementara ulama' fikih masih berdebat tentang hukum berhujjah dengan hadits mursal. Dan fakta, bahwa mayoritas ulama' dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan segolongan ahli hadits menerimanya sebagai hujjah. Pembahasan seperti ini bisa kembali kita baca dalam kitab-kitab mustholah hadits.
Kalaupun benar bahwa hadits kedua kita hukumi dhaif berdasarkan pendapat mayoritas ulama' hadits muta'akhirin, maka apa salahnya mengambil hadits itu sebagai do'a? Toch ulama' salaf dan mayoritas kholaf sepakat tidak menolak hadits dhaif secara absolut dalam fadhilah amal dan targhib wa tarhib.
Tetapi mengapa yang populer adalah hadits do'a yang kedua, bukan yang pertama? Jawabnya adalah karena hadits do'a kedua lebih bersifat umum, yaitu berbuka puasa dengan makanan atau minuman. Sementara hadits pertama, menurut banyak ulama', berlaku bagi mereka yang berbuka puasa dengan air minum saja.
Jadi menurut saya, dua hadits do'a diatas sama-sama boleh diamalkan dan tidak terdapat larangan dari ulama' manapun, kecuali orang-orang awam yang merasa pinter dan hatinya dipenuhi sifat takabbur sehingga mudah menghakimi dan merendahkan ulama'. Dan banyak sekali ulama' yang menghimpun dan mengamalkan dua hadits do'a diatas saat berbuka puasa. Jika anda sekalian tidak setuju, maka tunjukkan kepada saya manakah ulama' muktabar, baik salaf atau kholaf, yang melarang berdo'a dengan hadits kedua?
Justru dengan melarang dan merendahkan do'a yang kedua dapat melahirkan hal-hal negatif. Seperti:
1. Merendahkan keilmuan ulama' besar dari berbagai mazhab yang mengamalkan do'a berpuasa yang kedua. Dan itu bukan sikap yang baik dalam beragama.
2. Bersikap tidak amanah secara ilmu, sebab mengamalkan hadits dhaif dalam fadhilah amal adalah boleh menurut kesepakatan mayoritas ulama'. Apalagi hadits mursal yang shahih atau hasan masih diperdebatkan ulama', apakah ia masuk kategori hadits shahih atau dhaif.
3. Membid'ahkan amalan yang tidak seharusnya keluar vonis tabdi'. Betapa bahayanya vonis ini dalam hidup beragama dan berbangsa.
4. Mengajak kaum awam yang fanatik dan taqlid akut kepada ustadznya untuk terus bergaduh dengan kaum muslimin lain dalam masalah yang tidak urgent atau prinsip, karena sikap takabbur atau kesombongannya.
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur
6 April 2022 pukul 07.12 ·