TAHLILAN SUNNAH?
Mau tahlilan atau kenduri selamatan berpahala dan tidak melanggar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam? Maka mari kita kerjakan ketentuan dibawah ini:
1. Suguhan selamatan atau tahlilan jangan diambilkan dari uang warisan yang ahli warisnya masih ada anak kecil atau mahjur 'alaih (termasuk gila). Karena yang demikian menurut ulama' Syafi'iyah adalah tidak boleh. Berbeda dengan ulama' Malikiyah yang memperbolehkan dengan alasan kebiasaan yang menjadi tradisi dikedudukkan seperti ada wasiat dari mayit.
2. Jangan berlebih-lebihan sehingga rela hutang sana hutang sini demi gengsi semata. Karena ini sudah keluar dari tujuan awal yaitu mendoakan mayit.
3. Hidangan yang disajikan kepada tamu tahlilan atau masyarakat hendaklah diniatkan pahalanya juga untuk mayit. Terdapat hadits shahih tentang itu dan bahkan merupakan ulama' ijma'. Termasuk ijma' adalah mendoakan mayit.
4. Menghadiahkan bacaan al-Qur'an dan zikir-zikir kepada mayit dapat sampai kepada mayit menurut mayoritas ulama' Islam.
5. Jangan meyakini tahlilan pada hari-hari tertentu, seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, atau 1000 hari adalah datang (tsabit) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Meyakini yang demikian adalah bid'ah (makruh), karena takhsis bila mukhossis adalah makruh. Cukup tradisi tersebut dikerjakan karena sedekah dan membaca al-Qur'an atau zikir untuk mayit adalah diperbolehkan menurut ulama' Ahlussunnah wal Jama'ah dan hari dan waktu bisa kapanpun, tanpa ditentukan dengan keyakinan harus.
6. Saat mengundang masyarakat hendaklah diniatkan untuk berkumpul membaca al-Qur'an dan zikir bersama-sama. Dan dalil untuk itu sangat banyak. Imam an-Nawawi dalam at-Tibyan telah menjelaskan ini dengan sangat baik.
7. Bagi yang belum bisa membaca surat Yasin (biasanya masyarakat kita membaca surat Yasin) sebaiknya diganti dengan zikir-zikir yang bisa dihafalnya. Jangan memaksakan jika bacaan Qur'an jama'ahnya masih salah atau belepotan semua.
8. Dalam Tahlilan jangan dicampuri hal-hal yang berbau bid'ah munkar atau khurafat, seperti harus dengan membuat makanan khusus untuk arwah mayit, melepaskan burung dara yang diikatkan uang pada kakinya dengan karet, meyakini harus disediakan air kembang dan nanti disiramkan ke kuburan mayit yang didoakan, dan lain-lain.
Jika ketentuan atau poin-poin diatas dapat dikerjakan, maka selamatan yang kita laksanakan insha Allah masih dalam batas-batas bid'ah hasanah yang berpahala. Bahkan tidak melanggar pernyataan Sayyid Zaini Dahlan dalam nukilan Kitab I'anah ath-Thalibin karangan Syaikh Abu Bakr Syatha' yang menyatakan makruh.
Adapun tuduhan bahwa tahlilan adalah tradisi Hindu sepenuhnya tidak dapat dibuktikan secara valid dan cenderung dijadikan ajang propaganda oleh seseorang ustadz yang mengakui mantan orang Hindu untuk menarik simpati jama'ahnya. Termasuk kedustaan sebagian kelompok bahwa tahlilan adalah persembahan kepada dayang-dayang penunggu desa atau ma'tam yang dilarang oleh ulama'.
Membela secara membabi buta tradisi selamatan masyarakat yang dilakukan dengan berbagai bentuk dan variannya yang tak jarang tercampuri khurafat dan bid'ah adalah sangat tidak bijak. Pun mengkritik atau menyesatkan secara serampangan seperti yang dilakukan oleh kaum pemonopoli kebenaran juga tidak tepat. Yang benar adalah bersikap adil atas dasar ilmu bukan fitnah dan pembelaan dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Baca juga kajian Sunnah berikut :
- Mana Sajakah Bacaan Rukun dan Sunnah Dalam Shalat
- Sunnah Nabi dalam Menyikapi Bidah
- Berbekam Bukan Sunnah Nabi?
- Ustadz Sunnah dan Ustadz Tidak Sunnah?
- Istilah Fiqih Sunnah Dari Masa Asalnya?
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur
7 Maret 2022 ·