Etika Mentahqiq Kitab

Etika Mentahqiq Kitab - Kajian Islam Tarakan

ETIKA MENTAHQIQ KITAB

Mereka mengatakan, men-tahqiq kitab karya madzhab lain disertai dengan menyanggah dan menghakimi akidah penulis kitab yang mengikuti akidah mayoritas ulama' sebagai kebatilan adalah hal biasa dan sah-sah saja dalam dunia literasi keilmuan. 

Baik, saya akan buat pertanyaan dan siapapun boleh ikut menjawab:

1. Misal, kitab Fathul Qarib al-Mujib adalah karya ulama' madzhab Syafi'i dan sudah bertahun-tahun dikaji oleh ulama' dan pelajar madzhab Syafi'i. Lalu kemudian muncul seseorang yang men-tahqiq kitab tersebut sambil menyalahkan beberapa bagian isinya dengan menggunakan argumentasi dan hujjah fikih Maliki, atau Hanafi, atau Hanbali. 

Prilaku seperti ini beretika atau tidak? Apa alasannya?

2. Sudah masyhur bahwa ulama' berbeda pendapat tentang wajib dan tidaknya membaca basmalah dalam Fatihah shalat. Kemudian ada orang yang meyakini tidak wajib membaca basmalah dan datang ke komunitas orang yang mengatakan wajib membaca basmalah sambil menyatakan bahwa pendapat yang mengatakan wajib adalah pendapat batil atau tidak shahih. 

Orang seperti ini punya etika atau tidak? Apa alasannya? 

3. Seseorang men-tahqiq kitab pegangan ulama' Aswaja, padahal pen-tahqiq bukan Aswaja. Kemudian dia menyanggah beberapa isi kitab dengan mengikuti selera pendapat yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran dan pendapat lainnya sebagai kebatilan. Padahal cara pen-tahqiq ini berpotensi membuka ruang perselisihan dan kegaduhan [dan kitab bukan untuk menyerang akidah lawan], bahkan bisa memunculkan buruk sangka dari pembaca dan masyarakat yang tidak memiliki asas pengalaman terhadap keshahihan kitab dan akidah mayoritas. 

Jika ada yang mengatakan bahwa pentahqiq tidak jujur beragama [inshof fi tabyini masailiddin, bukan bermakna dusta atau kadzib beragama seperti yang dipahami oleh sebagian orang] serta tidak memiliki etika ikhtilaf, salah atau tidak? Apa alasannya? 

Menurut saya, praktik-praktik diatas adalah tindakan yang memaksakan kehendak, egois, tidak memiliki etika sebagai ahli ilmu, dan tidak inshof [jujur] beragama dalam menyampaikan ikhtilaf ulama', sehingga terus sibuk membuka ruang perselisihan. 

Al-Muhaddits Muhammad Awwamah berkata: "Diantara adab ikhtilaf adalah menyampaikan aqwal dan ikhtilaf ulama' dengan amanah dan jujur [inshof]". 

Adapun alasan saya mengatakan bahwa tindakan pen-tahqiq tidak beretika adalah:

1. Imam Malik melarang Khalifah Abu Ja'far al-Manshur yang hendak menjadikan kitab al-Muwaththo' sebagai kurikulum wajib, karena beliau menghormati perbedaan pendapat ulama' shahabat yang telah menyebarkan ilmu diberbagai penjuru daerah serta tidak ingin kaum awam bergaduh dalam masalah agama. Inilah adab dan etika ahli ilmu!

2. Imam Sufyan ats-Tsauri berkata: "Jika kamu melihat seseorang melakukan sesuatu yang masih diperselisihkan ulama', sementara engkau memilih berbeda, maka jangan kau larang orang itu". Inilah etika untuk tidak memaksakan kehendak dan egois dalam berpendapat.

3. Tabi'in Yahya bin Sa'id al-Anshari berkata: "Ahli ilmu adalah ahli meluaskan [rahmat kepada umat]. Mereka berbeda pendapat; ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Maka satu dengan yang lain jangan saling mencela". Inilah etika ilmu.

4. Imam Abu Hanifah: "Ini adalah pendapat kami, dan kami tidak memaksakan orang lain untuk mengikuti". Ini adalah etika dan adab ber-ikhtilaf. 

5. Imam Ahmad pernah meninggalkan satu sunnah yang diyakini [masalah khilafiyah] dan memerintahkan orang melalukan sama demi tidak membuka ruang perselisihan dan pengingkaran kaum awam. Inilah etika dan rahmat ahli ilmu kepada masyarakat. Yang belajar adab dan membaca kalam-kalam mereka pasti tahu tentang ini. 

Bagaimana menurut anda?

Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur

Kajian· 28 September 2021· 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Etika Mentahqiq Kitab - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®