Kebenaran Agama vs Kebenaran Sains

Kebenaran Agama vs Kebenaran Sains

Kebenaran Agama vs Kebenaran Sains

Biasanya kita suka membedakan ilmu agama dengan ilmu sains lewat ukuran kebenaran. Sering kita posisikan bahwa kebenaran agama itu sifatnya mutlak, sedangkan kebenaran sains itu sifatnya relatif. 

Tapi apakah benar 100% begitu? 

Secara teori di atas kertas, mungkin pernyataan ini pada sebagian kasus bisa diterima. Namun sebenarnya anggapan ini agak mengandung kelemahan bahkan belum tentu benar dalam banyak kasusnya. 

Kalau kebenaran teks wahyu Al-Quran, pasti mutlak kebenarannya. 

Tapi bagaimana dengan tafsir dan kesimpulan hukumnya?

Tafsir dan kesimpulan hukum itu  pada dasarnya adalah hasil ijtihad manusia. Tafsir bukanlah wahyu itu sendiri, begitu juga kesimpulan hukumnya. Semua itu adalah ruang ijtihad dan pemahaman manusia atas naskah wahyu samawi. 

Apakah semua hasil ijtihad manusia atas teks wahyu itu dijamin 100% pasti benarnya? 

Tentu saja tidak. 

Buktinya kita menemukan hasil ijtihad para ulama yang bermacam-macam. Padahal mereka sedang menafsirkan satu ayat Qur'an yang sama. 

Lafazh 'au laamastumun nisa' itu oleh kalangan Hanafi ditafsirkan sebagai jima'. Sementara oleh kalangan Mazhab Syafi'i dimaknai secara apa adanya, yaitu sentuhan kulit laki dengan perempuan bukan mahram. 

Kebenaran ayat Qur'an sudah pasti mutlak dan absolut. Namun bagaimana dengan kebenaran pada hasil ijtihad manusia atas ayat itu? 

Tentu tidak mutlak dan tidak absolut. Masih relatif dan bisa saja terkoreksi di kemudian hari. 

Maka menyimpulkan bahwa kebenaran agama itu mutlak dan absolut nampaknya perlu dilengkapi, biar tidak bias. 

Saya mengusulkan bahwa yang kebenarannya mutlak itu misalnya pada masalah yang sifatnya fundamental agama, Seperi rukun iman dan rukun Islam. 

Atau dalam ilmu fiqih, perkara yang sudah sampai level ijma' itu kebenarannya sudah mutlak. 

Namun ketika bicara rincian yang lebih detail, misalnya teknis sujud, mana duluan yang mendarat, telapak tangan atau lutut? Pasti khilafiyah.

Dimanakah seharusnya  kita letakkan tangan ketika berdiri dalam shalat? Di dada, bawah dada atau bawah pusar? Khilafiyah lagi. 

Bolehkah puasa Sunnah padahal hutang puasa Ramadhan belum diqadha'? Lagi-lagi khilafiyah. 

Bisa saja dua-duanya benar atau hanya salah satu yang benar. 

Kesimpulannya : kebenaran dalam masalah agama tidak selalu multak dan pasti benarnya. Pada wilayah fundamental, kebenarannya memang mutlak. Tapi masuk ke bagian rinciannya, keberannya menjadi tidak pasti. 

oOo

Bagaimana dengan kebenaran sains? Apakah tidak pernah sampai pada titik kebenaran mutlak?

Lagi-lagi harus dibedakan antara yang fundamental dengan yang terus berkembang. 

Ambil contoh penggunaan ilmu falak (astronomi) dalam menetapkan jadwal shalat. Sudah ribuan tahun kebenarannya tidak pernah mengalami koreksi. 

Tapi beberapa waktu yang lalu dunia astronomi sepakat 'memecat' Pluto dari anggota jajaran planet di Tata Surya. Karena lama-lama diperhatikan, syarat sebagai planet seringkali dilanggarnya. 

Dalam bidang matematika atau fisika dasar, banyak rumus-rumus dasar yang kita gunakan itu relatif tidak pernah berubah. 

Tapi masuk ke level fisika kuantum, maka ada banyak rumus dasar yang perlu dikoreksi. 

Kalau alam semestanya sendiri kan ciptaan Allah juga. Maka sunnatullah (baca:hukum alam) yang Allah SWT tetapkan pada alam semesta ini relatif tidak berubah. 

Kecuali dalam keadaan khusus, misalnya pas lagi ada mukjizat buat para nabi. 

Maka kurang tepat juga kalau hukum sains itu kita vonis pasti salah dan keliru. 

Baik hukum agama atau pun hukum sains, masing-masing punya level tertentu untuk kebenaran mutlak, namun sama-sama juga punya level tertentu yang kebenarannya masih nisbi.

oOo

Di masa lalu, kebanyakan sosok ulama itu ahli di kedua bidang, baik ilmu agama ataupun juga ilmu  sains. 

Tidak ada dikhotomi dan pemisahan. Ngerti agama otomatis ngerti sains. Ngerti sains otomatis ngerti agama. 

Contoh mudahnya adalah Imam Asy-Syafi'i.  Beliau punya ilmu yang luas di bidang ilmu agama, mulai ilmu Ushul, fiqih, tafsir, hadits, qiraat, sirah, sastra Arab dan lainnya. 

Namun beliau juga seorang guru besar dan pakar di banyak bidang sains, seperti kedokteran, astronomi bahkan kimia, biologi dan juga logika hukum.

Sayangnya di masa kemunduran umat Islam hari ini, ilmu agama nampak pisah ranjang dengan ilmu sains, bahkan banyak dikesankan ilmu agama sebagai lawan dari ilmu sains. 

Seolah-olah keduanya bertentangan dan paradoks. 

Kalangan Agamawan di zaman kita ini seringkali merupakan sosok yang anti dengan ilmu sains, bahkan banyak yang merasa jijik dan melancarkan permusuhan dengan dunia sains. 

Sebaliknya, para ahli sains di masa kita berkelakuan aneh. Mereka sangat fanatik beragama, tapi agama hasil ngarang sendiri. Kadang suka nafsir-nafsirkan ayat Qur'an sendiri. Kadang suka bikin kesimpulan hukum sendiri juga.

oOo

Contoh yang paling parah adalah munculnya istilah aneh yaitu Kedokteran Nabawi (طب نبوي) di zaman modern yang arahnya justru malah menyimpang.

Bahwa Rasulullah SAW itu sangat perhatian terhadap pengobatan memang benar. Bahwa Beliau SAW punya banyak ilmu terkait dengan pengobatan, semua sepakat.

Bahwa hadits-hadits terkait dengan thibbun Nabawi itu dikumpulkan oleh Ibnul Qayyim dan banyak ulama, jelas itu kitab berharga. 

Lalu apa masalahnya?

Masalahnya ilmu kedokteran itu bagian dari sains yang terus menerus mengalami dinamika. Bidangnya semakin meluas. Kajiannya semakin mendalam. 

Sedangkan yang berkembang di masa kenabian masih amat sempit. Sebutlah misalnya nabi SAW menggunakan suatu jenis obat tertentu dan haditsnya shahih, tapi bagaimana dengan dosisnya? 

Lalu bagaimana dengan analisis diagnosa terhadap pasien itu sendiri? Apakah satu obat pasti cocok untuk semua orang?Apakah satu obat cocok untuk semua jenis penyakit? 

Apakah tiap negara punya jenis penyakit yang sama? Apakah penyakit dari dulu sampai ginihari hanya sebatas itu-itu juga dan tidak muncul penyakit baru? 

Apakah dunia pengobatan tidak boleh dikembangkan dan harus terikat pada yang digunakan Nabi SAW saja? 

Penyakit berkembang terus sepanjang 14 abad, tapi pengobatan tidak boleh berkembang? Logika dari mana itu?

Apa mau pakai logika perang ala nabi juga?Musuh tembaki kita dengan senapan mesin, peluru kendali, meriam, drone, bom dan senjata biologis, lantas kita tidak boleh pakai? Tetap harus pakai panah dan naik kuda terus? Logika macam apa itu?

Dan masih banyak lagi pertanyaan kritis yang belum bisa dijawab. Sayangnya kita yang mengaku sebagai kalangan agamawan malah  rajin ngarang sendiri sebuah cabang ilmu yang kita namakan : Kedokteran Nabawi. 

Lalu yang kritis terhadap kajian ini dianggap anti Islam, anti Sunnah, PKI bahkan dikafir-kafirkan, dizionis-zioniskan, digebukin ramai-ramai sambil dicari-cari cacat dan celanya. 

Padahal ketika menyebut-nyebut istilah Kedokteran Nabawi, apa yang diuraikan dari Nash Qur'an dan Sunnah itu amat terbatas. Kesimpulan-kesimpulannya dilakukan secara otodidak, bahkan sama sekali tanpa menggunakan metodologi, tanpa riset, tanpa penelitian, tanpa uji klinis, tanpa melibatkan para ahli dan pakar di bidangnya. 

Yang kita lakukan sekedar otak-atik dan cocokologi atas ayat Qur'an dan hadits nabawi sekena-kenanya saja. Dasarnya tidak pakai  metode ilmiyah, tidak pakai riset yang memenuhi standar.

Dan mohon maaf kalau faktanya menyebutkan bahwa kebanyakan justru lebih serius pada orientasi bisnis jualan obat herbal, bukan obat klinis. Modalnya sekedar testimoni dan tidak melibatkan uji klinis. 

Si Anu pakai obat ini sembuh. Si Fulan pakai obat ini langsung bisa olah raga. Obat mujarab, obat berkhasiat, obat nabi penuh berkah dan seterusnya. 

Ini sungguh menggelikan, sejak kapan sebuah penelitian ilmiyah itu didasarkan pada testimoni? Ilmu itu bukan pilkada apalagi pilpres. Benar salahnya bukan dari jumlah pemilih. 

Seharusnya penelitian itu menggunakan aturan baku dalam riset ilmiyah, masuk laboratorium, obat harus diuji-cobakan pada hewan baru manusia. Melibatkan ribuan valountir. 

Bukan sekedar jualan obat herbal dengan modal ayat dan hadits. Padahal tiap obat pasti ada aturan pakai, dosis dan hal-hal yang perlu dihindari termasuk efek samping buat pengidap penyakit tertentu,faktor usia dan macam-macam variabel lainnya. 

Tidak ngasal semua digebyah uyaha dan disamaratakan. Ilmu itu harus jelas alasannya dan bukan sekedar improvisasi. 

Dan yang paling disayangkan, ilmu sains modern ini selalu diidentikkan dengan ilmu milik orang Barat yang kafir, kapitalis, yahudi, zionis, komunis China, Dajjal juga ikutan di dalamnya dan seterusnya. 

Dan biasanya diembel-embeli dengan isu mengandung babi, khamar dan benda-benda najis, yang sengaja disembunyikan demi untuk membuat umat Islam masuk neraka. 

Begitulah di tangan kalangan yang kurang lurus ilmu agamanya, justru ilmu agama malah diposisikan sebagai lawan dan musuh bebuyutan dari ilmu sains modern dan juga  kedokteran modern. 

Ini semua adalah varian terbaru dari yang disebut oleh An-Nadawi : inhithath al-muslimin. Kemunduran umat Islam.

Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat

Kajian· 3 Agustus 2021 pada 21.35  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Kebenaran Agama vs Kebenaran Sains - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®