Ibadah Sunnah Enak, Wajib Kok Tidak Enak?
Oleh Nine Adien Maulana
Puasa sebenarnya melatih kita mampu mengendalikan hawa nafsu dalam konteks yang lebih luas, tidak sekadar menahan nafsu makan, minum dan berhubungan suami isteri. Inilah perjuangan yang berat. Perang melawan hawa nafsu adalah peperangan ruhani, karena memerangi ego kedirian kita sendiri yang tak terlihat.
Nafsu tersebut sangat cerdas, licik dan licin. Dengan kemampuan tersebut ia dapat saja mengecohkan kita, dengan cara memasuki aktifitas-aktifitas ibadah kita. Bila tidak waspada, bisa-bisa kita akan kecele pada akhirnya. Kita menyangka telah banyak beribadah, tetapi pada dasarnya kosong nilai menurut Allah SWT. Kita menyangka ibadah kita lakukan secara ikhlas lillaahi ta’aalaa, padahal tanpa kita sadari ternyata ibadah kita telah ditunggangi oleh nafsu kita demi pemuasan nafsu itu sendiri.
Nafsu harus dikendalikan. Jika tidak, ia bisa menunggangi ibadah kita, kapan pun dan di mana pun. Kalau anda tidak percaya, mari kita cermati fenomena euforia di bulan Ramadhan. Di hari-hari pertama Ramadhan hampir semua masjid yang penuh dengan jamaah shalat Tarawih. Sejak adzan isya’ dikumandangkan jamaah berbondong-bondong ke masjid lebih awal. Mereka takut tidak mendapat tempat shalat, padahal shalat Tarawih adalah shalat sunnah yang tentu nilainya tidak lebih mulia daripada shalat fardlu lima waktu.
Shalat Tarawih dipenuhi oleh jama’ah, tetapi shalat shubuh sebaliknya, sepi jamaah. Mereka lebih suka shalat di rumah daripada di masjid. Ini kan terbalik. Yang sunnah disambut dengan antusias, sedangkan yang wajib disambut dengan malas.
Mengapa shalat Tarawih itu tampak lebih menyenangkan daripada shalat Shubuh? Saya menduga, karena nafsu kita ikut nimbrung dalam ibadah shalat Tarawih. Mungkin karena ia hanya dilakukan setahun sekali, sehingga nafsu kita mengajak kita menjadi kemaruk mengerjakannya; setelah puas sesaat, kemudian pergi meninggalkannya.
Fenomena tadarus Al-Qur’an, khususnya membaca Al-Qur’an, dengan pengeras suara juga tidak luput dari jebakan nafsu. Masyarakat sangat antusias membaca Al-Qur’an jika ada pengeras suara. Dengan pengeras suara, membaca Al-Qur’an bisa berlangsung sangat lama. Semalam suntuk dilakukan, bahkan dilanjutkan lagi setelah shalat Shubuh. Sebaliknya, jika tanpa pengeras suara, membaca Al-Qur’an dilakukan hanya beberapa saat saja.
Nafsu kita senang kalau ada orang lain yang tahu kita sedang melakukan kebaikan. Tanpa disadari benih-benih sifat pamer (riya’) kita semaikan saat kita melakukan kebaikan. Hal ini juga harus diwaspadai. Jangan sampai kita terkecoh gejolak liar nafsu yang tak terkedali.
Apakah kita tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan pengeras suara? Ya boleh saja, asal benar-benar menata niat dalam hati, karena yang bisa menilai apakah kita pamer atau tidak juga hati kita sendiri. Selain itu, kita harus tahu waktu. Kapan waktu yang tepat membaca Al-Qur’an dengan pengeras suara dan kapan tanpa pengeras suara. Jangan sampai kita mengatasnamakan syiar, kemudian kita lupakan hak orang lain untuk beristirahat akibat semalam suntuk terganggu bacaan Al-Qur’an dengan pengeras suara.
Ada lagi yang lucu. Sepuluh hari terakhir adalah saat-saat istimewa di bulan Ramadhan. Rasulallah mengajarkan kita agar serius dalam i’tikaf, qiyamul lail dan memperbanyak melakukan amal shalih. Di malam-malam inilah Allah SWT memberikan lailatul qadar bagi hamba-hamba-Nya yang mau.
Sayangnya hal ini direspon kurang antusias. Yang terjadi adalah sebaliknya. Jama’ah shalat Isya’ dan Tarawih semakin surut. Tarawih tidak lagi menggairahkan sebagaimana hari-hari pertama. Yang ramai malah pusat-pusat perbelanjaan. Antusiasnya bukan memperbanyak ibadah dan amal shalih, tetapi menyiapkan tetek bengek menyambut Idul Fitri.
Meningkatkan ibadah di sepuluh hari terakhir terasa tidak enak. Yang enak kemudian adalah belanja dan mudik. Lagi-lagi nafsu kita telah merasuki aktifitas-aktifitas yang dianggap sebagai ibadah. Belanja dan mudik menjadi enak, karena lebih nafsu telah nimbrung, sehingga seolah-olah menjadi ibadah yang wajib dilakukan.
Nafsu ternyata juga masuk dalam ibadah shalat Idul Fitri. Shalat sunnah tahunan ini disambut sukacita. Shalat sunnah ini terasa sangat enak dan menyenangkan daripada shalat fardlu. Meskipun jarang menjalankan shalat lima waktu, tetapi jika seseorang tidak bisa ikut shalat Idul Fitri, niscaya dia akan merasa sangat rugi dan menyesal. Tidak cukup itu perasaan menyesalnya dikabar-kabarkan kepada siapa saja yang ditemuinya.
Nafsu kita telah menghalangi kita bisa ikhlas beribadah kepada Allah SWT semata. Bentuk-bentuk ibadah tersebut hanya dijadikan tameng bagi nafsu untuk memuaskan diri. Oleh karena itu, gejolak liar nafsu kita harus dideteksi sejak dini. Segeralah mengendalikannya. Tanpa itu, bisa jadi apa yang kita sangka sebagai ibadah, pada hakikatnya, hanyalah buih.
Cara yang paling mudah untuk mendeteksi dan mengendalikan nafsu adalah dengan meminta fatwa kepada hati nurani kita (istafti qalbaka). Hati nurani kita memancarkan cahaya ilahi yang selalu menerangi jalan yang benar. Oleh karena itu mau tidak mau kita harus melakukan refleksi dengan diri sendiri. Kita berdialog dengan diri sendiri. Kita bertanya kepada diri sendiri motivasi terdalam kita dalam melakukan ibadah-ibadah tersebut.
Jika ibadah wajib terasa tidak menyenangkan, sedangkan yang sunnah menyenangkan atau dua-duanya terasa tidak menyenangkan maka kita harus memilih dan mendahulukan yang wajib. Ibadah wajib lebih utama dikerjakan daripada yang sunnah. Bila antara berangkat ke masjid untuk shalat Tarawih dan shalat Shubuh terasa berat, maka kita harus mendahulukan shalat Shubuh karena wajib. Bila antara keduanya kok menyenangkan, maka kita harus kembali bertanya kepada hati nurani akan keikhlasan kita mengerjakannya. Jangan sampai kita beri ruang dan kesempatan bagi nafsu untuk menyusup dalam ibadah-ibadah kita.
Kita harus terus bertanya lagi kepada hati nurani bila kita dihadapkan pada dua ibadah sunnah yang sama-sama menyenangkan atau sama-sama tidak menyenangkan. Bila kita dihadapkan pada kondisi seperti ini biasanya nafsu kita cenderung mengajak kita melakukan yang paling menyenangkan. Oleh karena itu, kita harus memilih sebaliknya, yaitu memilih yang terasa paling tidak menyenangkan dikerjakan. Contohnya, kita tergopoh-gopoh menuju masjid atau lapangan karena kurang lima menit shalat Idul Fitri didirikan, padahal jarak kita masih cukup jauh. Tiba-tiba di tengah jalan kita bertemu dengan orang buta yang akan menyeberang di jalan raya yang ramai lalu lintas, maka yang harus kita pilih adalah menolong orang buta itu. Dalam kondisi seperti itu tentu menolong si buta itu akan terasa sangat berat dibandingkan meneruskan perjalanan menuju tempat shalat Idul Fitri.
Kita harus terus mewaspadai nafsu kita. Jika kita lengah, tentu dengan mudah nafsu akan memperbudak kita. Kecerdikan nafsu harus dilawan dengan kecerdikan pula. Puasa sebenarnya adalah langkah cerdik untuk mengendalikan nafsu. Sayangnya hal itu sering tidak dihayati, sehingga nafsu memperalat puasa kita untuk kepuasannya. Waspadalah!
Penulis adalah ketua tanfidziyyah Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Pacarpeluk, Megaluh, Jombang
Baca juga kajian Sunnah berikut :