Suka Duka Menulis Buku
Sebenarnya awalnya cuma iseng karena gabut lagi lokdon. Tapi lama-lama kok asyik juga.
Jadi ceritanya, semua buku yang dirilis oleh Rumah Fiqih Indonesia (RFI) merupakan buku yang punya sistem penjualan unik, yaitu semata-mata hanya dijual secara online lewat satu pintu.
Dicetaknya pun secara terbatas berdasarkan permintaan. Sistem ini kalau bahasa kerennya adalah Printing On Demand disingkat POD. Saya pernah membaca teknik ini dari sebuah artikel yang bicara tentang publishing di masa depan.
Dalam artikel itu disebutkan bahwa penerbit di masa depan tidak lagi menggunakan percetakan offset yang mahal, karena harus mencetak dalam jumlah ribuan biar harganya bisa lebih terjangkau.
Sebutlah misalnya biaya cetak sebuah buku 50 ribu rupiah per eks. Ongkos cetak segitu hanya bisa dicapai manakala jumlah yang dicetak minimal 3.000 eks. Jadi minimal penerbit harus keluar modal di awal untuk biaya cetak Rp. 50.000 x 3.000 eks =
Rp. 150.000.000.
Angka segitu tentu cukup waw dan bukan uang yang sedikit juga. Siapa orang yang punya duit nganggur hanya untuk memodali bisnis jualan buku?
Okelah bila ada jaminan penjualannya lancar dan cepat, sebulan dua bulan, atau paling maksimal setahun. Semua akan terukur, kapan balik modalnya.
Kalau semua sudah pasti, yakin pada berani berinvestasi. Makanya bisnis buku pelajaran di sekolah itu sangat menggiurkan dan sangat menggurita. Karena hitung-hitungannya jelas sekali. Pangsa sudah pasti dan pembayarannya terjamin sekali.
Guru tinggal mewajibkan kepada murid, lalu guru dapat komisi sekian persen dari penerbit.
Yes, its bussinnes . . .
Maka jangan sekali-kali usul agar jualan buku pelajaran oleh sekolah untuk dihapus. Pasti 100% guru pada demo, karena dari situlah mereka dapat tambahan uang saku.
Dan seperti itu pula yang dilakukan para pesohor dari kalangan tokoh agama. Cetak buku dan pastikan jamaahnya kudu beli.
oOo
Buat saya, meski saya punya yayasan dengan tiga unik sekolah : TK, MI dan SMK, nyaris saya tidak bisa jualan buku kepada mereka macam yang dilakukan oleh para penerbit itu.
Selain karena buku saya memang bukan untuk mereka, lagian saya juga tidak sampai hati untuk misalnya -main paksa- mewajibkan orang tua / wali murid untuk beli buku saya.
Bahkan meski hampir tiap hari keliling berceramah (sebelum pandemi dulu), saya malu sekali kalau kudu bawa-bawa buku karya saya sendiri untuk dibeli oleh jamaah.
Padahal kata teman saya, cuek aja dan nggak usah malu-malu. Kapan lagi bisa jualan ala direct selling kayak gitu. Sekali ceramah, yang beli 100 atau 200 orang kan lumayan. Sepuluh kali ceramah, habis 2.000 buku. Amplop dapet, jualan buku laris.
Easy money . . .
Tapi saya kok tidak tega rasanya. Teringat sewaktu masih di Eramuslim dulu. Saya pernah juga sih 'jualan' majalah dengan teknik kayak gitu. Tiap saya ceramah, saya angkat tema terkait isi majalah terbitan itu dan yang beli cukup deras juga.
Sudah mirip artis yang keliling ke berbagai radio untuk promo serta bikin tour.
Tapi setelah itu saya kok merasa berdosa dan terkutuk sekali. Judulnya ceramah agama tapi masak ujung-ujungnya cuma jualan. Terus terang hati nurani saya rasanya tercabik-cabik. Ini nggak sesuai nurani saya.
Memang sih tiap orang bisa beda-beda prinsip. Saya tentu dengan prinsip saya sendiri.
Saya punya teman sesama ustadz yang prinsipnya kebalikan dari saya. Beliau itu justru aktif sekali berjualan di pengajian kayak gitu. Beliau bikin banyak produk, saya ingat waktu itu produknya berupa keping CD interaktif.
Bahkan dalam ceramahnya pun beliau bukan ceramah tapi malah sibuk mendemonstrasikan cara penggunaan CD interaktif produknya. Selesai ceramah, dagangan pun digelar yaitu keping-keping CD itu.
Saya sebagai temannya kok rasanya gimana gitu. Risih juga, mosok judulnya ceramah tapi kok isinya jadi jualan persis tukang obat yang lagi atraksi jualan produknya. Bukan gue banget lah.
oOo
Jadi saya menulis buku, tapi menjualnya tidak di toko buku juga tidak direct selling memanfaatkan forum pengajian.
Lalu bagaimana biar terjual?
Buku-buku saya itu saya jual secara online saja. Yang mau dan berminat silahkan kirim pesan via WA. Nanti dikirim ke rumah.
Dan ini sudah berlangsung jauh sebelum kita mengenal marketplace, gojek dan semua jualan yang serba online seperti sekarang ini.
Ide awalnya tidak sengaja, yaitu ketika saya menulis resensi sebuah buku di FB. Kebetulan buku itu karya terjemah istri saya, Aini Aryani. Honor jadi penerjemah rupanya tidak dibayar pakai uang, tapi cuma dikasih bukunya sebanyak 100 eks.
Awalnya istri saya rada kesel juga. Kerja capek menerjemah masak honornya malah disuruh jualan buku?
Tapi saya hibur, sudah lah tidak apa-apa. Siapa tahu di balik ini ada hikmahnya. Lagian kalau bukan penerbit yang sudah besar, urusan honor jadi penulis atau penerjemah buku itu kadang tidak bisa diharapkan.
Saya bisa ngomong kayak gitu karena begitu lah awal saya meniti debut sebagai penulis. Yang penting bukunya terbit dulu saja. Ada nama saya terpampang di sampulnya saja pun sudah girang banget. Buku itu saya bawa kemana-mana, buat dipamerin sih judulnya.
Honor?
Wah ke laut saja lah. Kayak gitu sih saya sudah pengalaman bersama dengan teman-teman penerbit modal dengkul.
Maka 100 eks buku itu pun nganggur di lemari buku. Iseng saya buka dan saya baca. Kok isinya menarik nih. Maka saya tulis di FB saya ini. Ternyata hihi banyak yang tertarik dan tanya-tanya bisa beli dimana?
Disitulah istri langsung nyerobot : kasih nomor HP aku saja. Dan besoknya tiap hari istri saya rajin bungkus-bungkus bukunya dan pamit mau ke TIKI. Waktu itu belum jadi JNE. Dan dalam waktu singkat, 100 eks itu pun habis sudah.
Dari situlah kemudian muncul ide, bagaimana kalau buku saya yang juga mengalami nasib yang sama juga dibuatkan resensinya. Waktu itu judulnya Fiqih Ramadhan, bersampul biru.
Saya punya sisa stok yang cukup banyak waktu itu gara-gara salah strategi. Dengan nafsu besar tenaga kurang, sebulan menjelang Ramadhan, saya merogoh kocek 25 juta memodali biaya cetak 3.000 eks buku.
Cetakan baru selesai dua minggu menjelang Ramadhan. Benar sih banyak yang laku terjual, karena momennya pas menjelang Ramadhan. Tapi waktu yang hanya 2 minggu ternyata tidak cukup untuk penyerapan pasar, karena Ramadhan pun segera berlalu.
Masuk pertengahan Ramadhan, orang semua sibuk pulang kampung. Jadi ceritanya saya kehabisan momentum. Dan beberapa penerbit menasehati, jangan terlalu memanfaatkan momentum yang sifatnya cepat berlalu. Ramadhan belum habis, masih separuhnya, tapi trend orang beli buku seputar Ramadhan sudah menurun drastis. Isunya bukan beli buku, tapi pulang kampung.
Dan itu pun masih juga ditambah dengan sistem managemen penjualan buku yang buruk rupa cermin dibelah.
Sampai sepuluh Ramadhan berikutnya, rupanya buku itu masih ada stoknya. Kalau dihitung-hitung, impas saja, yang penting hutang 25 juta terbayar untuk percetakan.
Keuntungan? Hehe ke laut saja.
oOo
Maka saya pun mantab menjual buku yang timeless, tidak pakai musim. Kapan saja semua orang pasti butuh buku itu. Memang penjualannya tidak booming alias tidak best seller. Tidak apa-apa, tapi yang penting ajeg dan terus dibeli orang.
Dan saya pastikan jual bukunya pun secara online. Ternyata unik juga, ada banyak kelebihan namun juga banyak kekurangan.
Kelebihannya kita tidak perlu sewa toko, bahkan tidak perlu titip-titip buku ke toko buku. Kita pun tidak butuh yang namanya re-seler atau pun sales, bahkan tidak perlu buka cabang dimana-mana.
Pokoknya penjualan hanya lewat satu pintu saja, yaitu pesan online. Kalau sampai ada yang beli buku saya tapi bukan lewat pesan online, berarti itu buku bajakan. Sebab saya tidak pernah kerja-sama dengan pihak mana pun dalam urusan penjualan.
Kekuarangannya tentu jelas terpampang, yaitu wilayah pemasaran menjadi sempit. Sebab dalam teori pemasaran yang pernah saya pelajari, dasarnya orang beli suatu produk bisanya malah bukan karena dia suka dan kagum dengan produk itu, tapi berdasarkan ketersediaan produk itu dan terjangkau atau tidak.
Kenapa kita belanja ke Indomaret dan Alfamaret?
Ya, karena yang tersedia dimana-mana memang dua gerai itu.
Teman saya bikin warung retail yang pakai label Islam dan syariah, tapi saya males belanja ke tempatnya. Kok gitu? Berarti tidak bantu eknomi umat dong?
Saya mau saja beli di watungnya dia. Tapi kenapa saya tidak beli kesana, jelas sekali alasannya. Selain jauh, macet, harga tidak bersaing, ternyata barangnya juga tidak lengkap.
Tapi misalnya dia buka gerai tepat di depan rumah saya, insyaallah saya beli disitu. Biarpun produknya tidak saya butuhkan. Anggaplah amal jariyah bantu teman.
Masalahnya, siapa yang mau menembus kemacetan Jakarta Bekasi - Depok - Bogor - Tangerang, cuma sekedar untuk beli garam dan cemilan?
oOo
Jadi saya tidak butuh toko, gerai atau pun gelar dagangan. Saya hanya mengandalkan online. Padahal waktu itu kita belum masuk zaman online. Tapi saya sudah sedikit mendahului zamannya. Semau buku saya jual online.
Dan karena sistemnya online satu pintu, maka pencatatannya pun coba saya rapikan secara tersturktur juga. Dengan bekal sedikit pengalaman ngoding pakai php mysql, saya buatkan sistem order.
Siapapun yang pesan, pasti tercatat nama, alamat dan setidaknya nomor Hp. Lalu buku apa saja yang dibelinya, berapa jumlahnya, semua pun otomatis tercatat.
Jadi saya pun akhirnya punya data para pembeli, istilah kerennya 'big data'. Siapa saja yang pernah beli buku saya, pasti ada catatan datanya, bisa ditracing beli buku apa saja, tanggal berapa, dikirim kemana dan seterusnya.
Bahkan sudah berapa juta uang yang dia habiskan untuk beli buku-buku saya, pun bisa saya buatkan rangkingnya.
Lalu buku mana saja yang laris dibeli banyak orang, termasuk saya bisa membaca trend, di bulan-bulan apa saja suatu judul buku itu lebih tinggi penjualannya.
Tentu saja saya tidak menulis sendirian, karena beberapa ustadz di Rumah Fiqih pun saya ajak untuk menulis. Sehingga mereka bisa punya 'penghasilan' sampingan dari bagi hasil penjualan buku mereka.
Sampai hari ini jumlah bukunya sudah 57 judul. Bisa diintip disini :
rumahfiqih.com/buku
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
9 Juli 2021