Syarat Mencari Ilmu : No. 6 : Waktu Yang Panjang
oleh Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Dalam list syarat mencari ilmu menurut nasehat Al-Imam Asy-Syafi'i sebelumnya, disebutkan bahwa syarat yang keenam adalah waktu yang panjang.
Dalam hal ini waktu yang panjang itu terkait dengan jumlah materi ilmu itu memang cukup banyak dan luas serta berjenjang-jenjang. Jangan dibayangkan ilmu agama itu bisa didapat dengan sistem training sistem 100 jam, apalagi sistem pesantren kilat.
Apalagi hanya mengandalkan pengajian rutin bulanan, dua mingguan atau pun pengajian mingguan. Secara jatah waktu, terlalu sedikit waktunya. Makanya gak pinter-pinter karena kurangnya waktu.
Pendidikan agama itu seharusnya mirip seperti jenjang pendidikan formal, sebagaimana kita bersekolah dan kuliah. Pendidikan agama harus diadakan mulai sejak PAUD, TK, SD, SMP, SMA, lalu S-1, S-2 dan S-3.
Jadi menuntut ilmu keislaman itu adalah pekerjaan yang sifat sepanjang hidup, dimana kita tidak pernah berhenti belajar. Belajar disini maksudnya bukan otodidak, atau iseng-iseng browsing dan googling, atau baca-baca majalah keislaman.
Juga bukan sekedar nonton ceramah siapa entah di Youtube secara random, apalagi nonton sinetron adzab. Bukan itu maksudnya.
Yang dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi'i adalah belajar formal, pakai guru, pakai sistem, pakai kurikulum, layaknya kita hari ini belajar formal di sekolah dan kuliah.
Beliau sendiri sudah sejak masih usia kanak-kanak belajar agama secara sistematis. Makanya kecil-kecil sudah hafal Quran, hafal hadits bahkan menghafal banyak bait-biat syair Arab kuno seperti Bani Huzail dan lainnya.
Dalam kesempatan ini saya mau bicara tentang belajar ilmu-ilmu keislaman. Seharusnya memang sejak SD pun kita sudah harus mendapatkan asupan gizi materi keislaman.
Di Mesir dan beberapa negara muslim lainnya, bahkan sejak usia 10-an tahun mereka malah sudah banyak yang hafal Quran. Bukan karena mereka mondok khusus menghafal, tetapi tahfidzul Quran itu memang bagian utuh dari sistem pendidikan.
Asal tahu saja bahwa jenjang pendidkan di Al-Azhar itu bukan hanya kuliah saja, tapi juga bahkan sejak dari jenjang TK, SD atau Ibtidaiyah sampai jadi doktor dan profesor.
Makanya di Azhar dibedakan antara mahasiswa asli Mesir dengan para wafidin (pelajar luar Mesir) seperti kita dalam hal beban kuliah. Orang Mesir asli dapat beban kurikulum yang jauh lebih berat, misalnya syarat masuknya harus hafal 30 juz.
Sedangkan kita anak Indonesia lebih ringan pelajarannya. Untuk lulus cukup hafal 8 juz saja, bahkan kesini-kesininya dikurangi hanya tinggal 4 juz saja. Kalau dibebankan seperti orang Mesir juga, wah kasihan lah. Takutnya nanti nggak lulus-lulus juga, kan ribet. Kapan nikahnya?
oOo
Kalau saya bandingkan cara belajar agamanya kita di Indonesia, pelajaran Pendidikan Agama Islam sih masuk kurikulum nasional. Jangan meremehkan pelajaran Agama, kalau sampai di rapot angkanya merah, alamat nggak naik kelas.
Tinggal masalah jumlah jam pelajarannya. Kalau seminggu cuma dapat dua jam, ya memang sedikit sekali. Jangankah menjamin mereka mengerti ilmu keislaman, sekedar menjamin bisa baca Al-Quran pun belum.
Makanya banyak banget masyarakat kita yang terbata-bata dalam membaca Al-Quran. Padahal ketika kuliah di kampus juga ada mata kuliah Pendidikan Agama, dan lagi-lagi tidak menjamin apapun.
Makanya banyak orang tua kekinian yang banting stir, anak-anaknya tidak disekolahkan di pendidikan umum tapi malah dimasukkan pesantren. Atau kalau pun sekolah SD, SMP, SMA, tetap ikut TPA atau cari guru ngaji baca Quran di luar pendidikan formal.
Tapi itu kan baru hanya sebatas bisa baca Al-Quran, lalu cabang-cabang keilmuan yang lain bagaimana?
Nah itu PE-ER yang sangat besar dan menganga, butuh jawaban dan solusi nyata.
(bersambung)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian · 13 Juni 2021 pada 08.58 ·