Istilah "Allah Bukan Jisim" Sebenarnya Tidak Layak Diucapkan
Andai tidak ada ahli bid'ah yang mengkhayal bahwa Allah adalah sosok jasmani yang punya ukuran tertentu, bentuk tertentu dan bertempat di lokasi tertentu, maka tidak akan ada ulama yang berkata bahwa Allah bukan jisim. Ucapan Allah bukan jisim sendiri sebenarnya tidak layak diucapkan sebab jisim itu adalah kerendahan dan pusat segala kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan Allah adalah Maha sempurna bahkan melampaui kata sempurna itu sendiri.
Tidak layak seseorang berkata "Presiden kita bukan tai kucing" karena meski pun betul bahwa presiden bukan tai kucing, tetapi ungkapan itu merendahkannya. Bukan levelnya dan tidak sepantasnya seorang presiden dihubungkan dengan tai kucing, meskipun dalam bentuk penafian sekali pun. Yang layak disebut "bukan tai kucing" adalah semisal "tai ayam" sehingga muncul kalimat setara: "tai ayam bukan tai kucing". Sama dengan itu, kata jisim itu sangat merendahkan dan hanya pantas untuk makhluk yang semuanya memang rendah dan fana. Kata "jisim" ini menjijikkan bila diletakkan dalam satu rangkaian dengan kata "Tuhan". Sebab itulah, Nabi Muhammad dan para Sahabat tidak pernah menyebut ungkapan "Allah bukan jisim" dan tidak kepikiran ke situ, apalagi kepikiran bahwa Allah adalah jisim yang berukuran besar apalagi kecil, Maha Suci Allah dari itu.
Sayang sekali ahli bid'ah mujassimah merusak tatanan kesopanan dan kewarasan. Mereka menganggap jisim adalah keniscayaan bagi wujud. Semua yang wujud dianggap pasti jisim yang punya ukuran atau massa tertentu, baik di tingkat atom atau di tingkat ukuran yang gigantik. Akhirnya mereka mengkhayal bahwa Allah adalah jisim yang besar sebab ia wujud dan kata jisim pun mereka setarakan maknanya dengan kata Dzat. Hanya saja mereka terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok pertama berterus terang berkata "Allah adalah jisim tetapi berbeda dari jisim lain". Mereka adalah sekte mujassimah masa lalu seperti Hisyamiyah atau sebagian Karramiyah. Kelompok kedua menolak perkataan kelompok pertama tetapi meyakini maknanya sebagai kebenaran. Mereka adalah sebagian Karramiyah yang lain dan para pengikut Ibnu Taymiyah.
Mujassimah kelompok kedua adalah satu-satunya di dunia ini yang memlintir konteks ketiadaan pernyataan "Allah bukan jisim" dari Rasulullah atau pun para sahabat. Dalam berbagai kesempatan mereka menulis bahwa "salaf tidak pernah menafikan jisim dari Allah atau pun menetapkannya". Sudah jelas bahwa salaf tidak mengucapkan itu sebab itu tertalu konyol untuk dipikirkan dan terlalu menjijikkan untuk dibahas. Tetapi para ahli bid'ah itu justru menetapkan makna jismiyahnya bagi Allah meskipun mereka tidak menetapkan redaksi itu.
Karena keberadaan ahli bid'ah tersebutlah, maka ulama Ahlussunnah wal Jama'ah terpaksa mengatakan "Allah bukan jisim" dan membahasnya berulang kali. Seandainya tidak ada ahli bid'ah yang merusak agama, maka kita bisa kembali seperti di masa Rasulullah dan mencukupkan diri dengan istilah-istilah yang Rasulullah gunakan saja.
Sama seperti istilah "hadis dloif" tidak pernah diucapkan oleh sahabat di masa Rasulullah hidup. Di masa itu, kalau ada yang menyampaikan kutipan dari Rasul maka langsung diterima dan diamalkan, tidak ada yang masih ngeyel bertanya apakah ini hadisnya Dloif, Hasan atau Sahih. Hadis Nabi kok dibilang lemah (dloif) padahal semua muslim tahu bahwa yang namanya hadis adalah kutipan paling kuat dan hebat. Istilah hadis dloif ini bermasalah sejatinya. Tetapi situasi belakangan berubah dengan munculnya orang yang tidak kredibel dalam menukil hadis sehingga terpaksa hadis pun dipilah-pilah dengan istilah baru itu agar diketahui mana yang layak diterima dan mana yang tidak. Demikian pula istilah dalam akidah, dengan kemunculan ahli bid'ah yang bermacam-macam, maka muncul juga istilah yang beragam untuk meluruskannya.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
2 Juni 2021