Beban Jumlah Penduduk
Di masa lalu tatkala pemeluk Islam masih sedikit dan kalah jumlah dibandingkan dengan pemeluk agama lain, Rasulullah SAW pernah bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
"Nikahilah wanita yang penyayang lagi peranak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain (pada hari kiamat).” (HR. Abu Daud)
Hadits ini rasanya sering kita dengar keluar dari mulut para penceramah. Dan ujung-ujungnya kalau tidak mengajak jamaah kawin lagi, diarahkan kepada haramkan program Keluarga Berencana (Family Planning).
Maka banyak kalangan yang mengharamkan KB umumnya pakai hadits di atas.
Saya tidak akan mengajak para pembaca untuk berdebat hukum poligami atau haramnya KB. Namun saya ingin membahas pesan tersembunyi di balik hadits di atas.
Bahwa dibalik perintah untuk memperbanyak jumlah umat Islam, jangan lupa pikirkan juga segala keperluan, kebutuhan dan fasiltasnya.
Yang paling utama tentu saja harus disiapkan lapangan pekerjaan. Selain itu fasilitas lainnya seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan tempat tinggal.
Jumlah Besar Butuh Ekonomi Yang Kuat
Jumlah penduduk yang besar itu pada dasarnya adalah beban ekonomi. Itu menjadi pesan intinya. Kalau jumlah kita sedikit, cukup menempel di tubuh orang lain jadi benalu saja.
Tapi kalau jumlah kita besar, yang jadi masaalh bukan sekedar bagaimana menerapkan hukum Islam seperti potong tangan, rajam, cambuk,salib, pengasingan. Juga bukan siapa yang jadi Khalifah.
Tapi apa yang bisa disiapkan oleh negara untuk rakyatnya yang jumlahnya bejibun itu. Bisakah memberikan lapangan kerja? Biar rakyatnya bukan hanya jadi Mustahik zakat terus.
Dalam masalah kesehatan, pas lagi pandemi kayak gini menvaksin ratusan juta rakyat jadi urusan tersendiri.
Apalagi kita tidak atau belum punya pabrik vaksin sendiri. Jadi semua masih harus impor. Padahal kebanyakan vaksin itu harus dua kali dilakukan.
Setidaknya butuh sampai setahun setengah untuk meratakan kepada semua target. Bandingkan bila jumlah penduduk kita macam Singapura yang hanya 4 juta orang. Maka dalam 4 hari kelar semua, targetnya sehari sejuta orang.
Belum lagi secara beban ekonomi. Ratusan juta rakyat butuh lahan kerja. Dan disini kesempatan kerja itu semakin sempit.
Makanya banyak warga kita yang rela hidup susah bekerja jadi tenaga kasar di mancanegara, lengkap dengan segala masalah ikutannya. Mulai dari penipuan, penyiksaan, korban kejahatan bahkan perselingkuhan dan perceraian.
Mengapa harus ke luar negeri?
Karena roda ekonomi berputarnya disana. Disini? Disini ada juga, tapi skalanya tidak seimbang dengan jumlah perut rakyat kita.
Lalu kenapa kita tidak membangun saja industri sendiri, biar sekalian menciptakan lapangan kerja di negeri sendiri?
Itu ide bagus dan memang kita maunya kayak gitu. Namun untuk membangun insutri dalam negeri, masih ada beberapa kendala yang harus dipikirkan
1. Modal
Ini masalah paling klasik dan sudah diciptakan lagunya versi gambus : ya dana ya dana-dana. Dananya ya kagak ada.
Jalan keluarnya adalah lewat investor dari luar agar mau bangun industri di negeri kita. Sekelas Raja Salman dari Saudi Arabia pun rela keliling dunia untuk mengundang beberapa negara agar mau berinvestasi di negeri mereka.
Kalau perlu investor itu juga sambil membawa teknologi terbaru serta para ilmuwannya. Sehingga kita bisa mencuri teknik industri mereka. Seandainya kontraknya habis, maka kita ambil alih teknologinya.
2. Lahan industri
Kita punya beberapa areal untuk industri, khususnya di wilayah penyangga Jakarta. Namun nyaris semua lokasi melahirkan kemacetan yang parah sekali.
Akibatnya, iklim invetasi kita jadi kurang menarik. Barang yang sudah diproduksi tidak bisa langsung diekspor, karena alasan teknik kemacetan di jalan.
Contohnya seperti yang diceritakan mantan menteri Ibu Susi. Industri hasil tangkapan ikan para nelayan di Cilacap memang sangat besar. Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana teknik penjualannya.
Dermaga tempat bersandarnya kapal pengangkut memang ada,
untuk sampai ke Jakarta perjalanannya makan waktu berhari-hari mengelilingi pesisir Jawa Barat.
Pakai truk lewat darat juga lama sekali perjalanannya. Maka Ibu Susi terpaksa angkut ikan tangkapannya pakai pesawat pribadi. Tentu produksi macam gini jadi highcost.
Maka yang kita butuhkan adalah area industri yang lokasinya strategis, dimana untuk pengiriman hasil produksinya tidak ada hambatan.
Begitu juga lokasi tempat tinggal para tenaga kerja harus satu tempat, sehingga tidak mengakibatkan dampak buruk kemacetan di lingkungan masyarakat.
3. Angkatan Tenaga Kerja
Industri modern meski banyak yang pakai lengan robot, namun tetap saja butuh tenaga manusia.
Tinggal bagaimana kemampuan manusianya diasah agar tidak kalah saing dengan robot.
Robot itu kuat, kerja tidak pakai capek dan tidak pernah demo menuntut kenaikan gaji. Robot tidak pernah merasa perlu ikut organisasi buruh.
Bukan berarti kita mau bikin generasi robot, tapi setidaknya etos kerja dan produktifitas kita jangan sampai kalah dari tenaga kerja asing. Jangan sampai kita jadi mandor kawat alias kerja kendor makan kuat.
4. Biaya Siluman
Saya merasa urusan biaya siluman ini menjadi unik. Karena tidak ada nilainya yang pasti. Semuanya serba improvisasi.
Mulai dari ribetnya mengurus izin dari A sampai Z. Belum lagi dana yang kudu disapkan upeti para pejabat. Ada yang mau pilkada, ada yang mau hajatan, semua itu membuat pembukuan industri jadi hancur berantakan.
5. Penyerapan Pasar
Anggaplah kita behasil membangun infrastruktir untuk industri. Banyak pabrik bisa kita bangun.
Lalu produksinya gencar dan tidak berhenti bekerja setiap waktu.
Pertanyaan berikutnya : apakah produk kita diserap pasar? Adakah yang mau beli? Pasar dalam negeri atau pasar luar negeri?
Musuh utama industri adalah pasar. Kalau permintaan pasarnya lancar, industri pun pakncar jaya.
Tapi manakala permintaan pasarnya surut, pertanda industri akan gulung tikar.
oOo
Disini jadi terasa bahwa tiap perintah dari Nabi SAW perlu juga dipahami efek dan pengaruh yang menjadi ikutannya.
Misalnya ketika diperintahkan kepada kita untuk mensucikan pakaian : 'wa tsiyabaka fa tahhir', maka perintah turunannya juga perlu ikut dipikirkan. Misalnya membangun pabrik mesin cuci, bikin pabri sabun, atau bikin usaha loundry.
Ketika Allah SWT wajibkan umat Islam pergi haji, maka pikirkan juga bagaimana membangun jalan tol, bandara, pesawat terbang, hotel, katering, restoran serta pasar.
Jangan sampai yang punya hajat besar ritual haji kita sebagai muslim, tapi yang menangguk keuntungan malah orang lain.
Ketika makan kurma dibilang Sunnah, khususnya pada saat berbuka puasa, coba sesekali pikirkan, siapa importir kurma yang menguasai bisnis kurma di Indonesia?
Ketika kita diperintah memperbanyak membaca Al-Quran, siapa yang punya bisnis percetakan dan penerbita terbesar di Indonesia?
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat sedang di Sekolah Fiqih.
Kajian· 28 Juni 2021· Jakarta ·