Tidak Butuh Penceramah
Sebenarnya umat Islam ini tidak butuh penceramah. Coba bayangkan di masa kenabian, mana ada penceramah, karena di masa itu sekedsr berceramah memang tidak ada gunanya. Malah bikin urusan jadi tambah cemong saja.
Makanya Nabi SAW tidak pernah mengendors penceramah. Juga tidak pernah memotivasi para shahabat agar jadi penceramah.
Kalau tidak ada penceramah, lantas bagaimana agama Islam disebarkan ke seluruh dunia?
Nabi SAW menciptakan kader ulama. Karena hanya mereka yang bisa dibebankan amanah menyampaikan ajaran Islam. Memang menyerahkan amanat agama tidak boleh sembarangan. Harus di pundak para kader yang sudah teruji keilmuannya.
Dan untuk itu tidak dibutuhkan ketenaran, apalagi sekedar pintar memotivasi orang meski tong kosong nyaring bunyinya.
Yang dibutuhkan adalah kader ahli yang memenuhi standar. Harus yang benar-benar paham Al-Quran. Dan mutlak harus hafal serta mengerti hadits. Dan nyata jelas harus tahu bagaimana cara menarik kesimpulan hukum syariat.
Tidak mungkin Nabi SAW mengutus orang yang plonga-plongo gak ngerti apa-apa tentang berbagai ketentuan syariah dan bisanya hanya sekedar menyemangati atau memotivasi.
Coba perhatikan profil para shahabat pilihan dengan spesialisasi yang tinggi, mereka itulah yang dipilih dan diutus oleh Nabi SAW ke berbagai negeri.
Bukan sekedar untuk berceramah menyebarkan Islam, tapi lebih dari itu, untuk menjadi pakar ahli yang menjelaskan perkara yang njelimet serta detail-detail rincian ilmu keislaman.
Makanya begitu mereka tiba di berbagai negeri itu, jadilah mereka guru besar dalam ilmu agama. Ingat ya, guru besar dan bukan sekedar jadi berceramah dan berorasi. Juga bukan sekedar memberi motivasi.
Mereka mengajar ilmu qiraat Qur'an, ilmu tafsir bil ma'tsur, ilmu hadits, dan berbagai metodologi dalam ilmu istimbath hukum.
Beda kelas jauh misalnya dengan para penyebar agama samawi lainnya, yang tidak berbasis ilmu, melainkan hanya semata berbasis kepada ritual peribadatan semata serta segala yang berbau rohani.
Maka istilah yang berkembang di mereka bukan ulama tetapi rohaniawan.
Maklum lah, dalam sejarah agama samawi yang pernah turun sebelumnya, keilmuan di kalangan mereka memang tidak terlalu banyak berkembang.
Jauh sekali kalau dibandingkan dengan yang terjadi di tengah tsaqafah dan tarikh tasyri' umat Islam.
Taurat, Injil dan Zabur sebagai contoh, ternyata tidak pernah melahirkan cabang keilmuan sebagaimana Al-Quran yang melahirkan khazanah ilmu tafsir, ilmu rasam, ilmu qiraat, ilmu balaghah, ilmu bayan dan ilmu Mantiq, Badi', nahwu, Sharaf dan lainnya.
Dalam sejarah agama samawi memang tidak pernah lahir sekelas As-Suyuthi yang berhasil menorehkan 80-an cabang ilmu Al-Quran.
Mereka juga tidak mengenal ilmu riwayah, sanad dan jalur transmisi keilmuan. Tidak ada ilmu thabaqat.
Peradaban mereka memang tidak pernah menerbitkan ribuan barisan ulama yang setiap saat melounching kitab yang berjilid-jilid, lalu disyarah, lalu diringkas, diberi hasyiah dan disyarah lagi.
Yang mereka punya hanya kitab suci saja. Yang seringkali mereka otak-atik sambil diputar balik pengertiannya.
oOo
Seandainya dulu agama Islam diamanatkan kepada kalangan yang bisanya hanya ceramah tanpa ilmu, sekedar teriakan yel-yel penyemangat, sangat boleh jadi nasib agama Islam akan seperti agama samawi sebelumnya.
Untungnya kita punya sejarah gemilang yang amat kita banggakan. Harta Karun yang secara ekslusif milik kita dan tidak dimiliki oleh umat manapun.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
14 Mei 2021