SEKULER LIBERAL vs AKTIFIS MUSLIM
(Pergulatan dari masa ke masa)
Luthfi Bashori
Perang urat syaraf antara kelompok sekuler liberal melawan aktifis muslim di negara kita ini tidak ada habis-habisnya.
Diskriminasi terhadap umat Islam yang terjadi saat ini, atau keributan antara para pembela Muslim Palestina melawan para pembela Yahudi Israel (Yahudi Pesek), tiada lain adalah buah dari perseteruan dari dua kubu yang saling tarik ulur demi kepentingan masing-masing.
Sejak pra kemerdekaan, dalam upaya penerapan undang-undang negara, telah terjadi perebutan pengaruh yang tak henti-hentinya antara kedua kelompok ini.
Aslinya, Indonesia di jaman dahulu dihuni oleh kaum Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha. Mereka hidup dalam naungan kerajaan-kerajaan yang tersebar di wilayah Nusantara.
Tatkala generasi pertama dari kalangan ulama datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam lewat sektor perdagangan, maka masyarakat Nusantara dapat menerima ajaran Islam dengan secara baik, berkat kegigihan para ulama dalam berdakwah dan mendidik masyarakat.
Islam semakin berkembang bahkan menjadi agama yang dianut oleh penduduk mayoritas, karena para ulama di masa itu sangat jeli, dan pandai dalam memerankan dan menerapkan kepemimpinan Islam di tengah-tengah umat yang merindukan keadilan, keamanan dan ketenteraman.
Demikianlah kepemimpinan dan ketauladanan para ulama, saat itu dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, sekalipun sebagian masyarakat berada di dalam kekuasaan kerajaan-kerajaan yang masih berpegang agama nenek moyangnya, namun sebagian dari kerajaan-kerajaan di Indonesia itu, pada akhirnya memeluk agama Islam.
Kepemimpinan model kerajaan Islam yang bersinergi dengan para ulama itu, juga diadopsi oleh generasi penerusnya di kalangan para ulama serta raja-raja sebelum datang penjajah Belanda, ternyata dirasa cukup efektif dalam mengislamkan Nusantara.
Artinya masyarakat muslim saat itu sangat menghormati keputusan apapun yang di keluarkan oleh para ulama, tentunya dengan menggunakan standar hukum syariat Islam, lantas diterapkan oleh para raja yang telah memeluk Islam.
Demikianlah aturan kehidupan bermasyarakat yang islami semakin berkembang, hingga datang para penjajah dari Belanda, dengan membawa agama Kristen, dengan ajaran yang termasuk asing bagi bangsa Indonesia.
Agama yang dibawa oleh kaum penjajah ini, dirasa tidak ramah terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, hingga saat itu tidaklah mendapat respon yang signifikan, tidak seperti saat awwal datangnya agama Islam ke Indonesia melewati sektor pedagangan, dengan metode diplomasi yang terhormat dan bermartabat.
Hal ini dapat dibuktikan dengan minimnya perkembangan agama Kristen di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Pengaruh kuat tokoh-tokoh Islam seperti Pengeran Diponegoro, Cut Nyak Din, dan lain sebagainya, ternyata tidak hanya berada di tengah-tengah umat Islam, namun keputusan dan fatwa para ulama masih tetap eksis dipegang oleh masyarakat luas, termasuk dari kalangan non muslim, bahkan seringkali kalangan penjajah yang notabene beragama Kristen, meminta kepada para ulama untuk ikut menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakat yang mereka hadapi.
Bahkan tidak jarang fatwa para ulama di masa itu, dijadikan pegangan sebagai undang-undang dalam mengatur pola kehidupan masyarakat, sekalipun kendali kekuasaan dipegang oleh kaum bersenjata modern di kala itu, yaitu kolonial Belanda penjajah bangsa Indonesia.
Namun, Belanda yaa tetap saja Belanda, mereka mengingkari kebenaran ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadits Nabi SAW.
Penjajah Belanda tetap memeluk agama Kristen dan berusaha menyebarkan agamanya di kalangan bangsa Indonesia.
Namum, ternyata sekecil apapun perkembangan agama Kristen yang di bawah oleh kaum penjajah ini, tetap saja dapat mempengaruhi pemikiran sebagian tokoh masyarakat Indonesia, bahkan terhadap sebagian tokoh-tokoh yang beragama Islam.
Apalagi saat Belanda mendelegasikan Christian Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda berpaham Orientalis, menjadi Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Maka pengaruh ajaran Kristen ini, baik secara langsung atau tidak, dapat dilihat antara lain dengan lahirnya tokoh-tokoh sekuler liberal, yang selalu memperjuangkan jargon-jargon pluralisme di tengah-tengah umat Islam.
Orientalisme itu sendiri adalah istilah yang merujuk pada peniruan atau penggambaran dari unsur-unsur budaya ketimuran, khususnya keislaman, yang dilakukan oleh kalangan Barat (Eropa), umumnya dilakukan oleh para penulis, desainer, dan seniman, hingga missionaris Kristen, yang mempunyai misi untuk pendangkalan aqidah umat dan perusakan Islam dari dalam.
Sejak abad ke-19, "Orientalis" telah menjadi istilah tradisional untuk julukan bagi para peneliti dalam bidang studi keislaman oleh kalangan Barat, namun bukan untuk diamalkan, melainkan hanya dijadikan bahan untuk mencari kelemahan ajaran Islam, namun kelemahan yang dimaksud itu adalah menurut standar mereka, bukan standar syariat Islam.
Memang aneh, jika terdengar tokoh-tokoh yang mengaku beragama Islam, namun dengan terang-terangan menolak pemberlakuan syariat Islam di Indonesia, bahkan di sisi lain kelompok ini dapat menerima dan berusaha mempertahankan warna undang-undang yang dibuat oleh Belanda, yang notabene adalah kaum kafir musuh Islam bahkan musuh bangsa Indonesia.
Ternyata keberadaan figur-figur kaum sekuler liberal, yang lebih dekat dengan pemahaman kaum orientalis kafir ini, terus bertahan hingga kini.
Mereka terus menerus menolak pemberlakuan syariat Islam dalam tataran hukum positif negara, karena dalam diri mereka telah mewarisi pemahaman dan budaya kaum orientalis kafir Belanda.
Untuk itulah perjuangan umat Islam dalam kaitannya dengan upaya islamisasi Undang-Undang Negara ini, belum selesai, belum apa-apa, tentunya masih membutuhkan tangan-tangan terampil, guna memenuhi kewajiban beragama secara menyeluruh, Udkhuluu fis silmi kaaffah (masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh).
Sumber FB Ustadz : Luthfi Bashori
28 Mei 2021