Hati-hati Dengan Undangan
Sekitar tahun 2007 atau empat belas tahun yang lalu, saya pernah diundang oleh komunitas tertentu (anonim) untuk menjadi imam dan khatib salat Idulfitri di suatu daerah. Waktu itu saya dijemput dan langsung menuju tanah lapang di mana salat Id akan dilaksanakan. Saat memasuki tanah lapang, saya melihat kondisi yang aneh. Pasalnya, tidak terdengar suara takbir sama sekali. Sunyi dan hening. Padahal orangnya banyak, sound systemnya juga tersedia. Pasti ada ‘sesuatu’, pikirku. Rasanya seperti bukan hari raya. Sangat kontras sekali dengan tempat lain. Karena di sepanjang jalan yang saya lewati, terdengar suara takbir bergema dan berkumandang begitu meriah tanpa henti.
Saya mencoba menahan rasa penasaran yang menyelimuti pikiran saya. Setelah duduk di tempat yang telah disediakan, saya mencoba berbisik kepada bapak-bapak yang duduk tepat di samping kiri saya. “Pak, kenapa tidak takbiran ?”, tanya saya. Dengan nada penuh kekecewaan bapak tersebut menjawab : “Tidak boleh, sama si itu dan itu (sambil mengisyaratkan kepada ikhwan yang menjemput saya). Katanya bid’ah, ustad.”
Setelah mendengar jawaban itu, saya mencoba untuk sedikit menjelaskan permasalahan takbir di hari raya. Saya sebutkan dalil dan pernyataan para imam di dalam masalah ini, serta bolehnya bertakbir secara berjamaah. Setelah itu, saya minta mereka (masyarakat) untuk bertakbir. Alhamdulillah, gema takbir terdengar kembali di tempat tersebut.
Melihat kondisi tersebut, ikhwan yang menjemput saya dan satu orang temannya tertunduk malu. Mungkin mereka berdua kecewa dengan saya. Mungkin mereka berdua tidak menyangka kalau saya akan meminta masyarakat mengumandangkan takbir. Setelah beberapa saat, saya baru tersadar, bahwa saya diundang ke tempat tersebut salah satu misinya mau digunakan sebagai ‘peluru’ guna menghadapi masyarakat.
Mereka berdua sedang ‘bermasalah’ dengan masyarakat karena berusaha memaksakan berbagai pendapatnya (dalam masalah khilafiyyah). Salah satunya, pendapat mereka yang menganggap takbiran bidah. Di mana pendapat ini menyelisihi amaliah masyarakat muslimin di tempat itu, bahkan jumhur (mayoritas) muslimin di seluruh penjuru dunia. Untung saya segera sadar, kalau tidak, entah apa yang akan terjadi.
Apakah perilaku seperti ini merupakan tafsir dari “Al-Ghuraba” (orang-orang yang dianggap asing) versi pemahaman mereka ?? Bisa jadi. Walau menurut hemat kami, itu tidak tepat. Semoga kita semua bisa mengambil ibrah (pelajaran) dari kejadian ini. Amin. (Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
29 Mei 2021