Sampaikan Walau Satu Ayat
Pasti yang dimaksud dengan perintah 'sampaikan' di hadits ini bukan sekedar memperkenalkan keberadaan suatu ayat.
Sebab keberadaan seluruh ayat Qur'an pastinya sudah ada lengkap di dalam mushaf. Dan umat Islam sudah tahu semua, meski tidak hafal, tapi etidaknya bisa baca di mushaf.
Yang dimaksud dengan perintah untuk menyampaikan suatu ayat pastinya tidak bisa terlepas dari ilmu tafsir. Sebab ilmu resmi yang tugasnya membedah ayat Al-Quran itu namanya ilmu tafsir.
Dan ilmu tafsir itu sendiri ada literatur ya, bukan ngarang, ngasal apalagi cocokologi. Bukan hanya itu, tapi juga ada kampusnya, ada dosennya bahkan ada profesor ahli yang pakar di bidangnya.
Sebab menafsirkan ayat Qur'an itu haram dan berdosa besar kalau hanya mengandalkan hasil karangan sendiri. Siapa yang memberi hak main tafsir-tafsirkan sendiri firman Allah yang suci.
Kalau setiap orang boleh main tafsir ayat seenak waduknya sendiri, kenapa nggak dibuang saja al-Qur'an itu. Buat apa mengutip ayat tapi pengertiannya diplintir seenak udel?
oOo
Lalu siapakah orang yang berhak untuk menafsirkan ayat Qur'an?
Tentu saja nabi Muhammad SAW. Beliau lah orang yang kepadanya diturunkan Al-Quran. Dan beliau pula yang diberi hak preogratif untuk menjelaskan isinya.
Maka pada dasarnya tugas menjelaskan suatu ayat itu tugas seorang Nabi SAW. Sepanjang 23 tahun beliau tidak pernah berhenti menjelaskan dengan tekun, rajin dan sabar kepada para sahabatnya.
Memang beliau SAW tidak menulis buku. Tapi beliau sudah mendidik para murid sebagai ahli tafsir. Sehingga ilmu dari Beliau SAW ada di tangan murid-muridnya.
Memang tidak semua shahabat itu ahli tafsir, tapi ada beberapa nama mereka yang amat familiar sebagai ahli tafsir.
Misalnya Ibnu Abbas radhiyallahuanhu. Sejak kecil sudah didoakan untuk jadi ahli tafsir dengan lafazh terkenal:
اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل
Ya Allah, jadikan dia paham dalam agama dan ajarkan ilmu takwil.
Selain Ibnu Abbas, ada juga Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Ubah bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit. Bahkan empat Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta para ummahatul mukminin seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan lainnya.
Dari mulut mereka itulah kita tahu hal-hal apa saja yang terkait dengan suatu ayat. Sebab mereka memang murid langsung dari nabi SAW.
Lalu generasi para shahabat ini punya banyak murid, yang mana para murid ini tidak pernah bertemu langsung dengan Nabi SAW. Murid-murid itu disebut para tabi'in. Kepada mereka itulah kemudian ilmu tentang suatu ayat dititipkan.
Lalu murid di kalangan tabi'in itu pun punya murid lagi, yang tidak pernah ketemu nabi atau pun shahabat, mereka hanya ketemu dengan para tabi'in. Mereka disebut dengan tabi'ut-tabi'in.
Setelah generasi tabi'ut-tabi'in inilah kemudian semua ilmu itu mulai dituksikan dalam bentuk kitab tafsir yang tebal.
Awalnya kitab tafsir itu masih bagian dari kitab hadits tematik yang isinya penjelasan terkait suatu ayat.
Lama kelamaan, kitab tafsir sudah melepaskan diri dari gugusan kita hadits dan menjadi genre kitab tersendiri yang disebut kitab tafsir.
oOo
So, ketika mau menjalankan perintah Nabi SAW di atas, yaitu menyampaikan penjelasan suatu ayat, setidaknya harus sudah belajar apa yang sudah diajarkan para tabi'ut-tabi'in, dari tabi'in, dari shahabat dari Rasulullah SAW.
Biar tidak ngasal, ngarang dan cocokologi. Masalahnya, apakah kita mampu membaca kitab tafsir karya para ulama yang berisi penjelasan dari para ahli tafsir?
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
7 Desember 2021·
Sampaikan Walau Satu Ayat
by. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Lepas dari urusan kekuatan sanadnya, namun dari segi matan (konten) isi hadits memang sering menimbulkan banyak penafsiran.
Yang paling sering hadits ini ditafsirkan seolah-olah Nabi SAW perintahkan orang yang ilmunya cuma satu ayat doang untuk segera berdakwah dan mengajarkan ilmunya.
Kesannya Nabi SAW lagi tekor dan kekurangan kader, sehingga kader yang masih mentah pun dikirim juga, walau pun tidak lulus kualifikasi. Kuat sekali kesan seperti itu.
Pemahaman seperti ini yang rasanya paling sering dijadikan modal untuk berdakwah dan berceramah. Seolah-olah dipahami walaupun cuma punya modal ilmu seuprit, sudah berhak ceramah apapun.
Ibarat orang naik motor, asalkan tahu sedikit sekali tentang motor, ya sudah boleh naik motor di jalan raya, keluar kota dan kemana saja.
Sehingga hadits ini lalu ditafsirkan secara unik dan liberal menjadi : walaupun baru tahu satu ayat, silahkan bahas 6.236 ayat lainnya. Satu ayat adalah representasi dari semua ayat. Bahkan silahkan bahas apapun sesuka hati.
Logikanya unik sekali. Bayangkan, asalkan sudah tahu satu ayat berarti otomatis sudah tahu semuanya.
Semudah itu kah Al-Quran? Mereka jawab iya memang semudah itu. Pakai dalil pula.
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS. Al-Qamar : 17)
Lucunya, dahulu para shahabat belajar Qur'an dengan tekun langsung di bawah asuhan Nabi SAW. Mereka butuh bertshun-tahun proses, tidak ujug-ujug langsung berangkat ceramah.
Tapi umat di akhir zaman ini canggih banget. Cukup kuasai satu ayat, otomatis tahu semua ayat. Bahkan cukup ngarang sendiri tafsir suatu ayat, maka dianggap sebagai ahli Qur'an.
Alasannya sederhana sekali. Kan Al-Quran itu gampang banget. Tafsirannya itu ngarang sendiri juga bisa.
Cara pandang seperti itulah yang biasanya berkembang dan diyakini seyakin-yakinnya.
Padahal . . .
Kalau mau konsisten dengan teks hadits, ada dua kemungkinan dalam urusan menyampaikan satu ayat ini.
Pertama, sampaikan meski yang disampaikan hanya satu ayat.
Artinya yang menyampaikan sebenarnya sudah tahu banyak ayat. Namun ketika menyampaikan kepada khalayak, yang disampaikan tidak semuanya, cukup satu ayat saja.
Pengertian seperti ini sejalan dengan proses turunnya ayat Al-Quran selama 23 tahun yang sifatnya hanya se-ayat se-ayat saja. Tidak langsung turun 6.236 ayat sekaligus.
Jadi ketika mengajarkan ayat-ayat Al-Quran, sampaikan se-ayat demi se-ayat.
Kedua, sampaikan meski tahunya satu ayat.
Kalau pakai pengertian kedua ini, berarti walau tahunya cuma satu ayat, sudah boleh menyampaikan. Apa yang disampaikan? Semua ayat lain yang belum diketahui? Oh jelas tidak.
Silahkan sampaikan satu ayat yang sudah Anda anda pelajari dan tahu ilmunya. Dan ingat, bukan menjelaskan semua ayat. Kan belum tahu, kok sok mau menjelaskan?
oOo
Coba teliti baik-baik teks haditsnya. Sama sekali tidak menyinggung ilmu yang hanya seayat, tapi fokus kepada materi yang mau disampaikan yang hanya satu ayat.
Tapi teks itu diselewengkan menjadi : Sampaikanlah meski kamu tahunya cuma satu ayat. Ini jelas menyalahi teks hadits aslinya.
Tidak mungkin Nabi SAW memerintahkan kepada orang yang tahunya hanya satu ayat untuk menjadi utusan Beliau dalam rangka menyebarkan ilmu agama. Sangat-sangat tidak masuk akal.
Tapi anggaplah misalnya begitu, yaitu asalkan tahu satu ayat, kenapa tidak boleh disampaikan. Oke oke. Tapi yang disampaikan haruslah ayat itu saja, bukan?
Tahunya satu ayat, lalu ingin menyampaikan ke orang lain nih. Soalnya sudah kebelet banget ingin menyampaikan. Kan gak masuk akal ketika menyampaikan, malah ayat yang lain yang dia belum tahu.
Silahkan sampaikan ayat yang sudah anda tahu. Tapi jangan menyampaikan ayat yang anda tidak tahu. Tidak tahu kok sok mau menyampaikan? Tidak masuk logika, bukan?
Tapi ngomong-ngomong . . .
Kalau ngaku sudah tahu satu ayat doang, boleh dong ditanya dulu? Kok bisa tahu satu penjelasan ayat itu? Maksudnya gimana? Tahu bahwa ada ayat itu atau tahu banyak terkait ayat itu?
Harus dibedakan dan harus jelas. Beda jauh antara orang yang tahu bahwa di dunia ini ada sebuah kota bernama Mekkah, dengan orang yang pernah tinggal di Mekkah bertahun-tahun.
Seperti Nabi SAW pernah bertanya kepada Adi bin Hatim,"Tahu kah kamu negeri Hirah?". Jawabnya jujur,"Saya pernah dengar adanya negeri itu, tapi saya belum pernah kesana".
Kalau jawabannya begitu kan jelas urusannya. Jujur tahu bahwa ayat itu ada, tapi sama sekali tidak tahu apa isi dan maksudnya.
Tapi yang terjadi tidak begitu, cuma ngaku-ngaku tahu saja, padahal kalau diteruskan dengan pertanyaan berikut ini, pasti gelagapan jawabnya.
Gimana prosesnya tahunya ayat itu? Apa baca-baca terjemahnya? Atau ngarang-ngarang sendiri? Atau searching di Google? Atau dapat postingan dari group apalah namanya?
Apakah dengan cara itu bisa dijamin bisa tahu suatu ayat? Beneran merasa sudah tahu?
Coba kita tes dulu baik-baik. Apakah ayat itu termasuk ayat Makkikyah atau ayat Madaniyah? Bagaimana latar belakang turunnya ayat itu? Apa munasabah ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya? Apakah ayat itu termasuk ayat 'aam atau khash? Mujmal mubayyan? Nasikh mansukh?
Bisakah saudara jelaskan makna kata per kata serta posisinya dalam struktur kalimat? Atau tahunya hanya kira-kira secara global saja? Cuma sekedar ancer-ancer saja?
Kalau merasa sudah pernah belajar semua itu, tentu bisa dong menjawab pertanyaan di atas untuk satu ayat yang diklaim katanya sudah tahu ilmunya. Semoga jawabannya benar.
Oke lah misalnya jawabnnya benar sekali. Semua kisi-kisi keilmuan dari ayat itu sudah dihafal luar kepala.
Tapi . . .
Menyampaikannya kepada umat hanya ayat yang itu saja ya, jangan kemana-mana. Sampaikan satu ayat yang anda sudah tahu. Tapi jangan sampaikan ayat yang anda tidak tahu.
Itu kuncinya
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
15 Mei 2021