Memahami Hadis Semua Bid’ah Adalah Sesat dan Diancam Neraka
Harakah.id – Hadis yang mencela bid’ah tidak berlaku umum. Ia ditakhsis oleh hadis tentang sunnah hasanah dan perkataan Umar bin Khatab tentang sebaik-baik bid’ah. Kesimpulannya, tidak semua bid’ah sesat dan diancam neraka.
Cukup sering kita dengar ada sebagian umat Islam yang seakan gemar menuduh amalan umat Islam yang lain sebagai bid’ah. Bid’ah di sini dalam arti sesuatu yang tidak dilakukan Nabi SAW, yang karena itu, ia adalah pelanggaran terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi SAW itu sendiri.
Mereka percaya bahwa berpegang teguh kepada praktik Nabi SAW adalah sebuah kewajiban. Berpegang teguh di sini terkadang berarti harus mengikuti Nabi SAW apa adanya, secara tekstual, dan tanpa mempergunakan dasar ilmu yang cukup. Karenanya, bagi sebagian kelompok ini, berdasar dengan satu hadis saja sudah cukup, tanpa membandingkannya dengan hadis lain sebagaimana dilakukan para ulama pada masa lalu.
Di sinilah persoalannya. Karena sejatinya, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap sebuah hadis, diperlukan komparasi beberapa dalil. Hal ini agar kita tidak terjebak dalam “mengamalkan satu hadis, meninggalkan hadis yang lainnya.” Seperti dalam persoalan menghukumi segala amalan yang dianggap baru dan tidak ada teladannya dari Nabi SAW sebagai bid’ah di atas.
Rasulullah SAW. pernah bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Al-Darimi).
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Darimi dalam Sunan Al-Firdaus. Selain diriwayatkan pula oleh Imam Al-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban. Kualitas hadis tentang bid’ah adalah shahih. Imam Al-Tirmidzi menyebutnya dengan istilah “haditsun hasanun shahihun.” Imam Ibnu Hibban memasukkan hadsi ini ke dalam kitab Shahihnya. Hal ini menunjukkan bahwa hadis tersebut shahih menurut beliau. Hadis Semua Bid’ah Adalah Sesat di atas merupakan potongan dari sebuah hadis yang panjang. Berikut versi lengkap dari Sunan Al-Tirmidzi;
عَنْ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ، قَالَ: وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوبُ، فَقَالَ رَجُلٌ: إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ”: “هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ”
Dari Irbadh bin Sariyah yang berkata, “Rasulullah SAW memberi kami wejangan pada suatu hari setelah shalat subuh. Sebuah wejangan yang sangat dalam artinya. Membuat mata mengalirkan air mata. Hati tersentuh ketakutan. Seorang lelaki bertanya, ‘Ini adalah wejangan perpisahan, maka apa yang ingin engkau beri tahukan kepada kami, wahai Rasulullah?’ Rasulullah SAW bersabda, “Saya wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat. Sekalipun kepada pemimpin yang seorang hamba sahaya dan berbangsa Habsyi. Barang siapa di antara kalian hidup, maka akan melihat banyak sekali perbedaan pendapat. Jauhilah perkara-perkara baru. Karena, sungguh, ia adalah kesesatan. Barang siapa di antara kalian menemuinya, maka ia harus berpegang kepada sunnahku dan sunnah para pemimpin yang bijak lagi mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham.” Ini adalah hadis hasan sahih. (HR. Al-Tirmidzi)
Sampai di sini, dalam enam kitab yang menyebutkan Hadis Semua Bid’ah Adalah Sesat, terdapat redaksi yang berbeda-beda. Dalam Sunan Al-Tirmidzi, tidak digunakan redaksi “kullu” yang menegaskan keseluruhan, seperti disebut dalam teks di atas. Sedangkan dalam kitab Sunan Al-Darimi, Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad, dan Shahih Ibnu Hibban ditemukan redaksi yang menggunakan kata “kullu”. Imam Abu Dawud meriwayatkan,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ”
Jauhilah perkara-perkara baru. Karena, setiap perkara baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah ada sesat.” (HR. Abu Dawud).
Catatan kedua, dalam redaksi yang dimuat dalam enam kitab di atas, tidak ditemukan potongan yang masyhur bahwa setiap kesesatan akan diancam masuk neraka. Ini menunjukkan bahwa potongan tersebut tidak memiliki sumber yang kuat.
Jika kembali kepada redaksi hadis, maka sejatinya terdapat dua pengertian yang berbeda. Pertama, pengertian yang tidak tegas menyebut setiap bid’ah adalah kesesatan, sebagaimana dalam Sunan Al-Tirmidzi. Kedua, pengertian yang menyatakan setiap bid’ah, atau semua bid’ah adalah kesesatan, sebagaimana redaksi dalam lima kitab hadis lainnya. Lalu, bagaimana memaknai hal ini? Apakah dapat dikatakan bahwa ada berdasarkan pengertian pertama, ada jenis bid’ah yang bukan kesesatan dalam agama? Ataukah cara memaknainya, harus mengikuti pengertian teks yang kedua; dimana di sana terdapat keteragan setiap bid’ah adalah kesesatan?
Imam Al-Syafi’i (w. 204 H.), tidak menerima pemaknaan kedua yang cenderung mengeneralisir pengertian. Beliau justru cenderung pada pengertian pertama yang membagi bid’ah menjadi dua macam. Bid’ah yang tidak sesuai dengan dasar-dasar agama, dan bid’ah yang sesuai dengan dasar-dasar agama. Imam Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i meriwayatkan dengan sanad lengkap, perkataan Imam As-Syafi’i mengenai hal ini.
المحدثات من الأمور ضربان. أحدهما: ما أحدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً. فهذه البدعة الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا. وهذه محدثة غير مذمومة.
Perkara yang baru ada dua macam. Pertama, perkara baru yang menyelisihi Al-Quran, hadis, atsar, atau ijma’. Inilah bid’ah dhalalah. Kedua, perkara baru yang tergolong perkara baik. Yang tiada perselisihan dari seorang ulama pun dalam masalah ini. Ini adalah perkara baru yang tidak tercelah. (Manaqib Al-Syafi’i, jilid 1, hlm. 469).
Riwayat Al-Baihaqi dari Imam Syafi’i ini berkualitas Shahih karena sanadnya terdiri dari orang-orang yang terpercaya. Imam As-Syafi’i, dalam riwayat Al-Baihaqi di atas, berdalil dengan perkataan Umar bin Khathhab yang pernah mengatakan Ni’mat Al-Bid’ah Hadzihi (Sebaik-baik bid’ah adalah shalat tarawih berjamaah ini).
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa sekalipun perkataan As-Syafi’i di atas shahih, ia tidak dapat digunakan membatasi (takhshish) sabda Nabi SAW. Perkataan As-Syafi’i bukan hujjah dalam masalah agama. Jika diperhatikan, perkataan As-Syafi’i memang bukan dijadikan dalil untuk mentakhshih keumuman hadis bid’ah. Tetapi, As-Syafi’i sendiri berdalil dengan perkataan Umar bin Khatthab, seorang khulafa’ur rasyidin (pemimpin bijak) yang dalam hadis tentang bid’ah, kita diperintahkan mengikutinya (sunnah al-khulafa’ al-rasyidin al-mahdiyyin). Artinya, As-Syafi’i bukan orang pertama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk. Orang yang pertama kali mentakhsish hadis tersebut adalah Umar bin Khathab.
Jika dikaji lebih jauh, ternyata, ada hadis lain yang menunjukkan bahwa ada sebagian perkara baru itu yang tergolong sunnah hasanah (tradisi yang baik). Sebagaimana dalam hadis,
“مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ”
Barang siapa membuat tradisi yang baik dalam Islam, lalu ia diamalkan sepeninggalnya, dicatat untuk orang tersebut setara pahala orang yang mengamalkan tradisi itu. Tidak berkurang dari pahala-pahalanya, sedikitpun. Barang siapa membuat tradisi buruk di dalam Islam, lalu ia diamalkan sepeninggal orang tersebut, maka dicatat untuknya sebesar dosa orang yang melakukannya. Dan tidak berkurang dari dosa-dosa itu sedikitpun. (HR. Muslim)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Kualitasnya adalah sahih, setidaknya menurut Imam Muslim. Bicara kandungan hadis ini, ia menyatakan bahwa orang yang menginisiasi perbuatan baik dalam Islam adalah orang yang terpuji. Sebaliknya, pelopor keburukan adalah tercela. Hadis ini, dengan demikian, berbicara tentang kepeloporan, inisiatif, yang dalam bahasa lain adalah bentuk bid’ah. Perkara yang tidak dipraktikkan Nabi SAW.
Dengan demikian, hadis ini merupakan dalil yang mengkhususkan pengertian umum dalam Hadis Semua Bid’ah Adalah Sesat. Sebagai bentuk penguatan terhadap perkataan Imam As-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua macam. Bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk.
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa hadis tentang bid’ah tidak bermakna umum karena ada hadis lain yang mentakhsisnya. Bid’ah yang tergolong buruk dan bentuk kesalahan dalam agama adalah bid’ah yang menyelisihi Al-Quran, hadis, atau ijma. Demikian ulasan tentang hadis bid’ah. Semoga bermanfaat.
https://harakah.id/memahami-hadis-semua-bidah-adalah-sesat-dan-diancam-neraka/
Sumber FB : Harakah ID
9 Mei 2021