Kalau disejajarkan dengan pengertian talfiq, maka secara teknis hampir semua kita yang level awam ini melakukan talfiq.
Ya, bukankah amaliyah kita ini banyak tercampur-campur antara Mazhab fiqih yang satu dengan Mazhab fiqih yang lain?
Bedanya, kita tidak sadar atau malah tidak tahu, komposisi dan campuran Mazhab apa saja yang sudah kita kerjakan.
Namun apa yang terlanjur kita lakukan sebagai orang awam tidak termasuk kategori larangan atau keharaman talfiq bainal madzahib yang dimaksud.
Sebab yang kita lakukan sama sekali tidak berangkat dari satu Mazhab fiqih pun. Sama sekali tidak bertitik tolak dari berittiba' kepada satu pun pendapat Mujtahid atau fuqaha.
Jadi memang tidak terjadi proses talfiq secara sengaja. Kalau pun mirip talfiq, terjadinya tanpa sengaja. Setidaknya memang tidak diniatkan.
Maka saya sering katakan bahwa ini bukan talfiq, tapi memang tidak bermazhab. Bermazhab saja tidak,bagaimana mau mentalfiq?
Kalau diibaratkan makanan, talfiq itu mencampur beberapa jenis makanan yang sudah jadi makanan mandiri.
Semangkok Bakso panas dicemplungkan es buah/es teler terus diudek-udek, lalu diceburin rujak cingur. Diaduk terus dan ditambahin bubur ayam lengkap dengan topingnya krupuk.
Itulah talfiq yang sejak awal berangkat dari menu masalah normal, tapi terus tidak tahu kenapa,kok diaduk-aduk tidak karuan.
Sedangkan yang kebanyakan kita lakukan bukan talfiq, tapi makan bahan-bahan mentah yang belum dimasak.
Kita masuk gudang persediaan bahan mentah. Lalu ketemu beras langsung dimakan mentah. Ketemu daging, ikan, tahu, tempe, dan banyak bahan lainnya, semua dimakan mentah-mentah.
Enak?
Ya nggak lah. Mana ada ceritanya makan beras mentah bikin kenyang? Yang ada malah sakit perut. Perut kita tidak didesain untuk menerima makanan mentah semua.
Walaupun bisa juga sih makan dedaunan atau lalapan mentah, cukup bermodal sambel. Tapi tidak semua kita bisa menjalani hidup ala para vegetarian.
Yang kita lakukan kebanyakannya adalah : berimprovisasi sendiri alias ngarang-ngarang sendiri. Bergaya layaknya seorang ahli ijtihad, meski sama sekali bukan Mujtahid.
Coba perhatikan, banyak sekali kita-kita ini yang langsung buka ayat Qur'an dengan meraba-raba hukumnya sekedar lewat terjemahan.
Kalau di Qur'an tidak ketemu ayatnya, biasanya meraba-raba hukumnya di salah satu dari kitab hadits yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa'i, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan ibnu Majah. Untungnya semua sudah diterjemahkan.
Hasilnya?
Sudah bisa dipastikan hasil meraba-raba itu sangat beragam dan variatif sekali. Tiap orang yang meraba-raba, akan mendapatkan hasil rabaan yang berbeda-beda.
Sepuluh orang meraba, hasilnya ada sepuluh hasil rabaan yang berbeda. Ya iya lah, kan cuma meraba-raba.
Inti masalahnya terletak pada kaca mata yang digunakan. Rata-rata kita yang awam ini kalau membaca Qur'an atau butir-butir hadits, bisanya hanya pakai kaca mata awam.
Sedangkan para fuqaha dan Mujtahid menggunakan kaca mata dan logika hukum. Ya kan memang tujuannya mau menarik kesimpulan hukum. Membacanya harus pakai alat hukum.
Kesimpulan : Beda antara talfiq dengan meraba-raba hukum secara improvisasi itu kadang samar. Tapi tetap berbeda.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
3 Januari 2021·