Posisi Kita Terhadap Hukum Islam
Bagaimana kira-kira bila kritisisme masa kini terhadap hukum islam kita bawa jauh ke masa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam? Saya membayangkan begini:
✬ Saat turun ayat pengharaman minuman keras, maka akan dikritik soal dampaknya pada ekonomi umat saat itu. Betapa banyak bisnis pengolahan miras yang harus tutup padahal itu merupakan bisnis yang menjadi tumpuan hidup banyak orang saat itu sebab minuman miras sudah merupakan tradisi turun temurun seperti halnya teh atau kopi di masa ini. Doktrin bahwa miras berbahaya sulit diterima dalam budaya serba miras yang justru melihatnya sebagai hal yang dibutuhkan dan sama sekali tidak berefek negatif kecuali hilang kesadaran sesaat dan itupun dianggap relaksasi.
✬ Saat ayat hijab dan jilbab turun, makan akan dikritik soal kemampuan agama islam dalam hal adaptasi budaya lokal. Sudah jelas bahwa aturan sedemikian tidak sinkron dengan budaya Arab Jahiliyah yang biasa mempertontonkan sebagian auratnya. Apalagi ketika aturan pengharaman tato, menukur alis dan menyambung rambut diucapkan oleh Nabi Muhammad. Besar kemungkinan akan dikritik bahwa Nabi Muhammad terlalu mengurus urusan badan perempuan, tidak menghargai tradisi turun temurun bangsa Arab dan bisa jadi dikaitkan dengan isu gender yang menggaungkan kebebasan bagi wanita untuk mengatur tubuhnya sendiri.
Itu perkiraan saya semata, mungkin benar dan mungkin saja tidak, tapi kemungkinan besar benar. Dengan kritik semacam itu, akan sedikit yang betul-betul menerima risalah dengan sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami patuh).
Selain itu ada kritik yang marak di masa modern yang juga sudah muncul di masa lalu, sehingga tidak perlu dikira-kira, yakni soal toleransi beribadah. Ketika orang Quraisy tidak mampu membujuk Nabi agar menghentikan dakwahnya, mereka mendatanginya dengan sebuah proposal toleransi beragama yang menurut sebagian orang di masa ini adalah tawaran yang progressif. Mereka menyarankan agar umat islam dan musyrikin Makkah saling beribadah bersama, sekali waktu semua menyembah berhala Quraisy, sekali waktu semua menyembah Allah. Namun tawaran ini ditolak mentah-mentah dengan turunnya surat al-Kafirun. Menurut Quraisy, kalau memang kerjasama dalam ibadah tidak bisa diterima, okelah Nabi Muhammad meneruskan ibadahnya pada Allah, tapi orang Quraisy mendesak setidaknya Nabi berhenti mencela sesembahan mereka dan ibadah mereka yang notabene merupakan tradisi turun temurun. Kalau perlu, kata Quraish, ayat-ayat Qur'an itu diganti saja dengan ayat-ayat yang lebih ramah. Kemudian turunlah ayat Yunus: 15 yang menegaskan bahwa Nabi tak bisa mengganti ayat apa pun sebab ia tidak mengarangnya sendiri melainkan hanya menyampaikan wahyu dari Allah apa adanya. Saat itu istilah radikal dan intoleran belum dikenal, andai saja dikenal pasti digunakan oleh orang Quraisy.
Membayangkan hal-hal semacam ini kadang perlu untuk melihat kira-kira kita di posisi siapa andaikata hidup di masa Nabi Muhammad. Apakah di posisi Abu Bakar yang beriman sempurna? Apakah di posisi seorang Badui yang menyatakan diri akan melakukan semua kewajiban tetapi tidak mau menambahinya dengan sunnah apa pun? Ataukah di posisi Nu'aiman yang beriman dan mencintai Allah dan Rasulullah tapi agak bandel sering melanggar aturan karena tidak kuat godaan? Atau di posisi Abu Sufyan yang melawan sekuat tenaga dengan kritisisme dan kecerdasannya tetapi akhirnya sadar dan mau menerima risalah Nabi apa adanya? Atau jangan-jangan malah di posisi Abu Jahal yang sampai mati menolak atau seperti Musailamah yang malah mengaku membawa risalah tandingan? Mari kita renungkan.
Sumber FB : Abdul Wahab Ahmad
Favorit · 31 Januari 2021 pada 13.44 ·