Membaca hadits itu seringkali menimbulkan kekeliruan dan salah paham. Salah satunya bisa kita baca dari dialog seperti ini.
Kiyai : belum nikah juga?
Bujangan : ee hhmm belum kiyai.
Kiyai : Sudah punya calon?
Bujangan : Hmm sss sudah ada sih eh belum sih, kiyai.
Kiyai : nikah itu kan sunnah Nabi, kenapa ditunda-tunda?
Bujangan : justru itu kiyai, saya kok memahaminya beda.
Kiyai : beda gimana?
Bujangan : Nabi SAW malah melarang nikah dalam hadits.
Kiyai : hadits yang mana yang melarang nikah?
Bujangan : itu lho kiyai.
اصنعوا كل شيء إلا الناكاح
Lakukan segala sesuatu, kecuali NIKAH.
Berarti nikah itu kan dilarang, kiyai?
Kiyai : makanya, kalau baca hadits pakai guru. Jangan asal terjemah. Sesat tuh cara memahaminya. Nikah yang dimaksud dalam hadits itu bukan akad nikah, tapi nikah dalam arti wath' alias jima;.
Konteks hadits ini lagi bicara tentang istri yang lagi haidh, bolehkah dicumbui oleh suaminya. Nabi SAW membolehkan percumbuan tapi tidak boleh sampai ke jima'.
Namun ungkapan yang digunakan oleh Nabi SAW bukan jima' tapi nikah.
Disitu jelas sekali yang lebih penting dari pada ngurusin shahih tidaknya hadits adalah bagaimana memahami dengan cara yang shahih juga. Bukan sekedar shahih riwayat tapi harus shahih cara memahami matannya.
Bujangan : Wah terima kasih masukkan kiyai.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
12 Januari 2018 ·