Oleh : Abdullah Al-Jirani
Jika menilai seorang ulama “bukan ahli hadis” hanya karena dia menyebutkan hadis dhaif (lemah) di dalam kitabnya, maka hampir-hampir tidak ada ahli hadis di dunia ini. Karena hampir tidak didapatkan seorang ulama pun, kecuali dia menyebutkan hadis dhaif (atau minimal dinilai dhaif oleh ulama ahli hadis yang lain) di dalam kitab-kitab mereka. Imam Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, dan An-Nasai, menyebutkan beberapa hadis dhaif di dalam kitab Sunan mereka. Imam Ahmad bin Hanbal juga menyebutkan beberapa hadis dhaif di dalam kitab musnad beliau. Bahkan sekelas imam Al-Bukhari dan Muslim pun tidak luput dari hal ini. Karena kitab keduanya, yaitu shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim yang konon merupakan kitab paling shahih setelah kitabullah (Al-Qur’an), juga dinilai ada hadis dhaifnya oleh sebagian ulama ahli hadis. Atau di dalam kitab mereka berdua yang lain, seperti kitab Adabul Mufrad karya imam Al-Bukhari yang jelas-jelas ada hadis dhaifnya.
Menilai sebuah hadis dhaif atau shahih, merupakan perkara yang sifatnya ijtihadi yang didasarkan oleh hasil analisa dari yang menilai sesuai dengan kemampuan yang dia miliki. Karena termasuk perkara ijtihadi, maka sifatnya dzanni (prasangka atau praduga), bukan sesuatu yang qath’i (pasti). Ada kalanya sebuah hadis dinilai dhaif oleh seorang ulama, tapi dinilai shahih atau minimal hasan di sisi ulama yang lain. Lalau bagaimana konsekwensinya digunakan untuk menilai seorang ulama ?
Seorang ulama menyebutkan sebuah hadis dhaif dalam kitab-kitab mereka memiliki beragam kemungkinan. Bisa jadi hadis tersebut shahih menurut penilaiannya, walaupun dinilai dhaif oleh ulama yang lain. Atau dia mengetahaui hadis tersebut dhaif, tapi sengaja dia sebutkan sebagai syawahid (penguat) dalil lain yang shahih. Atau hadis dhaif tersebut digunakan dalam masalah fadhailul a’mal (fadilah amalan), dimana menyebutkan dan mengamalkan hadis dhaif (syarat dan ketentuan berlaku) dalam fadhailul a’mal dibolehkan menurut jumhur ulama. Bahkan imam An-Nawawi menyebutkan adanya ijmak akan kebolehkan hal ini. Atau hadis dhaif tersebut sengaja disebutkan karena matannya (isinya) telah disepakati oleh para ulama (ijmak). Kemungkinan-kemungkian ini harus kita kedepankan sebagai bentuk husnu dzan (baik sangka) kita kepada mereka. Jadi, jangan sampai kita gegabah menuduh mereka tidak paham hadis atau bukan ahli hadis, ya.
Para ulama yang dikenal sebagai punggawa dalam ilmu musthalah hadis pun tidak luput dari hal ini. Mereka-mereka yang dijuluki dengan “amirul mukminina fil hadis” juga kedapatan menyebutkan hadis dhaif dalam kitab-kitab mereka. Sebagai contoh imam Ibnu Hajar Al-Asqalani – rahimahullah -. Beliau seorang ulama yang sangat dikenal dengan kepiawaiannya dalam ilmu hadis. Kitab-kitab beliau dalam bidang ini cukup banyak. kitab-kitab tersebut menjadi rujukan primer bagi para ulama dan penuntut ilmu dalam mempelajari ilmu hadis di seluruh penjuru dunia. Tapi dalam kitab “Bulughul Maram”, beliau menyebutkan beberapa hadis dhaif, bahkan ada yang terang-terangan beliau hukumi dhaif dalam kitab tersebut. Apakah kemudian hal ini menjadi bukti bahwa beliau bukan ahli hadis ?! No, sekali-kali tidak.
Kaidah ini (menilai seorang ulama bukan ahli hadis hanya karena kedapatkan menyebutkan hadis dhaif) adalah kaidah bid’ah yang tidak dikenal sama sekali di sisi para ulama. Kaidah bid’ah ini sering dipakai oleh sebagian pihak untuk ‘menyerang’ dan menjatuhkan para fuqaha (ahli fiqh) terutama para ulama fiqh dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), dan lebih khusus lagi para fuqaha mazhab syafi’i seperti Imam An-Nawawi, Imam Ar-Rafi’i, Imam Al-Ghazali, dan yang lainnya. Adapun faktanya, adalah sebaliknya. Mereka-mereka ini dan selainnya selain sebagai ahli fiqh, mereka juga ahli hadis. Ini yang kami yakini.
Kami pernah belajar beberapa kitab musthalah hadis kepada para masyaikh, seperti : matan Al-Baiquniyyah, Al-Ba’its Al-Hatsits syarh Ikhtishar ulumil hadis, Al-Muqidzah, Nukhbtul Fikar dengan Nuzhatun Nadzarnya, At-Taqyid wal Idhah, Tadribur Rawi, Dhawabith Jarh wa ta’dil, muqaddimah Imam An-Nawawi, Takhrij dan tahqiqh hadis, dan Syarh ‘ilal At-Tirmizi, tapi kami tidak pernah mendapatkan penggunaan kaidah ini.
Jadi, menilai seorang ulama apakah dia ahli hadis atau bukan, hendaknya dilihat dari berbagai sisi yang ada secara menyeluruh dengan pemaparan yang ilmiyyah serta mengacu kepada penjelasan para ulama (terutama dari para pendahulu) yang memiliki kapabilitas dalam hal ini. Jangan sampai kita membuat kesimpulan penilaian sendiri yang didasarkan kepada kaidah yang tidak jelas atau bahkan bid’ah, sementara kita ini tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sedangkan yang kita nilai adalah ‘gunung-gunung’ tinggi yang kokoh dan menjulang ke langit. Wallahu a’lam bsih shawab. Barakallahu fiikum jami’an.
6 Jumadil Akhir 1442 H
Sumber FB : Abdullah Al Jirani
19 Januari 2021 pada 07.16 ·