Rasa benci itu fitrah tidak bisa ditolak, sebagaimana juga rasa cinta.
Contohnya adalah bagaimana bencinya Nabi SAW kepada Wahsyi. Gara-garanya dulu di perang Uhud si Wahsyi inilah yang membunuh Hamzah paman Nabi SAW.
Konyolnya si WAhsyi melakukannya semata-mata demi uang saja. Sebenarnya dia tidak punya urusan dengan Hamzah. Otak di belakang semua itu adalah Hindun, istri Abu Sufyan yang dendam kesumat kepada Hamzah.
Lalu dia menyewa sniper, ya si WAhsyi itu. Di medan perang Uhud itu, tugasnya tidak perang, tapi hanya membunuh Hamzah saja. Dan ketika Hamzah sudah roboh, dadanya dirobek untuk dimakan jantungnya oleh si Hindun.
Nabi SAW berlinang air mata tidak bisa menahan kesedihan melihat jasad Hamzah. Dan tahu siapa pelakunya yang tidak lain adalah si Wahsyi itu.
Awas lho ya . . .
Lha kok si Wahsyi pakai acara masuk Islam segala. Kan susah jadinya. Mau dibunuh kagak bisa, kan sudah muslim baca syahadat gitu loh. Mau dimaafkan, kok hati ini susah memaafkan.
Makanya Nabi SAW selalu membuang muka kalau lihat si Wahsyi, meski sudah berstatus sebagai shahabat. Ini yang namanya benci tapi susah.
Dan kita bisa bayangin kalau misalnya diri kita ini yang jadi si Wahsyi. Kita sudah senyum-senyum kepada Nabi SAW dari jauh pas ketemuan, eh ternyata beliau melengos dan malah buang muka.
Sedih banget kan.
Disitulah kemudian Wahsyi bertekat mau menebus kesalahannya di masa lalu. Dia kemudian tercatat sebagai orang yang membunuh Musailimah Al-Kadzdzab. Seandainya Nabi SAW masih hidup, pasti suasananya jadi lain.
Tapi begitulah manusia, semulia-mulia manusia pun tetap manusia juga. Manusia gitu loh, bukan Tuhan.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
12 Januari 2021 pada 08.36 ·