Tidak ada pengaruhnya
Belakangan ini muncul sebuah fenomena yang dianggap oleh sebagian pihak sebagai bentuk “tajdid” (pembaharuan), yaitu semangat orang awam untuk menuntut dalil dari perkara apa saja yang disampaikan oleh para guru atau ulama. Maka ada sebuah slogan yang beredar di antara mereka yang berbunyi “Agama itu simple, ada dalil diamalkan, tidak ada dalil tinggalkan.” Ini hakikatnya bukan “tajdid” tapi lebih tepatnya “tadhlil” (penyesatan). Slogan ini dan yang semisalnya tidaklah salah, hanya penisbatannya yang keliru. Jika dinisbatkan kepada para ulama mujtahidin, maka benar. Tapi jika dinisbatkan kepara orang awam, maka salah fatal.
Pengetahuan orang awam terhadap dalil, tidak memberikan pengaruh apapun, karena mereka sekedar tahu, tapi tidak memahami maknanya dan tidak bisa menggunakannya. Untuk memahami dalil dan menggunakannya dalam istinbath (memetik) suatu hukum, dibutuhkan ilmu pendukung yang tidak sedikit, khususnya ilmu-ilmu alat yang harus dikuasi dengan baik. Sedangkan masyarakat awam tidak memiliki hal itu semua.
Jika dipaksakan, sangat dikhawatirkan mereka tidak akan memahaminya atau memahaminya dengan pemahaman yang keliru. Ini sangat berbahaya. Karena orang yang “merasa sudah paham”, itu biasanya akan menyampaikan kepada orang lain. Tidak hanya sesat, tapi juga bisa menyesatkan orang lain. Yang terpenting bagi masyarakat awam, adalah memahami agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan menyibukkan diri dengan masalah dalil.
Ibarat seorang pasien yang datang ke dokter specialis untuk mengobati penyakitnya. Amat tidak lazim (aneh) kalau dia menimpali hasil analisa atau dianogsa dokter yang memeriksanya dengan pertanyaan “dalilnya apa”. Karena seandainya dijelaskan pun, dia tidak akan mampu untuk memahaminya. Bagaimana dia akan memahami, sedangkan dia tidak memiliki backgraound madis sama sekali. Benar-benar nol. Bisa-bisa malah salah dalam memahami penjelasan dokter. Ini sangat berbahaya untuk dirinya sendiri dan orang lain. Sudah sesat, menyesatkan orang lain pula.
Dalil, terdiri dari Al-Qur’an, hadis, Ijma dan Qiyas. Ini yang disepakati di sisi Ahus Sunnah wal Jama’ah. Adapun yang diperselisihkan masih banyak. Jenis dalil seperti ini hanya layak ‘dikonsumsi’ oleh para ulama yang telah mencapai derajat ijtihad. Adapun orang awam, maka bukan levelnya. Ibarat bayi, maka makanan yang tepat di usia itu adalah ASI atau bubur halus. Kalau dikasih makan nasi, atau batagor, maka bisa memudharatkannya, bahkan bisa menyebabkan dia meninggal.
Bagi orang awam, fatwa atau penjelasan ulama adalah “dalil” bagi mereka. Jadi kalau ada orang awam kok masih menuntut dalil yang lain, itu aneh. Lha wong sudah dikasih dalil kok masih minta dalil. Yang lebih aneh lagi, ada orang awam yang disodori sebuah fatwa dari imam mujtahidin, lalu komentar : “Fatwa ulama bukan dalil”. Mungkin menurutnya, kalau ulama berfatwa itu pakai hawa nafsu, hanya dia yang pakai dalil. Perbuatan semacam ini, salah satu bentuk su’u az-zhan (buruk sangka) terhadap para ulama yang merupakan pewaris para Nabi. Hukumnya dosa besar.
Imam Asy-Syathibi rh menyatakan :
فَتَاوَى الْمُجْتَهِدِيْنَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى العَوَامِّ كَالْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُجْتَهِدِيْنَ
“Fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam, seperti dalil-dalil syar’i bagi para ulama mujtahidin.”
Oleh karena itu, hendaknya cara berfikir yang keliru seperti ini harus segera diubah. Berbagai kegaduhan, kerusakan, dan fitnah yang terjadi saat-saat ini, sangat mungkin disebabkan oleh perilaku orang awam yang menempatkan diri mereka - secara zalim - di kedudukan para ulama mujtahidin. Mereka merasa tahu dan paham dalil, lalu dengan lancang berfatwa, menyampaikan, dan mengomentari berbagai hal.
Sahabat Ali bin Abi Thalib ra pernah menyatakan :
لَوْ سَكَتَ الْجَاهِلُ مَا اخْتَلَفَ النَاسُ
“Seandainya orang bodoh itu diam, sungguh manusia tidak akan berselisih.” [Kasyful Ghummah : 3/139].
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.
2 Rabiul Akhir 1442 H
Abdullah Al-Jirani
****
Orang awam adalah siapa saja yang tidak sampai derajat ulama ahli ijtihad. Contoh yang paling dekat adalah “kita”.
Sumber FB : Abdullah Al Jirani
17 November 2020 pukul 08.02 ·