Jangan Lihat Siapa Yang Bicara?
Ada ungkapan unik terkait masalah 'siapa yang bicara' dalam bahasa Arab, yaitu :
انظر ما قال ولا تنظر من قال
Terjemahan bebasnya kira-kira menjadi : "Lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan lihat siapa yang bicara".
Saya setuju dengan kaidah ini, tapi kurang setuju kalau salah dalam menerapkannya. Dan masalahnya, justru 'salah dalam menerapkannya' itulah yang sering kejadian.
1. ILMU HADITS
Kaidah ini kalau diimplementasikan dalam Ilmu Kritik (Naqd) Hadits, jelas tidak bisa. Hadits yang oleh Al-Bukhari dibilang shahih beda kelas dengan yang dibilang shahih oleh Al-Hakim. Meskipun standar penshahihannya sama persis.
Apalagi kalau yang bilang shahih si Paijo, Paimin dan Paidi. Ketiganya bukan ahli hadits, tapi sok menshahihkan dan mendhaifkan hadits. Padahal mereka cuma ngutip dari sumber lain yang juga tidak jelas.
2. ILMU FIQIH
Begitu juga ketika para ahli fiqih level top selevel Ar-Rafi'i, An-Nawawi, Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari bilang hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram atau mubah, maka itulah rujukan yang tepat.
Fatwa mereka tidak bisa disamakan fatwa mereka dengan pendapat si Tukijan, si Tugimin dan si Tumidi.
Sebab ketiganya bukan ulama ahli ijtihad dan bukan ahli fiqih. Mereka malah tidak paham bahasa Arab, tidak mengerti fiqih dan ushulnya. Mereka itu awam dan tidak layak dijadikan rujukan dalam masalah hukum syariah.
3. ILMU QIRA'AT
Ketika bacaan Al-Quran harus dibaca begini dan begitu menurut Al-Kisa'i, Nafi', Ashim, dan para qurra' yang terdapat dalam kitab karya Ibnu Mujahid (w. 314 H), maka tidak bisa disamakan dengan bacaannya Wakijan, Wakiman dan Wakidi.
Sebab mereka bukan ahli qiraat, tidak punya sanad, dan tidak jelas asal muasalnya.
Penting bagi kita dalam baca Al-Quran untuk menggunakan riwayat-riwayat yang mutawatir dan tidak boleh riwayat yang syadz, khususnya dalam shalat.
Apalagi yang tidak ada riwayatnya, lebih haram lagi. Masak baca Al-Quran pakai riwayat ngarang sendiri?
Maka dalam prinsip dasar ilmu-ilmu keislaman, 'siapa yang berkata' itu penting sekali. Jangan pernah terpikir belajar agama dari mereka yang bukan siapa-siapa alias bukan ahlinya.
Belajar ilmu koding yang tidak ada kaitannya dengan agama, harus kepada yang jago koding.
Jangan coba-coba belajar koding sama artis, atlet, pelawak, influenser, motivator, aktifis, koordinator demo, muallaf, dan profesi di luar keahlian dalam perkodingan.
Yang jago koding aja sering mumet, apalagi yang belum pernah ngoding. Bisa keriting rambutnya. Lha kok malah belajarnya salah alamat?
Ahmad Sarwat
9 Oktober 2020 pada 08.16 ·