Fatwa dan Konsekuensinya
Berfatwa itu tidak mudah, banyak pertimbangannya. Salah satunya masalah konsekuensi turunan dari fatwa. Ini perlu dipertimbangkan masak-masak, sebelum menarik kesimpulan.
Kalau kita haramkan A, padahal A itu bagian tak terpisahkan dari B, maka perlu dipikirkan juga apakah B ikut jadi haram atau tidak.
Dalam hal ini para ulama sering berbeda pendapat dalam masalah konsekuensinya.
Contoh sederhana bahwa mencuri sarung di jemuran itu haram. Kalau misalnya sarung itu lantas dipakai untuk shalat, bagaimana hukum shalatnya?
Apakah shalatnya jadi haram atau halal? Di sisi lain, shalatnya sah atau tidak? Lalu apa hukumnya bermakmum di belakang imam yang sarungnya hasil curian?
Sebagian ulama mengatakan shalatnya tidak sah, karena pakai barang haram. Maka shalatnya makmum ikut jadi tidak sah. Pendekatannya pakai mazhab karena nila setitik maka rusak lah susu sebelanga.
Namun sebagian ulama lain bilang bahwa mencurinya saja yanghara, sedangkan shalatnya tetap sah. Karena itu kalau dia jadi imam tetap sah shalatnya makmum.
Contoh lain misalnya jajan makanan pas orang shalat Jumat, padahal sudah terdengar adzan Jumat. Ada nash Al-Quran yang melarang jual-beli di saat itu.
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum´at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS. Al-Jumuah : 9)
Lalu apa status hukum atas makanan yang dibeli saat khatib naik mimbar? Halal atau haram?
Sebagian ulama bilang halal namun sebagian lagi bilang haram. Yang bilang haram beralasan karena jual-belinya haram, makanan itu jadi tidak sah untuk dimiliki. Kalau tidak sah dimiliki, maka hukum memakannya ikut haram.
Sebagian yang lain beda pandangan. Benar jual-beli saat khatib khutbah itu haram, tapi akad jual-belinya tetap sah. Dan karena sah, dimakan pun halal.
Jadi sebuah fatwa itu bisa punya efek, kadang awalnya hanya mengharamkan A kemudian berkonsekuensi mengharamkan B, namun kadang fatwa itu hanya berlaku pada A namun tidak ngefek ke B.
Model semacam ini adalah salah satu ragam penyebab perbedaan fatwa di kalangan ulama. Istilahnya adalah hukum turunan.
Kita yang terbiasa mengkaji Fiqih Ikhtilaf cuma senyum-senyum saja kalau membahas bab beginian. Karena sudah biasa dan bisa maklum.
Tapi kalau yang belum terbiasa, bumi serasa berputar dan bikin limbung. Kapasitas processor otaknya tidak terbiasa dengan pemrosesan hal-hal serumit ini.
Dalam kamusnya cuma dikenal dua kata, kalau nggak halal dan ya haram. Sekali haram, tetap haram, hidup haram.
Sesederhana itu kemampuan komputer otaknya memproses. Komputer agak jadul XT286, belum pakai harddisk, masih pakai disket. Di promt A masukkan Dos, di promt B masukkan aplikasi. Lalu krik krik krik.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
20 September 2020 pukul 11.29 ·