Tafwidh Adalah Madzhab Salafus Shalih
Metode tafwidl (disebut sebagian ulama dengan istilah ta’wil ijmali/takwil secara global). Metode ini digunakan oleh sebagian besar ulama salaf (ulama yang hidup pada tiga abad pertama Hijriah). Yaitu dengan cara mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah makna zahirnya yang merupakan sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat, yakni dengan meyakini bahwa ayat-ayat mutasyabihat tersebut tidak mengandung makna yang bertentangan dengan makna ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (الشورى: ١١)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya)” (QS asy-Syura: 11).
Ibn Taimiyyah dan Wahhabi berpendapat bahwa metode tafwidh adalah jenis dari ta'thil (menafikan sifat Allah) dan tajhil (pembodohan), dan mereka tidak menganggapnya sebagai metode Salafus shalih.
Menurut mereka tidak cukup hanya mengatakan bahwa: kita menetapkan Yad Allah, dan wajh, tanpa makna atau bila kaif (tanpa sifat-sifat benda), akan tetapi mereka mengatakan: Allah memiliki tangan yang hakiki, wajah yang hakiki, dan Dia beristiwa dengan Dzat-Nya dan turun dengan Dzat-Nya, dan kami mengetahui maknanya dan men-Tafwidh kaifiyyatnya (bentuk & mekanismenya).
Dan tidak diragukan lagi bahwa menetapkan sifat-sifat Allah tersebut pada hakikatnya adalah jenis dari keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) yang mana kita dilarang meyakini seperti itu. Mereka mengatakan: Allah memiliki tangan yang hakiki, istiwa hakiki dan sejenisnya, maka itu adalah keyakinan tajsim yang jelas.
Jadi, orang Arab tidak mengenal tangan yang hakiki kecuali tangan yang terdiri dari daging dan jari-jari, dan orang Arab tidak mengenal tangan yang hakiki selain tangan yang merupakan anggota tubuh (jarihah). Adapun istiwa yang hakiki, orang Arab tidak mengenalnya kecuali dalam arti bertempat menetap (istiqrar), duduk, dan tamakkun (bertempat) diatas sesuatu. Hal ini ditetapkan oleh Ibnu Taimiyah ketika ia menyatakan bahwa Allah Ta'ala duduk di atas arsy, dan Arsy itu adalah tempat-Nya, dan wahhabi mengikuti pendapat tersebut.
Adapun keyakinan para salaf dan para imam adalah sebaliknya, dan saya akan menyampaikan kepada Anda apa yang telah dikatakan oleh para salaf tentang tafwidh makna dan kaifiyah, yang diyakini oleh para ulama Asy'ariyah, dan diyakini oleh para ulama di setiap zaman dan tempat.
Diriwayatkan dari tabi'in yang mulia, Imam Amir al-Sy'abi yang wafat pada tahun 104 H, bahwa dia ditanya tentang istiwa', maka dia berkata:
[هذا من متشابه القرآن، تؤمن به، ولا تتعرض المعناه]
أقاويل الثفات المرعي المقدسي الجيلي (ص ١٢١)، الناشر: مؤسسة الرسالة، بيروت، الطبعة الأولى سنة ١٤٠٦هـ.
"Ini termasuk ayat-ayat yang mutasyabihat dalam Al-Qur'an, kamu beriman kepadanya, tetapi jangan mencari maknanya."
Adapun Wahabi, mereka mengatakan: Bahkan makna istiwa adalah duduk, dan 'arsy adalah tempat Allah Ta'ala, jadi apakah dengan ini mereka sepakat dengan para salaf atau menyelisihi salaf?!
Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i yang wafat pada tahun 204 H berkata:
[أمنت بالله، وما جاء عن الله على مراد الله، وآمنت برسول الله، وبها جاء عن رسول الله، على مراد رسول الله]
لمعة الاعتقاد لابن قدامة (ص (٣٦).
"Aku beriman kepada Allah, dan apa yang datang dari Allah sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah, dan apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud yang dikehendaki Rasulullah."
Dan Imam Ibn Qudamah Al-Hanbali meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 240 H bahwa beliau berkata:
[نؤمن بها، ونصدق بها، لا كيف ولا معنى]
راجع: لمعة الاعتقاد لابن قدامة (ص (۳۱)، العرش للذهبي (٢٥٨/١)، أيضاح الدليل للبدر ابن جماعة ( ص ٤٠)، الإبانة» لابن بطة (٥٨/٧) وغيرهم كثير.
"Kami beriman kepadanya, dan membenarkannya, tanpa kaif (sifat-sifat benda) dan tanpa makna."
Dan Al-Khallal meriwayatkan dalam Akidah Imam Ahmad dan teksnya:
[وَسُئِلَ قبل موته بِيَوْمَ عَن أَحَادِيثِ الصِّفَاتِ فَقَالَ : تمر كَمَا جَاءَت، ويؤمن بها، وَلَا يُرَدُّ مِنْهَا شَيْءٍ إِذَا كَانَتْ بأسانيد صحاح، وَلَا يُوصف الله بِأَكْثَرَ يما وصف به نفسه، بلا حد، وَلَا غَايَة لَيْسَ {كَمِثْلِهِ شَيْء وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ } [الشورى: ١١] ومن تكلم في مَعْنَاهَا ابْتَدَعْ]
العقيدة رواية أبي بكر الخلال» (ص ۱۲۷).
"Dan dia ditanya (yaitu Imam Ahmad) sehari sebelum kematiannya tentang hadits-hadits sifat-sifat Allah, maka dia berkata: 'Biarkan sebagaimana datangnya, dan berimanlah kepadanya, dan tidak ada yang ditolak darinya jika sanadnya sahih, dan Allah tidak disifatkan melebihi dari apa yang Dia sifatkan bagi diri-Nya, tanpa had (batas ukuran), dan tanpa batas akhir, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat' [Asy-Syura: 11]. Dan siapa yang berbicara tentang maknanya, maka dia telah berbuat bid'ah."
Maka, bisakah Wahhabi menjelaskan kepada kami maksud perkataan Imam Ahmad: "Dan siapa yang berbicara tentang maknanya, dia telah berbuat bid'ah?!" Atau apakah yang dimaksud Imam Ahmad dengan "makna" adalah "Kaif" seperti yang dimanipulasi oleh Wahhabi dengan kedustaan mereka?
Dan ungkapan Imam Ahmad ini sangat jelas seperti matahari dalam men-Tafwidh makna kepada Allah Ta'ala, bukan menetapkannya secara hakiki (makna zahir hakikat bahasa) seperti mazhab Ibn Taymiyyah dan Wahhabi , karena mereka adalah para ahli bid'ah menurut Imam Ahmad rahimahullah, dan perkataan Imam Ahmad ini yang meriwayatkannya adalah Al-Khallal dan Ibn Qudamah, keduanya sebelum masa Ibn Taimiyyah.
Dan berkata Imam Muhaddits Abu Utsman Said bin Ismail bin Said al-Hiri yang wafat pada tahun 298 H:
[وَالتَّفْويضُ بِمَا جَهِلْتَ عِلْمَهُ إِلَى عَالِمِهِ، وَالتَّفْويضُ مُقَدِّمَةٌ لِلرِّضَا، وَالرِّضَا بَابُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ]
حلية الأولياء وطبقات الأصفياء (٢٤٥/١٠).
"Dan tafwidh pada apa yang kamu tidak ketahui ilmunya kepada yang mengetahuinya, dan tafwidh itu adalah pendahuluan untuk keridhaan, dan keridhaan adalah pintu rahmat Allah yang paling luas."
Dan Ibn Khuzaimah yang wafat pada tahun 311 H berkata:
[فتفهموا - يا ذوي الحجا - ما بينتُ في هذا الفصل، تعلموا أن الخالقنا أسام، قد تقع تلك الأسامي على بعض خلقه في اللفظ لا على المعنى]
التوحيد وإثبات صفات الرب (ص ٤٠ ، (٤١)
"Pahamilah - wahai orang-orang yang berakal - apa yang telah saya jelaskan dalam bab ini, ketahuilah bahwa Tuhan kita memiliki nama-nama, nama-nama tersebut mungkin digunakan untuk sebagian makhluk-Nya dalam lafaz saja tidak pada maknanya"
Dan Imam Al-Hafizh Al-Baihaqi yang wafat pada tahun 458 H berkata:
[وفي الجملة يجب لأن يعلم أن استواء الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ليس باستواء اعتدال عن اعوجاج، ولا استقرار في مكان، ولا مماسة لشيء من خلقه؛ لكنه مستو على عرشه كما أخبر بلا كيف، بلا أين]
الاعتقاد والهداية إلى سبيل الرشاد على مذهب السلف وأصحاب الحديث للبيهقي (ص١١٦)
"Secara global harus diketahui bahwa istiwa' Allah subhanahu wa ta'ala bukanlah istiwa' bermakna lurus dari bengkok, bukan pula bermakna bertempat menetap di suatu tempat juga bukan bermakna menyentuh sesuatu dari sekian makhluk-Nya. Akan tetapi Allah istiwa' atas Arsy seperti yang Allah beritakan tanpa disifati dengan sifat sifat benda (bila kaif) tanpa ada pertanyaan dimana".
Dan berkata Al-Hafizh Ibn Abd al-Barr al-Maliki yang wafat pada tahun 463 H dalam kitabnya "Al-Tamhid" (231/19):
[ونحن نقول بما ثبت عنه ولا نعدوه، ونكل ما جهلنا من معناه إليه ﷺ، فبه علمنا ما علمنا، وهو المبين عن الله مراده]
"Dan kami mengatakan berdasarkan apa yang telah valid darinya dan tidak melampauinya, dan kami menyerahkan apa yang kami tidak ketahui maknanya kepada Rasulullah ﷺ, maka dengan itu kami mengetahui apa yang kami ketahui, dan beliau adalah yang menjelaskan maksud yang dikehendaki Allah".
Imam al-Haramain al-Juwayni, yang wafat pada tahun 478 H, berkata:
[وقد دَرَجَ صحب النبي ﷺ على ترك التعرض لمعانيها، ودرك ما فيها، وهم صفوة الإسلام والمستقلون بأعباء الشريعة، وكانوا لا يألون جهدا في ضبط قواعد الملة، والتواصي بحفظها، وتعليم الناس ما يحتاجون إليه منها]
هوامش على العقيدة النظامية (ص١٤٩).
"Dan sesungguhnya para sahabat Nabi ﷺ telah berpegang kepada prinsip untuk meninggalkan pemaparan makna-maknanya dan menjangkau apa yang terkandung di dalamnya - mereka adalah golongan terbaik dalam Islam dan yang bertanggungjawab terhadap beban syariah. Mereka tidak pernah berhenti berusaha. untuk menetapkan kaidah-kaidah agama dan saling berwasiat untuk menjaganya serta mengajarkan kepada orang-orang apa yang mereka butuhkan darinya".
Dan Imam Syaikh Hanabilah Ibn Qudamah al-Hanbali yang wafat pada tahun 620 H berkata:
[ولأن قولهم (آمَنَّا بِهِ} يدل على نوع تفويض وتسليم لشيء لم يقفوا على معناه]
روضة الناظر وجنة المناظر في أصول الفقه على مذهب الإمام أحمد بن حنبل، لابن قدامة (٢١٦/١) الناشر: مؤسسة الريان للطباعة والنشر والتوزيع، الطبعة: الطبعة الثانية ١٤٢٣هـ / ٢٠٠٢م.
"Dan karena ucapan mereka (آمَنَّا بِهِ) menunjukkan atas jenis tafwidh dan taslim (ketundukkan) pada sesuatu yang tidak mereka ketahui maknanya."
Imam Ibn al-Shalah yang wafat pada tahun 643 H, rahimahullah, berkata:
[على هذه الطريقة مضى صدر الأمة وسادتها، وإياها اختار أئمة الفقهاء وقادتها، وإليها دعا أئمة الحديث وأعلامه ولا أحد من المتكلمين من أصحابنا يصدف عنها ويأباها]
الإتقان للسيوطي (۱۳۳/١٤)، مناهل العرفان للزرقاني (٢٤٠/٢).
"Dengan cara inilah para pendahulu umat dan pemimpin-pemimpinnya melaluinya, dan dengan cara inilah para imam fiqih dan pemimpin-pemimpin mereka memilih, dan kepada cara inilah para imam hadits dan tokoh-tokohnya menyeru, dan tidak ada seorang pun dari kalangan para ahli kalam (teolog) di kalangan kami yang berpaling darinya dan menolaknya.".
Dan berkata Syaikhul-Islam Imam al-Nawawi yang wafat pada tahun 676H:
[مذهب معظم السلف أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها، بل يقولون: يجب علينا أن نؤمن بها، ونعتقد لها معنى يليق بجلال الله تعالى وعظمته مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء، وأنه منزه عن التجسيم والانتقال، والتحيز في جهة، وعن سائر صفات المخلوق، وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين، واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم]
شرح النووي على مسلم (۳۹۸/۳).
"Pendapat mayoritas salaf atau semuanya adalah bahwa mereka tidak berbicara tentang maknanya, tetapi mereka mengatakan: wajib atas kita beriman kepadanya, dan meyakini makna yang sesuai dengan kemukiaan dan keagungan Allah Ta'ala dengan keyakinan teguh kita bahwa Allah Ta'ala tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya baik dari satu segi maupun dari semua segi, dan dan Allah maha suci tajsim, dan perpindahan, dan terikat pada arah, serta dari semua sifat makhluk. Pendapat ini adalah pendapat sekelompok ahli kalam, dan dipilih oleh sekelompok dari muhaqqiq mereka, dan ini adalah yang paling selamat".
Dan al-Hafiz Ibn Daqiq al-Eid rahimahullah yang wafat pada tahun 702 H mengatakan:
[نقول في الصفات المشكلة إنها حق وصدق على المعنى الذي أراده الله، ومن تأولها نظرنا فإن كان تأويله قريبا على مقتضى لسان العرب لم ننكر عليه، وإن كان بعيدا توقفنا عنه ورجعنا إلى التصديق مع التنزيه]
فتح الباري، ابن حجر، ۱۳/۳۸۳.
"Terkait teks-teks tentang sifat-sifat-Nya yang seakan bermasalah (musykilah) maka kita katakan bahwa semua itu benar adanya di atas makna yang dikehendaki oleh Allah. Dan bagi yang memberlakukan takwil di dalamnya maka kita lihat, jika takwil tersebut adalah takwil yang dekat di atas tuntutan (kelaziman) bahasa Arab maka kita tidak mengingkarinya, dan jika takwil tersebut jauh dari tuntutan bahasa maka kita tawaqquf (tidak menatapkannya), dan kita kembali kepada membenarkan adanya teks-teks tersebut dengan tetap meyakini kesucian Allah dari menyerupai ciptaan-Nya".
Dan berkata Syekh al-Dzahabi yang wafat pada tahun 748 H:
[وتعالى الله أن يحد، أو يوصف إلا بما وصف به نفسه، أو علمه رسله بالمعنى الذي أراد بلا مثل، ولا كيف، ليس كمثله شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ]
سير أعلام النبلاء (٩٧/١٦)
"Maha Suci Allah dari dibatasi, atau disifati kecuali dengan apa yang Dia sifatkan tentang diri-Nya, atau yang diajarkan rasul-Nya dengan makna yang Dia kehendaki tanpa keserupaan, tanpa kaif (sifat-sifat benda), tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya baik dari satu segi maupun dari semua segi, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, yang wafat pada tahun 795 H, berkata:
[فلهذا اتفق السلف الصالح على إمرار هذه النصوص كما جاءت من غير زيادة أو نقص، وما أشكل فهمه منها وقصر العقل عن إدراكه وكل إلى عالمه]
فتح الباري شرح صحيح البخاري (۳/ ۱۱۸)
"Oleh karena itu, para salaf yang saleh sepakat untuk membiarkan teks-teks ini sebagaimana datangnya tanpa menambah atau mengurangi, dan apa yang sulit dipahami darinya serta di luar jangkauan akal, diserahkan kepada yang mengetahuinya."
Dan semua orang yang kami kutip mengenai mazhab tafwidh ini, semuanya dari sebelum masa Ibn Taimiyyah atau dari sezamannya.
Dan semua penjelasan ini menunjukkan bahwa tafwidh adalah mazhab para salafus saleh, dan artinya adalah beriman kepada semua yang datang dalam teks-teks syariah dan men-tafwidh maknanya kepada Allah Ta'ala, dan ini adalah kesempurnaan tanzih (mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya) serta Taslim (ketundukkan & penerimaan pada teks-teks syariah) yang dijalani oleh Salafus saleh.
Adapun menetapkan sifat-sifat Allah secara hakikat bahasa serta men-tafwidh kaifiyyat (mekanismenya) seperti yang diyakini Ibn Taimiyyah & Wahhabi, merupakan dari jenis keyakinan tasybih & tajism (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), sesat dan menyesatkan serta merupakan pangkal kekufuran.
Wallahu a'lam
Sumber FB Ahlussunah Wal Jama'ah Riau : Asy'ariyyah wal Maturidiyyah