Memahami Perbuatan Allah
Bila anda berbuat sesuatu, selalu terjadi perubahan dalam diri anda. Misal anda bekerja, maka ada perubahan dalam dzat anda (diri anda) dari semula diam menjadi bergerak. Demikian pula ketika anda berlari di lapangan misalnya, maka ada perubahan dalam dzat anda yang semula ada di rumah lalu pergi berpindah ke lapangan dan dari awalnya tidak berlari kemudian berlari. Seluruh perubahan tersebut terjadi dalam dzat anda yang dalam hal ini adalah tubuh anda. Demikian juga ketika anda memberikan sesuatu, diri anda mengalami perubahan dari diam menjadi bergerak mengambil sesuatu lalu bergerak lagi memberikannya pada orang lain.
Sedangkan bila kasusnya adalah Allah, maka jauh berbeda sebab Allah bukan seperti anda. Ketika Allah memberi rizki pada fulan, maka tidak terjadi perubahan sama sekali pada Dzat Allah yang kekal abadi dan bukan jsim itu. Perubahannya terjadi pada fulan yang awalnya miskin berubah menjadi kaya. Demikian juga bila Allah menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberi nikmat dan seterusnya, sama sekali tidak ada perubahan pada diri Allah tetapi hanya terjadi perubahan dalam diri makhluk yang menjadi objek perbuatan Allah tersebut.
Itulah yang dimaksud para ulama Ahlussunnah wal jamaah (Asy'ariyah) ketika mengatakan bahwa perbuatan Allah tidak qa'im bi dzatillah alias tidak terjadi pada diri Allah. Dengan kata lain, Allah dalam melakukan segala sesuatu tidak perlu berusaha, bergerak, berpindah tempat dan seterusnya sebah hanya makhluk yang tindakannya memerlukan ini semua.
Yang tidak setuju pada pendapat Ahlussunnah wal Jamaah ini hanya ahli bid'ah yang membayangkan Allah bertubuh, bergerak, berusaha, menempati tempat. berpindah tempat dan seterusnya. Mereka ini dikenal sebagai aliran mujassimah. Mereka mengkhayalkan apa yang terjadi pada makhluk juga terjadi pada Allah.
Ketika misalnya ada keterangan bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah liat, maka dalam khayalan mujassimah Allah berubah kondisi dari diam kemudian mengambil tanah, mengadoni tanah tersebut dan membentuk tanah tersebut dengan organ tangan Allah menjadi sosok bertentuk manusia lalu meniupkan ruh padanya. Adapun dalam keyakinan Ahlussunnah tidak demikian sebab seperti disebutkan di dalam al-Qur'an, Allah hanya perlu memberi instruksi kun fayakun, terjadilah maka proses itu pun terjadi. Diri Allah sama sekali tidak mengalami perubahan tapi tanah liat itu yang mengalami perubahan menjadi sosok Adam.
Lalu bagaimana dengan perbuatan Allah seperti istawa misalnya? Sebenarnya Ahlussunah wal Jamaah membagi maknanya menjadi dua, yakni makna uluw dan makna perbuatan Allah atas Arasy (lihat misalnya di Fathul Bari karya Ibnu Hajar, al-Taudhih karya Ibnu al-Mulaqqin atau syarah Bukhari karya Ibnu Batthal).
- Bila dimaknai sebagai sifat uluw atau kemahatinggian Allah, maka istawa bukanlah jenis perbuatan Allah sebab Allah selalu maha tinggi tanpa ada kaitannya dengan waktu. Sejak sebelum arasy tercipta, Allah memang sudah maha tinggi.
- Namun bila dimaknai sebagai perbuatan Allah atas arasy (lihat misalnya di al-asma' was shifat), maka maksudnya adalah terjadi perubahan pada makhluk bernama arasy itu yang kita tidak tahu apa dan bagaimana detailnya tapi yang jelas Allah menyebutnya sebagai tindakan istawa. Inilah yang dimaksud oleh Imam Asy'ari ketika berkata:
أن الله تعالى فعل في العرش فعلا سماه استواء كما فعل في غيره فعلا سماه رزقا ونعمة أو غيرهما من أفعاله
"Sesungguhnya Allah melakukan suatu tindakan yang terjadi atas Arasy yang disebut sebagai istawa, seperti halnya Allah melakukan sesuatu yang terjadi pada makhluk lain yang disebut sebagai rizki, nikmat, dan lainnya".
Sekali lagi, maksudnya adalah perubahan itu terjadi pada makhluk saja bukan pada diri Allah yang mustahil mengalami perubahan sebab karakter Allah berbeda secara mutlak dengan karakter makhluk.
Sebenarnya ini sederhana, tetapi ahli bid'ah mujassimah pasti sulit menerima sebab dalam alam pikiran mereka, perubahan yang terjadi dalam proses perbuatan makhluk juga pasti terjadi pada diri Allah. Akhirnya mereka mengkritik Ahlussunnah wal Jamaah (Asy'ariyah) dengan membuat contoh perbuatan istawa Allah sama seperti kasus Zaid yang lari di lapangan di mana perbuatannya terjadi di lapangan, perubahan dan geraknya juga terjadi di lapangan, dan tentu saja tubuh Si Zaid juga ada di lapangan. Dikiranya Allah seperti si Zaid itu barangkali sehingga dia merasa ajaran Ahlussunnah wal Jamaah tidak masuk akal. Lihat SS dari akun tidak jelas ini sebagai buktinya:
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad