Antara Al-Quran dan Fiqih
Ayat Al-Quran itu Kalamullah yang turun kepada Nabi Muhammad SAW, dibawa oleh Jibril alaihissalam, dan dijadikan bahan tantangan kepada bangsa Arab.
Dikatakan (يتحدى بها العرب), maksudnya mampukah orang Arab bikin ungkapan yang seindah ungkapan Al-Quran. Dari sisi sastra, Al-Quran itu turun sambil memamerkan berbagai puncak sisi keindahan bahasa.
Dan tahu sendiri kalau para pujangga sudah bikin karya sastra, kata-katanya sebegitu indahnya, kadang kita yang awam sedikit punya masalah dalam memahaminya.
Dan turunlah Al-Quran yang sisi keindahan sastranya di atas semua karya sastra Arab manapun. Kebayang lah betapa susahnya buat kita yang bukan pujangga untuk bisa menguraikan isi pesan Al-Quran itu.
Makanya kalau kita belajar ilmu Ushul fiqih, syarat Mujtahid itu bukan hafal Quran. Hafal Quran bukan tidak penting, tapi otomatis sudah pada hafal sejak lulus TPA. Jadi wajar kalau tidak dijadikan syarat.
Jangankan Al-Quran, bahkan hadits pun hafal ratusan ribu.
Yang dijadikan syarat dan selalu disebut-sebut sebagai syarat Mujtahid justru penguasaan terhadap sastra Arab.
Kenapa?
Karena Al-Quran turun di era puncak kejayaan sastra Arab era Jahiliyah. Dan bangsa Arab yang ditantang untuk bikin yang seindah Al-Qura.
Eranya disebut era Jahiliyah, karena itu adalah era sebelum kenabian Muhammad SAW.
Maka Al-Imam Asy-Syafi'i sejak kecil sudah banyak hafal sya'ir-sya'ir era Jahiliyah, termasuk lughatu Bani Huzail.
* * *
Maka kalau dikatakan Al-Quran adalah hukum Islam, sebenarnya penyataan itu masih perlu sedikit dibikin lebih presisi.
Yang lebih tepat bahwa Al-Quran adalah salah satu sumber hukum Islam. Sebab sumber hukum Islam itu ada banyak, bukan hanya Al-Quran. Selain Al-Quran, ada Hadits, Ijma', Qiyas dan lain-lainnya.
Lagi pula secara tutur bahasa, Al-Quran tampil dalam bahasa sastra yang amat tinggi. Agar bisa dipahami tanpa terjebak salah tafsir, perlu diberi penjelasan yang bersifat lebih kongkret.
Setidaknya menggunakan bahasa hukum yang lebih jami' dan mani'. Dengan menghindari sebisa mungkin celah-celah salah tafsir.
Disitulah muncul peranan ilmu fiqih. Ilmu ini kemudian seperti membahasakan ulang apa-apa yang dalam Al-Quran disampaikan dalam kerangka bahasa sastra, menjadi berbahasa hukum.
Dan seperti yang disebutkan dalam definisi ilmu fiqih, fiqih adalah :
العلم بالأحكام الشرعية العملية المستنبط من أدلتها التفصيلية
Ilmu terkait hukum-hukum syariah amaliyah yang di-istimbath dari dalil-dalilnya yang rinci.
Satu dari sekian banyak dalil itu adalah Al-Quran.
Maka kalau mau belajar hukum Islam, khususnya buat kita para pemula, langsung saja belajar fiqih. Karena dalam ilmu fiqih, semua hasil produk hukum sudah disusun sedemikian rupa dengan rinci, terstruktur dan baku.
Lalu bagaimana dengan Al-Quran? Bukankah Al-Quran itu sumber hukum?
Benar sekali bahwa Al-Quran itu sumber hukum. Tapi sebagai sumber, ibarat minyak bumi, masih harus diolah dulu dari minyak mentah jadi bensin. Mobil kita malah jadi rusak kalau langsung diisikan minyak mentah dari pengeboran minyak lepas pantai.
Proses dari minyak mentah jadi bensin itu kalau dalam khazanah ilmu keislaman disebut dengan istimbath hukum. Yang boleh melakukannya bukan orang sembarangan macam kita yang baru kemarin sore belajar bahasa Arab.
Kita tidak perlu kepedean merasa pintar karena pernah belajar bahasa Arab atau pernah tinggal di Arab.
Bahkan sekelas Umar bin Khattab pun kadang bingung ketika menemukan masalah kalalah, riba dan kekhalifahan.
Maka sekedar bisa bahasa Arab belum bisa menjamin kita tidak salah paham ketika membaca Al-Quran. Jangan sampai malah bikin kesimpulan sendiri secara membabi buta.
Tapi buat mereka yang levelnya sudah lebih tinggi, akan lebih menarik bila membahas fiqih dengan cara menonton para Mujtahid profesional dalam memproses dari ayat Quran yang masih mentah hinggaenjadi produk hukum yang matang.
Prosesnya disebut istimbath hukum. Pelakunya tidak boleh sembarang orang. Hanya kalangan ekspert yang berstatus Mujtahid saja yang dibenarkan melakukannya.
Posisi kita bukan belajar jadi Mujtahid, tapi lebih kepada 'menonton' skill dan kecanggihan para Mujtahid dalam bekerja.
Kalau pun kita belajar fiqih, yang kita pelajari hanya hasil akhirnya saja. Sedangkan prosesnya yang rumit dan njelimet, itu khusus konsumsi mereka yang sudah di level berikutnya.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat