Risalah ini ditulis oleh Profesor Madya di Universitas King Saud Riyadh, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz al-Abqary. Beliau merupakan guru besar di bidang aqidah. Tentu, dilihat dari kapasitas penulisnya, risalah ini tidak dimaksudkan sebagai karya abal-abal atau asal-asalan.
Halaman per halaman saya baca risalah ini, sampai 30 halaman. Sependek bacaan saya yang pemahaman ilmu aqidahnya terbatas, saya menyimpulkan karya ini hampir tidak berbeda dengan karya Firanda Andirja, "Ajaran Imam Syafi'i Yang Ditinggalkan". Dikatakan demikian, karena ada nafas yang sama dari tulisan Prof. Abdullah al-Abqary dengan Firanda Andirja. Kesamaan itu adalah menyederhanakan pemikiran seorang ulama hebat seperti Imam al-Syafi'i dengan kalimat kembali kepada makna tauhid.
Tulisan kedua sarjana produk Saudi itu berporos kepada pemahaman bahwa pemikiran Imam al-Syafi'i tidak bisa dipisahkan dari aqidah yang beliau pegang. Dan kita setuju dengan asumsi ini. Tapi, ketika persoalan ikhtilaf fikih harus dibaca dengan cara pandang aqidah, di sinilah umat menghadapi persoalan besar.
Dr. Abdullah al-Abqari di dalam risalah ini tidak secara transparan menjelaskan bagaimana dinamika pemikiran yang terjadi pada masa Imam al-Syafi'i. Dr. al-Abqari memotong interval dinamika pemikiran pada masa Imam Syafi'i, dengan menjadikan sepotong ucapan Imam sebagai argumen. Ini sepertinya telah menjadi karakteristik pemikiran kalangan cendekiawan Wahabi yang selalu memenggal ucapan tokoh dan menjadikannya sebagai kaidah.
Di antara penggalan yang diambil oleh Dr. al-Abqari adalah sebagai berikut:
واشتهر عن الشافعي انّه جعل الكلام أعظم ذنب عصي الله به بعد الشرك
Populer dikutip dari pendapat Imam al-Syafi'i bahwa ia menganggap ilmu Kalam sebagai dosa terbesar setelah syirik (hal.11)
Tentu, pemenggalan kalimat Imam Syafi'i yang dilepaskan dari konteks ini mempunyai tujuan. Yang dapat dipahami dari seluruh narasi yang disampaikan adalah bahwa Dr. al-Abqari ingin mengajak semua umat Islam memusuhi Ilmu Kalam dan orang-orang yang mempelajari ilmu Kalam, termasuk di dalamnya para ulama Asy'ariyyah.
Semangat untuk memusuhi para ulama yang mempelajari ilmu Kalam itu sangat mudah terbaca dari narasi awal tentang aqidah para sahabat, yang menurut Dr. al-Abqari terlepas dari ilmu Kalam.
Ada perbedaan yang sangat jelas antara narasi Dr. al-Abqari dengan narasi Syaikh Muhammad Abu Zahrah ketika berbicara tentang pergulatan Imam Syafi'i dengan kalangan Mutakallimin (para ahli Ilmu Kalam). Syaikh Abu Zahrah di dalam seri karya Imam-Imam Mazhab, secara jernih menjelaskan bagaimana dinamika pemikiran yang berkembang pada masa Imam-imam Mazhab Fikih, termasuk di dalamnya Imam Syafi'i.
Menurut Syaikh Muhammad Abu Zahrah, kebencian Imam Syafi'i terhadap ilmu Kalam, disulut oleh sikap kalangan Mu'tazilah yang memanfaatkan Penguasa Dinasti Abbasiyyah untuk mempersempit ruang gerak ulama fiqih dan hadits. Kalangan Mu'tazilah juga sering menyampaikan narasi bahwa para ulama hadits dan fikih mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap kemunduran berpikir umat.
Stigma yang dilancarkan kalangan Mu'tazilah terhadap para ulama fikih dan hadits itu juga menjangkau Imam Syafi'i. Al-Ustadz Dr. Nahrawi Abdus Salam di dalam disertasinya memasukkan kisah fitnah politik yang dialami oleh Imam Syafi'i. Fitnah itu membangkitkan kecurigaan Penguasa Abbasiyyah ketika itu, Khalifah Harun al-Rasyid, terhadap Imam Syafi'i. Kalangan Mu'tazilah berhasil membangun isu bahwa Imam Syafi'i merupakan ideolog penting bagi kalangan Alawiyyin yang menjadi musuh politik Pemerintahan Abbasiyyah.
Di sisi lain, kebencian Imam Syafi'i terhadap kalangan Mu'tazilah yang disebut sebagai pemuka ilmu Kalam juga dimotivasi oleh pengabaian al-Qur'an dan Sunnah oleh kalangan Mu'tazilah. Imam Syafi'i berpendapat bahwa kedua sumber suci Islam itu merupakan inspirasi sekaligus hujjah (argumen) yang tidak terbantahkan di dalam memahami ajaran agama. Sehingga pengabaian terhadap keduanya, justru akan membuat umat jauh dari agama.
Ketika terjadi pergulatan antara Imam Syafi'i dengan kalangan Mu'tazilah, nama Imam Abu Hasan al-Asy'ari pendiri Mazhab Asy'ariyyah belum muncul. Imam al-Asy'ari baru lahir 100 tahun setelah Imam Syafi'i wafat. Tentu, dalam rentang 1 abad itu, terjadi perubahan konfigurasi pemikiran di Dunia Islam. Mazhab Mu'tazilah yang pernah berjaya pada masa Imam Syafi'i, mengalami keruntuhan setelah muncul Imam Abu Hasan al-Asy'ari yang mengkombinasi naql (teks al-Qur'an dan Sunnah) dan aql (akal) di dalam membangun argumen aqidah. Para ulama, termasuk Ibnu Taimiyyah, memberi pujian kepada Imam al-Asy'ari yang telah menghidupkan kembali metode jalan tengah di dalam memahami teks-teks aqidah.
Sisi dinamik ini yang barangkali tidak akan bisa kita dapatkan di dalam tulisan-tulisan ulama Saudi hasil didikan Madrasah Wahabiyyah.
Di antara contoh lain dari pemenggalan narasi yang dilakukan oleh Dr. al-Abqari adalah penggunaan pernyataan Imam Syafi'i yang dipahami di luar dari konteksnya. Pernyataan itu adalah
اِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
Kalau hadits itu shahih, itulah mazhabku
Pernyataan ini menjadi bola liar yang sering disalahgunakan untuk mengingkari pendapat mazhab-mazhab fikih. Ada kesan yang dibangun bahwa dengan ucapan tersebut, Imam Syafi'i mengajak agar umat meninggalkan pendapat fikih. Kesan itu bisa kita baca di dalam buku Dr. Firanda Andirja, "Ajaran Imam Syafi'i yang Ditinggalkan".
Imam al-Nawawi di dalam Muqaddimah al-Majmu' menulis bahwa ucapan Imam Syafi'i tentang hadits shahih dan mazhab itu baru bisa dipahami setelah memahami 300 karya Imam Syafi'i. Tanpa membaca dan memahami semua karya itu, orang awam akan terkecoh dengan pernyataan Imam Syafi'i di atas.
Sumber FB Ustadz : Abdi Djohan
Ada kelompok akhir-akhir ini yang merasa lebih paham akidah Imam Syafi'i dari pada ulama Syafi'iyah seperti Imam Baihaqi dan Imam Fakhrur Razy.
Membaca kitab Imam Syafi'i saja blepotan, tapi klaimnya begitu PD. Awam tertipu, tapi masa alim ulama diam saja?
by Ustadz : Fakhri Email Habib
Wahabi menipu masyarakat awam dengan memelintir maksud ucapan Imam Syafi'i. Berdusta dan Fitnah adalah cara karakter dasar dakwah Wahabi!
by Ustadz : Alnofiandri Dinar
Narasi yg dibangun kalangan Wahabi selalu sama membuat kitab yg katanya berisi I'tiqod Imamuna Asy-Syafi'i rodhiyallohu'anhu, yg mana kebanyakan hanya mengambil/comot dari pernyataan/perkataan sang Imam yg sesuai dengan mereka. Tak sedikit banyak Kalam Imamuna yg dipotong² agar seolah beliau sesuai Aqidahnya dengan Aqidah Wahabi sekarang.
Jangan tersilaukan dengan buku/kitab semacam ini yg memberi judul bombastis kalau banyak penulisnya dari kalangan Wahabi.
Yg paling penting kita tau bahwa Imam Syafi'i tidak pernah menulis secara khusus sebuah kitab yg menjelaskan perkara Aqidah, kalaupun ada mungkin disinggung oleh beliau dalam beberapa kitabnya. Tapi untuk menuliskan secara khusus bahasan Aqidah, beliau tidak pernah menulisnya.
by Daly Lesmana Putra