Melampau Batas dalam Doa
Benar-benar tak menyangka kalau perbedaan pendapat tentang musik membuat seorang ustadz mendoakan orang-orang yang berbeda dengannya agar mati dalam keadaan mendengarkan musik.
Ini bukan hanya tentang bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan pendapat. Ini adalah tentang bagaimana kita ‘mempersepsikan’ Allah Swt.
***
Di sebuah SD, ada seorang murid datang terlambat. Ini tentu melanggar aturan. Guru menginterogasi murid ini. Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, “Hukum saja, Buk…”.
Apakah ibu guru akan menghukum murid tadi karena teriakan dari temannya tersebut? Guru yang bijak tak akan melakukannya.
***
Ketika sang ustadz berdoa demikian, ia seolah-olah berharap Tuhan akan mengikuti jiwa kanak-kanaknya. Ia menganggap Tuhan ada di pihaknya dalam perbedaan pendapat tentang musik. Karena itu, ia minta Tuhan menghukum orang-orang yang berbeda dengannya.
Tapi sebenarnya ada yang lebih fatal dari itu.
Sang ustadz berpendapat bahwa mendengarkan musik itu haram. Artinya mendengarkan musik menurutnya adalah sebuah maksiat. Maka, ketika ia mendoakan orang lain mati dalam keadaan mendengarkan musik, itu artinya ia berharap agar orang-orang itu mati dalam keadaan bermaksiat. Itu juga berarti bahwa ia berharap Tuhan dimaksiati oleh orang-orang itu sampai mereka mati.
Bukankah ini berbahaya?
Barangkali masih lebih baik mereka yang berkata, “Allah yahdik…” pada orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Meskipun yang mereka maksudkan dari ungkapan itu bukan makna doa yang sesungguhnya, tapi tetap lebih baik daripada mendoakan orang yang berbeda pendapat mati dalam keadaan bermaksiat.
Anggaplah medengarkan musik itu memang haram. Tapi, manakah yang lebih haram, mendengarkan musik atau berada dalam kekafiran? Tentu yang kedua, bukan? Kalau begitu, apakah kita boleh berdoa agar orang-orang kafir itu mati dalam keadaan kafir? Bukankah Rasulullah Saw telah mencontohkan sebuah doa: “Ya Allah, tunjukilah kaumku karena mereka tidak tahu.”?
Doa sang ustadz ini sudah masuk dalam kategori al-i’tida` (melampaui batas). Dan Allah Swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Saya menduga, kalau ada orang meninggal dalam keadaan sedang mendengarkan musik, dan ia termasuk orang yang berpendapat bahwa mendengar musik itu boleh, sang ustadz mungkin akan tersenyum. Seolah-olah ia berkata, “Nah, terbuktikan…”. Dan inilah yang disebut syamatah yang sudah diingatkan oleh Rasulullah Saw.
Kalau sudah demikian, kita perlu bertanya, sebenarnya sang ustadz berdakwah untuk apa dan untuk siapa? Seperti inikah dakwah yang dilabeli dengan ‘dakwah sunnah’?
Semoga ia menyadari kekeliruannya.
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
Rasulullah ﷺ berusaha mengajak sebanyak mungkin orang masuk surga tapi mereka malah mendo'akan orang lain su'ul khotimah (dalam versinya).
Jadi, itu Manhaj siapa ?
Qultu: Manhaj Nafsi
by Ustadz Muhammad Salim Kholili