Sisi ‘Lain’ dari Rasulullah Saw yang Mungkin Dianggap Tabu
Zaman ini banyak hal yang dianggap tabu tapi sebenarnya itulah yang seharusnya. Banyak juga hal yang dianggap biasa tapi justeru itulah yang salah.
Bagaimana pandangan kita kalau saat berkunjung ke rumah seseorang yang sudah berumah-tangga, tiba-tiba ia masuk ke kamar untuk beberapa saat lalu keluar lagi dalam keadaan rambut yang basah karena baru saja mandi. Berbagai dugaan akan muncul. Apalagi ia keluar dengan wajah yang lebih ceria daripada saat ia masuk tadi. Mungkin saja ada yang berkata dalam hati, “Sabar dikit napa… apa mesti ‘ditunaikan’ sekarang juga saat tamu masih di rumah…”.
Tindakan sang tuan rumah tersebut tabu bagi kita. Sangat jarang atau mungkin tak pernah hal ini terjadi meskipun dari orang yang mengerti agama. Tentu banyak faktor yang melatar-belakanginya ; segan pada tamu, menjaga image di depan orang, anggapan ‘kan bisa nanti saja’, dan sebagainya.
Tapi ketika melihat sepasang muda-mudi berjalan atau duduk berduaan, berboncengan motor, atau bahkan berada di tempat yang sepi berduaan, bagi sebagian orang adalah ‘biasa’. Mungkin mereka hanya teman biasa. Mungkin mereka sedang pdkt. Mungkin mereka… dan pembenaran-pembenaran lainnya.
Padahal perilaku yang terakhir ini jelas-jelas tidak sejalan dengan agama bahkan dengan adat. Sementara perilaku yang pertama, meskipun terlihat tabu, tapi itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Dalam Musnad Imam Ahmad:
عَنْ أَزْهَرَ بْنِ سَعِيدٍ الْحَرَازِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا كَبْشَةَ الْأَنْمَارِيَّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا فِي أَصْحَابِهِ فَدَخَلَ، ثُمَّ خَرَجَ وَقَدِ اغْتَسَلَ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ كَانَ شَيْءٌ قَالَ: أَجَلْ، مَرَّتْ بِي فُلَانَةُ، فَوَقَعَ فِي قَلْبِي شَهْوَةُ النِّسَاءِ، فَأَتَيْتُ بَعْضَ أَزْوَاجِي فَأَصَبْتُهَا، فَكَذَلِكَ فَافْعَلُوا، فَإِنَّهُ مِنْ أَمَاثِلِ أَعْمَالِكُمْ إِتْيَانُ الْحَلَالِ (مسند أحمد وقال الشيخ شعيب: صحيح لغيره)
Dari Azhar bin Sa’id al-Harazi, ia berkata: “Aku mendengar Abu Kabsyah al-Anmari berkata, “Rasulullah Saw pernah duduk bersama para sahabatnya. Tiba-tiba ia masuk. Kemudian keluar dalam keadaan sudah mandi. Kami bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ada sesuatu?” Beliau menjawab, “Ya. Tadi ada fulanah (seorang wanita) lewat. Tiba-tiba muncul syahwat dalam diriku. Aku pun segera mendatangi salah seorang isteriku, lalu aku gauli. Seperti inilah hendaknya kalian lakukan, karena sesungguhnya diantara amal terbaik kalian adalah mendatangi yang halal.”
Tidak dijelaskan dalam riwayat itu, apakah fulanah yang dimaksud adalah isteri beliau sendiri atau wanita lain yang tidak sengaja terlihat oleh beliau. Namun dari zhahir dan siyaq riwayat, sepertinya fulanah yang dimaksud adalah wanita lain. Inilah sisi manusiawi Rasulullah Saw. Bersyahwat ketika melihat wanita. Tapi beliau tidak membiarkan syahwat itu mengendalikan dirinya. Ia segera mengatasi itu dengan mendatangi isterinya.
Inilah yang mesti dicontoh para suami. Apalagi di saat suasana lebaran seperti sekarang ini. Ketika tamu banyak datang; laki-laki dan wanita. Para wanita dengan dandanan dan penampilan yang berpotensi menimbulkan gejolak syahwat. Jangan biarkan gejolak itu menjadi liar. Apalagi kalau muncul dorongan untuk berbincang-bincang dengan tamu wanita secara berlebihan. Ingatlah, apa yang diinginkan dari wanita itu sesungguhnya ada pada isteri yang halal. Hanya saja setan memanfaatkan momen untuk menjerumuskan kita dalam maksiat.
Tentu saja tidak mesti melakukan seperti yang dilakukan Nabi Saw secara harfiah ; minta izin sebentar, lalu mengajak isteri ke kamar, kemudian keluar lagi dalam keadaan rambut masih basah. Bukan itu poinnya. Poinnya adalah jaga pandangan dan sikap pada wanita lain, meskipun ia masih terhitung kerabat. Tapi kalau memang terlihat sesuatu yang berpotensi ‘meresahkan’, yang kalau dibiarkan atau ditunda-tunda akan menimbulkan ‘masalah’, sementara kita punya yang halal, maka kenapa tidak minta izin sebentar? Itu jauh lebih aman daripada membiarkan nafsu menguasai diri hanya karena menenggang perasaan orang lain.
Tapi untuk mengamalkan hadits ini, para isteri dituntut untuk selalu ‘siap’ kapan pun dibutuhkan suami. Contoh terbaik dalam hal ini adalah isteri-isteri Rasulullah Saw, khususnya Sayyidah Aisyah ra. Beliau baru bisa mengganti hutang puasa Ramadhan di bulan Sya’ban. Artinya 11 bulan setelah Ramadhan. Apa yang membuat beliau menunda mengganti puasa sampai satu bulan sebelum Ramadhan tahun berikutnya?
Imam Nawawi menjelaskan :
أَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ كَانَتْ مُهَيِّئَةً نَفْسَهَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَرَصِّدَةً لِاسْتِمْتَاعِهِ فِي جَمِيعِ أَوْقَاتِهَا إِنْ أَرَادَ ذَلِكَ وَلَا تَدْرِي مَتَى يُرِيدُهُ وَلَمْ تَسْتَأْذِنْهُ فِي الصَّوْمِ مَخَافَةَ أَنْ يَأْذَنَ وَقَدْ يَكُونُ لَهُ حَاجَةٌ فِيهَا فَتُفَوِّتُهَا عَلَيْهِ وَهَذَا مِنَ الْأَدَبِ
“Setiap isteri Nabi selalu menyiapkan dirinya untuk ‘dipakai’ Nabi kapan pun beliau mau. Mereka tidak tahu kapan Nabi membutuhkan mereka. Mereka juga tidak mau meminta izin pada Nabi untuk mengganti puasa, khawatir jika Nabi izinkan kalau-kalau nanti ia membutuhkan mereka, akhirnya hilang kesempatan untuk itu, dan ini bentuk adab mereka pada Nabi Saw.”
Jadi, kalau kita bertamu ke rumah seseorang, lalu tiba-tiba ia dan isterinya menghilang beberapa saat, kemudian muncul lagi dalam keadaan rambut masih basah, maka tidak usah heran. Maklumi saja. Tidak perlu juga bertanya, “Habis ngapain?” Bialah saluang nan manyampaikan… 😊
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi