SEPUTAR FIQIH ZAKAT FITRAH
(Legalitas Amil Zakat, Pencampuran Beras Zakat, Kadar & Pembagiannya)
- PERTAMA (LEGALITAS AMIL)
Dalam kajian fiqih zakat, DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) adalah wakil dari orang yang mengeluarkan zakat (muzakki), kecuali jika organisasi tersebut telah mendapatkan SK resmi dari pemerintah sebagai amil zakat melalui lembaga pengelola zakat resmi bentukan pemerintah.
AMIL ZAKAT adalah seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan zakat atau juga dapat diartikan seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan zakat.
Di Indonesia, AMIL RESMI sesuai UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah:
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Amil perseorangan dan kumpulan perseorangan untuk wilayah yang tidak terjangkau BAZNAS atau LAZ.
Dengan demikian, pengelola atau panitia zakat bentukan sekelompok masyarakat seperti di masjid dan mushala, tidak dapat disebut sebagai amil selama tidak menginduk pada BAZNAS atau LAZ sesuai ketentuanya. Mereka hanya kepanitiaan yang membantu pelaksanaan zakat masyarakat yang dalam pandangan fiqih tidak termasuk bagian dari amil, melainkan sebagai wakil muzakki.
Amil dan panitia zakat memiliki ketentuan hukum yang berbeda. Amil adalah wakil dari orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiquz zakah), sehingga bila terjadi penyelewengan dalam pengelolaan zakat, kewajiban zakat muzakki sudah dianggap gugur. Dengan kata lain, zakat sudah dianggap sah dengan menyerahkannya kepada amil zakat.
Sedangkan PANITIA ZAKAT adalah WAKIL dari MUZAKKI, sehingga dampaknya bila terjadi penyelewengan dalam pengelolaan zakat, kewajiban zakat muzakki belum dianggap gugur. Dengan kata lain, zakat belum dianggap sah sehingga benar-benar sampai kepada mustahiq.
Imam An-Nawawi menjelaskan dalam Kitab Al-Majmu’:
وَعَلَى تَقْدِيْرِ خِيَانَةِ الْوَكِيْلِ لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنِ الْمَالِكِ لِأَنَّ يَدَهُ كَيَدِهِ فَمَا لَمْ يَصِلِ الْمَالُ اِلَى الْمُسْتَحِقِّيْنَ لَا تَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَالِكِ بِخِلَافِ دَفْعِهَا إِلَى الْإِمَامِ فَإِنَّهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ تَسْقُطُ الزَّكَاةُ عَنِ الْمَالِكِ
Artinya: “Andaikan terjadi penyelewang oleh wakil (dalam penyaluran zakat), maka kewajiban zakat tidak lepas dari pemilik harta (muzakki) karena penguasaan wakil sama dengan penguasaan muzakki. Jadi selama harta zakat tidak sampai kepada orang yang berhak menerima, maka pemilik harta belum terlepas dari kewajibannya. Berbeda dengan penyerahan zakat kepada Imam (pemerintah), begitu Imam menerimanya, maka zakat sudah gugur dari pemiliknya.” (Abu Zakariya Yahya An-Nawawi, Al-Majmu’, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2011] juz VII, halaman 204).
- KEDUA (MENCAMPUR ZAKAT FITRAH DAN MEMBAGIKANNYA KEMBALI KEPADA MUZAKKI)
Mencampur seluruh zakat fitrah kemudian membagikannya kembali kepada orang-orang yang telah menyerahkan zakat kepada DKM, dalam kajian fiqih, zakat tidak boleh kembali kepada muzakki. KARENA ITU, pencampuran zakat seharusnya tidak dilakukan karena berpotensi zakat kembali kepada muzakki.
Dalam kitab Al-Umm disebutkan:
وَلَا يَجُوْزُ لَكَ إِذَا كَانَتِ الزَّكَاةُ فَرْضًا عَلَيْكَ أَنْ يَعُوْدَ إِلَيْكَ مِنْهَا شَيْءٌ فَإِنْ أَدَّيْتَ مَا كَانَ عَلَيْكَ أَنْ تُؤَدِّيَهُ وَإِلَّا كُنْتَ عَاصِيًا لَوْ مَنَعْتَهُ
Artinya: “Jika zakat itu wajib bagimu, maka tidak boleh ada sebagian dari zakat tersebut yang kembali kepadamu. Jika kamu telah membayar zakat sesuai dengan kewajibanmu, (maka jelas kewajibanmu telah gugur), jika tidak, maka kamu berdosa jika mencegahnya.” (Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, [Beirut, Darul Wafa: 2001], juz III, hal. 195).
SELAIN ITU, amil resmi maupun panitia zakat, berkewajiban menyampaikan seluruh zakat kepada orang-orang yang berhak menerima zakat. Karenanya perlu pendataan untuk memastikan semua penerima benar-benar mustahiqquz zakah (orang yang berhak menerima zakat). Bisa jadi diantara orang yang menyerahkan zakat kepada DKM, ada yang tidak berhak menerima zakat.
Jika zakat tidak tersalurkan kepada orang yang berhak menerima zakat, maka penyaluran tersebut belum dianggap cukup.
Untuk zakat yang diserahkan kepada amil, tanggung jawab dibebankan kepada amil, tidak kepada muzakki. Sedangkan zakat yang diserahkan kepada panitia zakat, maka tanggung jawab masih kembali kepada muzakki, sehingga kewajiban membayar zakat belum gugur darinya.
- KETIGA KADAR PEMBAGIAN ZAKAT FITRAH YANG TIDAK SAMA DENGAN KADAR ZAKAT FITRAH YANG DISERAHKAN)
Perlu dipertegas, pembagian zakat tidak didasarkan kepada siapa saja yang telah membayar zakat kepada panitia, namun kepada orang-orang yang berhak menerima sesuai nash Al-Qur’an.
Dalam penerapannya, bagi amil selaku petugas resmi pemerintah, harus meratakan dan menyamakan kadar zakat untuk semua golongan yang berhak menerima dan masing-masing individu jika kebutuhan mereka sama.
Sedangkan bagi panitia sebagai wakil dari muzakki, dalam kondisi harta zakat tidak cukup untuk menjadikan kaya semua golongan, ia hanya berkewajiban meratakan dan menyamakan kadar zakat kepada golongan yang berhak menerima, dan tidak wajib menyamakan kadar pemberian kepada masing-masing individu.
REALITAS YANG TERJADI, pembagian zakat tidak semua diratakan kepada delapan golongan. Beberapa panitia hanya fokus kepada fakir miskin.
SEBAGAI SOLUSI, dalam kasus ini dapat mengikuti pendapat sekelompok ulama Mazhab Syafi’iyah yang menyatakan zakat dapat diberikan kepada 3 orang miskin atau golongan lainnya, bahkan dapat diberikan kepada 1 orang saja.
Dalam kitab Hawasyis Syirwani dijelaskan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَرْبَعَةُ أُمُورٍ : تَعْمِيمُ الْأَصْنَافِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ وَتَعْمِيمُ الْآحَادِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ عِنْدَ تَسَاوِي الْحَاجَاتِ وَالْمُرَادُ تَعْمِيمُ آحَادِ الْإِقْلِيمِ الَّذِي يُوجَدُ فِيهِ تَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ لَا تَعْمِيمُ جَمِيعِ آحَادِ النَّاسِ الْمُسْتَحِقِّينَ لِتَعَذُّرِهِ
Artinya: “Kesimpulannya, imam wajib melakukan 4 hal: meratakan zakat kepada semua golongan yang berhak menerima zakat, menyamakan kadar zakat untuk semua golongan yang berhak menerima, meratakan kepada individu-individu di masing-masing golongan, dan menyamakan kadar zakat untuk masing-masing individu bila kebutuhannya sama. Maksudnya adalah meratakan kepada masing-masing penduduk wilayah pembagian zakat, bukan meratakan kepada seluruh orang yang berhak menerima zakat, karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan.”
وَيَجِبُ عَلَى الْمَالِكِ أَيْضًا أَرْبَعَةُ أُمُورٍ : تَعْمِيمُ الْأَصْنَافِ سِوَى الْعَامِلِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ وَاسْتِيعَابُ آحَادِ الْأَصْنَافِ إنْ انْحَصَرُوا بِالْبَلَدِ وَوَفَى بِهِمْ الْمَالُ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَ آحَادِ كُلِّ صِنْفٍ إنْ انْحَصَرُوا وَوَفَى بِهِمْ الْمَالُ أَيْضًا أَمَّا إذَا لَمْ يَنْحَصِرُوا أَوْ انْحَصَرُوا وَلَمْ يَفِ بِهِمْ الْمَالُ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ شَيْئَانِ : تَعْمِيمُ الْأَصْنَافِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمْ زِيَادِيٌّ وَخَضِرٌ .اهـ
Artinya: “Pemilik harta juga wajib melakukan 4 hal: meratakan zakat kepada golongan yang berhak menerima kecuali amil, menyamakan kadar zakat untuk semua golongan, meratakan zakat kepada masing-masing individu jika jumlah mereka terbatas di dalam satu daerah, dan harta cukup untuk dibagi rata, dan menyamakan kadar zakat untuk masing-masing individu jika jumlah mereka terbatas dan harta zakat dapat mencukupinya. Jika jumlah mereka tidak terbatas, ataupun terbatas namun harta zakat tidak mencukupi, maka yang wajib hanya 2 hal: (1) meratakan zakat kepada seluruh golongan yang berhak menerima, (2) dan menyamakan kadar zakat utuk semua golongan. Demikian komentar dari Syekh Ziyadi dan Khadhir.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani, [Beirut Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2015], juz VIII, hal. 742).
وَاخْتَارَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا: مِنْهُمْ الْإِصْطَخْرِيُّ جَوَازَ صَرْفِهَا إلَى ثَلَاثَةٍ مِنْ الْمُسْتَحَقِّينَ وَاخْتَارَهُ السُّبْكِيُّ وَحَكَى الرَّافِعِيُّ عَنْ اخْتِيَارِ صَاحِبِ التَّنْبِيهِ جَوَازَ صَرْفِهَا إلَى وَاحِدٍ قَالَ فِي الْبَحْرِ: وَأَنَا أُفْتِي بِهِ. قَالَ الْأَذْرَعِيُّ: وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ فِي الْأَعْصَارِ وَالْأَمْصَارِ وَهُوَ الْمُخْتَارُ وَالْأَحْوَطُ دَفْعُهَا إلَى ثَلَاثَةٍ
Artinya: “Sekelompok murid Imam Syafi’i, termasuk Al-Isthakhri, memilih bolehnya menyalurkan zakat fitrah kepada tiga orang yang berhak. Pendapat ini juga dipilih oleh As-Subki. Ar-Rafi’i menyampaikan pendapat yang dipilih oleh pemilik kitab At-Tanbih yang memperbolehkan penyerahan zakat kepada satu orang. Ar-Rauyani berkata dalam kitab Bahrul Mazhab, “Aku berfatwa dengan pendapat ini”. Al-Adzra’i berkata, “Pendapat ini yang diamalkan selama ini di berbagai kota, dan ini pendapat yang dipilih, namun yang lebih hati-hati diberikan kepada 3 orang”.” (Muhammad bin Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut, Darul Ma’rifah: 1997], juz III, hal. 154)
Jadi, dari pertimbangan hukum fiqih di atas, panitia zakat hendaknya tidak mencampur seluruh harta zakat karena berpotensi sebagian zakat dapat kembali kepada muzakki, sehingga kewajiban zakat belum gugur darinya.
- KEEMPAT (PEMBAGIAN ZAKAT)
Dalam pembagian zakat, panitia harus mendata dan memastikan orang-orang yang berhak menerima zakat, sehingga zakat benar-benar tersalurkan kepada mereka yang berhak.
Tidak didasarkan kepada data orang-orang yang telah menyerahkan zakat, karena jika penyaluran zakat tidak sesuai sasaran, maka penyaluran tersebut belum dianggap sah.
Sedangkan untuk kadar zakat yang diberikan oleh panitia, tidak harus sesuai dengan kadar zakat yang dikeluarkan, melainkan terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:
PENDAPAT PERTAMA, panitia harus meratakan dan menyamakan kadar zakat kepada masing-masing orang yang berhak menerima jika beras zakat mencukupi. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban seperti itu.
PENDAPAT KEDUA, zakat cukup diberikan kepada tiga orang yang berhak menerima zakat.
PENDAPAT KETIGA penyaluran zakat boleh diberikan kepada satu orang saja.
Walllahu a'lam.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi, Blitar, Jawa Timur
Sumber FB Ustadz : Abu Qornie