Pengalamanku dengan Salafi
Suatu saat aku berdiskusi dengan seorang yang ikut pengajian salafi di stasiun kereta api. Tentang shalat Sunnah. Ia ngotot bahwa apa yang dilakukan Rasulullah, ya kita lakukan. Bagi dia tidak ada istilah wajib dan Sunnah. Semua yg dilakukan Rasulullah ya wajib kita lakukan.
Aku tadinya bingung lihat cara berpikirnya. Lama lama aku menyadari bahwa ia tidak mengenal Ushul fiqh. Perbuatan Rasulullah tidak semuanya wajib. Ada yg wajib, Sunnah bahkan mubah.
Ya begitulah kalau mengambil langsung dari al Qur'an dan Sunnah tanpa menyimak.ulama-ulama Fiqih yg juga mendalam pemahamannya terhadap Al Qur'an dan Sunnah.
Kejadian lain. Sekitar tahun 2004, setelah buku saya Sayid Qutub, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya terbit, saya diundang Radio Dakta untuk bedah buku itu. Radio Dakta ini lokasinya di Bekasi dan banyak pendengarnya salafi.
Ramailah diskusi tentang buku itu di radio. Ketika diskusi itu berakhir dan saya mau pulang, tiba tiba satpam memberikan sebuah buku berjudul Mengenal Tokoh Tokoh Ikhwanul Muslimin.
Sampai di rumah buku itu saya baca. Saya kaget. Antara judul dan isi beda. Jadi buku itu rupanya isinya menghantam tokoh tokoh Ikhwan. Tapi yg saya heran orang salafi yg memberikan buku ini tidak langsung menghadiahkan ke saya. Tapi lewat satpam.
Gara gara buku Sayid Qutub itu beberapa orang salafi juga menyerang saya di facebook. Mereka melampirkan beberapa pendapat ulama Saudi tentang Sayid Qutub
Saya katakan pada mereka: Kalau antum menilai tokoh itu, antum baca karyanya dulu, baik asli atau terjemahannya. Jangan hanya baca kata orang tentang tokoh itu. Kamu sudah baca buku Sayid Qutub belum, kata saya. Ia diam saja. Kalau antum udah baca bukunya, baru kita diskusi.
Di sebuah lembaga Islam, saya juga dapat cerita menarik. Lembaga itu pernah dihadiri pengajian salafi dan ustadznya. Mereka tadinya rutin mengadakan pengajian disitu. Tapi sekarang sudah tidak lagi.
Ada cerita menarik dari teman saya ketika rombongan salafi itu pengajian disitu. Ada teman yang menjual buku buku Syekh Yusuf Qaradhawi. Seorang Salafi protes. Ia mengatakan jangan dijual buku buku Yusuf Qaradhawi ini karena ia hanya akal akalan belaka.
Rupa rupanya saya jadi mengerti bahwa dalam jamaah salafi, guru dan buku dibatasi. Mereka tidak boleh membaca buku selain yg direkomendasikan guru guru mereka.
Sehingga saya punya teman cerita, bagaimana ia mengeluh gara gara istrinya ngaji salafi. Ia mengeluh istrinya membakar buku buku gerakan Islam yg dianggap bertentangan dengan Salafi (ada yg menginfokan bahwa di sebuah universitas Saudi buku buku karya ulama Ikhwan juga dibakar).
Terakhir, pengalaman berhubungan dengan salafi tentang status masjid yang sebenarnya bukan milik mereka. Karena mereka sudah merasa puluhan tahun mengurus masjid itu, maka mereka melarang kita untuk pengajian disitu. Padahal masjid itu sebenarnya milik organisasi kita. Pengajian bulanan pun kita dilarang. Hanya boleh menggunakan setahun sekali.
Begitulah pengalamanku dengan teman teman salafi. Saya sebenarnya kasihan kepada mereka. Tapi yang salah sebenarnya ustadz mereka. Yang membatasi guru dan buku di luar jamaah mereka. Sehingga cara berpikirnya menjadi kaku dan 'keras' kalau berhubungan dengan kaum Muslim lain.
Itu pengalaman saya. Mungkin anda punya pengalaman lain. Silakan ditulis. Semoga Allah memberi petunjuk.kepada mereka. Wallahu alimun hakim. II Nuim Hidayat, Guru dan Penulis
Sumber FB Ustadz : Nuim Hidayat
beberapa komentar :
by Agus Trisa
Saya ada pengalaman tentang salafi ini..
Pengalaman pertama..
Ketika Arab Saudi menyerang Yaman tahun 2015, untuk menyerang kelompok Hutsi yang beraliran Syiah, banyak kaum muslimin yang menyayangkan sikap Arab Saudi, mengapa mereka begitu bersemangat menyerang Yaman, namun mereka begitu enggan menyerang Israel.
Kemudian di facebook, ada salah seorang ustadz salafi, menulis sebuah tulisan, seolah ingin menjawab hal tersebut. Dia katakan bahwa sikap Arab Saudi, tidak ubahnya dengan sikap Shalahuddin al Ayyubi, yang lebih memilih mengutamakan menyerang kelompok Syiah Rafidhah dan Daulah Ubaidiyah, di Mesir, Maroko; daripada menyerang tentara Salibis yang menguasai Masjidil Aqsa.
Saya komentarin, kira-kira begini, "Ngawur! Sudah jelas-jelas menurut dubes Arab Saudi untuk Indonesia, Mustafa Mubarak dan kementerian luar negeri Arab Saudi Adil Al Jubairi, bahwa serangan tersebut adalah untuk menyelamatkan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, lalu bagaimana bisa Anda katakan itu untuk meneladani Shalahuddin al Ayyubi? Kok seolah mau jadi juru bicaranya Arab Saudi. Kalo tidak paham politik itu mbok ya diam. Sekalinya ikut komentar malah jadi ngawur semua."
Ini pengalaman pertama..
Kemudian pengalaman kedua..
Terjadi di Masjid Nurul Huda, UNS tahun 1990an. Ini adalah cerita teman saya sendiri. Dia senior jauh di atas saya. Dan dia adalah pelaku di cerita ini.
Saat itu, ketika sedang di dalam khotbah jumat, khatib membicarakan beberapa hal politik, di antaranya menyinggung kedekatan kerajaan Arab Saudi dengan negara-negara Barat.
Di hadapan nya ada salah seorang jamaah yang mengaku sok bermanhaj salaf, berdiri dan menginterupsi sang khatib. Dia menyela sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan negara Arab Saudi. Di akhir pembicaraannya, dia bertanya kepada sang khatib, "Sekarang coba sebutkan, apakah ada negara yang lebih baik daripada Arab Saudi?"
Sang khatib yang seumur hidupnya belum pernah diinterupsi saat ngisi khotbah jumat, dia diam saja dan kelihatan shock atau kaget.
Kemudian, teman saya yang saat itu juga sedang ada di situ, ikut berdiri dan menjawab pertanyaan orang salafi ini.
Dia katakan, "Ada. Negara yangebih baik daripada Arab Saudi itu ada."
Orang salafi bertanya, "Mana, coba sebutkan."
Teman saya bilang, "Amerika."
Orang salafi kaget dan balik tanya, "Bagaimana bisa?"
Lalu teman saya menjelaskan, "Buktinya, Arab Saudi berdiri di bawah ketiak Amerika, menjalin hubungan baik dengannya, tidak menunjukkan rasa perlawanan. Itu menunjukkan ketakutan Arab Saudi dengan Amerika. Ini artinya, Amerika lebih baik daripada Arab Saudi."
Seketika orang salafi ini terdiam. Dia duduk kembali dan khotbah kembali dilanjutkan.