Mengajak Kepada Kebaikan Harus Dengan Cara yang Baik Pula
Syekh Ali Ath-Thanthawi rhm berkisah :
Tiga puluh tahun yang lalu, aku pernah menjadi pengajar di madrasah Ibtidaiyyah. Waktu itu, bersamaku ada seorang syekh (guru) yang sedikit ilmunya, tapi banyak mendaku-daku (sok alim). Baru mengetahui potongan-potangan dari Islam, tapi dia sangka itu adalah Islam seutuhnya.
Lonceng pelajaran telah dipukul sekali. Ada salah satu pengajar yang kehausan. Dia mengambil cup/gelas minum untuk dia minum sebelum masuk kelas. Maka syekh (yang sedikit ilmu tapi sok alim tadi) meneriaki pengajar tersebut sampai teriakannya membuat kerongkongannya tersendat dengan air dan telapak tangannya menjatuhkan gelas yang dia pegang.
Dia bilang ke pengajar tersebut : “Kamu telah menyelisihi sunah !” Kamu minum dalam kondisi berdiri, tidak membaca Basmalah, dan minum dengan sekali teguk, tidak tiga kali !”
Perbedebatan pun berubah menjadi perkelahian. Sikap yang keras/kaku dan tidak memakai metode yang baik dalam mengajak kepada kebaikan dari syekh tersebut, menjadi pemicunya. (Fushul fii Ad-Dakwah wa Al-Ishlah, hlm. 109)
Catatan :
Mengajak kepada kebaikan itu haruslah dengan cara yang baik pula. Jangan sampai kebaikan ditolak karena cara yang dipakai salah. Keras, kaku, menghakimi, tidak kenal kompromi dan melampaui batas. Apalagi dalam masalah-masalah far’iyyah (cabang) ijtihadiyyah semisal adab.
Harusnya, dalam masalah seperti ini ada kelonggaran dan sikap untuk saling menghargai. Karena, bisa jadi saudara kita punya pendapat yang berbeda dengan kita. Perlu juga melihat situasi dan kondisi orang lain. Agar apa yang kita lakukan tepat dan memberikan manfaat, bukan malah mudharat.
Orang-orang yang ilmunya setengah-setengah tapi sok alim, lebih bahaya dari orang-orang yang bodoh. Jika ditambah dengan karakter yang keras, lengkaplah bahaya dan mudharatnya untuk Islam dan muslimin.
(Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani