Kaidah Memvonis Suatu Amaliah Sebagai Bidah

Kaidah Memvonis Suatu Amaliah Sebagai Bidah

Kaidah yang biasa digunakan oleh sebagian orang untuk menvonis suatu amaliah sebagai bidah yang berbunyi ; “Tidak ada contohnya dari nabi”, terbukti tidak efektif. Buktinya, mayoritas umat Islam (kalau tidak dikatakan semuanya) tetap melaksankan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid selama satu bulan penuh (baik yang 20 atau 8 rekaat) meski hal ini tidak pernah dicontohkan oleh nabi.

Bahkan yang  termasuk mengamalkan amalan ini, adalah mereka yang menyusun dan kerap memprogandakan kaidah ini untuk menghakimi bidah amaliah umat Islam. Bagaimana bisa mereka yang membuat kaidah, tapi mereka sendiri ikut melanggarnya ?! Ini inkonsiten namanya.

Kalau demikian, sepertinya kaidah ini harus segera direvesi karena benar-benar tidak bisa difungsikan secara maksimal. Kan salah satu syarat kaidah atau definisi itu harus jami’(mengumpulkan yang harusnya masuk) dan mani’ (melarang atau mengeluarkan yang harusnya keluar). Pada akhirnya semuanya akan sadar, bahwa tidak semua yang tidak dilakukan nabi itu terlarang untuk diamalkan, dan tidak semua yang dilakukan nabi itu boleh untuk diamalkan.

(Abdullah Al-Jirani) 

bidah adalah perkara yang tidak ada dalilnya

Intinya, bidah adalah perkara yang tidak ada dalilnya, bukan yang tidak ada contohnya dari nabi atau sahabat. Sebab dalam kaidah disebutkan ; “Apa yang ditinggalkan nabi, tidak melazimkan perkara itu dilarang atau haram”. Ini saja yang ditinggalkan nabi, apalagi yang sekedar ditinggalkan oleh sahabat.

Imam At-Taftazani (w. 792 H) rahimahullah : Termasuk kebodohan, seorang yang menjadikan setiap perkara yang tidak ada di zaman sahabat sebagai bidah yang tercela sekalipun tidak ada dalil yang menunjukkan (secara spesifik) akan kejelekannya, berdalih dengan sabda nabi saw ; “Hati-hati kalian dari berbagai perkara baru”.

Mereka tidak tahu, bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah seorang menjadikan sesuatu dalam agama yang bukan darinya (tidak ada dalilnya). Semoga Allah menjaga kita sekalian dari mengikuti hawa nafsu dan mengokohkan kita untuk mengikuti petunjuk nabi dan keluarganya. (Syarhu Al Maqashid ; 2/399)

Abdullah Al Jirani 17092024

Ketidaktahuan seorang terhadap dalil dalam suatu perkara, tidak melazimkan (mengharuskan) dalil itu tidak ada. Demikian juga, ketidakpahaman seorang terhadap istinbath (proses pengambilan kesimpulan hukum) dari suatu dalil, tidak mengharuskan kesimpulan itu tidak ada. Di konteks ini, ketidaktahuan tidak memiliki ta'tsir (pengaruh) apapun. 

(Abdullah Al-Jirani)

Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Kaidah Memvonis Suatu Amaliah Sebagai Bidah - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®