Gaya Hidup Sang Rasul Saw.
(Bagian Pertama)
Negara madinah masih berbenah diri, dan sisa-sisa Perang Badar belum sepenuhnya sirna. Madinah masih sangat sederhana, bahkan cenderung serba kekurangan. Fatimah telah berusia 15 tahun atau 18 tahun[1]. Sudah ada sejumlah lelaki yang melamarnya, akan tetapi Nabi Saw. belum berkenan menerimanya meski di antara mereka ada yang berkelimpahan materi, sangat saleh dan dekat dengan beliau. Hingga pada suatu waktu Ali Ra. yang faqir itu datang untuk melamarnya. Ibn Abbas Ra. menuturkan:
Seorang perempuan, pembantu Ali Ra., mengatakan kepadanya:
“Engkau sudah tahu, Fatimah telah dilamar?”
“Belum ..” kata Ali.
“Dia telah dilamar! Apa yang menghalangi dirimu untuk datang kepada Rasulullah Saw. agar beliau menikahkan dirimu dengan dia?”
“Apakah saya memiliki sesuatu untuk biaya menikah?”
“Sungguh, jika engkau datang kepada Rasulullah Saw., beliau akan menikahkan dirimu!”
Perempuan itu terus memberi pengharapan kepada Ali Ra. hingga ia menghadap kepada Baginda Rasul. Namun, saat ia telah duduk di hadapan Rasul Saw., ia tak mampu berbicara. “Demi Allah, saya tak mampu berbicara karena keagungan dan wibawa beliau,” kata Ali Ra. Rasulullah Saw. justru yang memulai pembicaraan, “Ada apa engkau datang?” Ali Ra. masih tetap diam.
“Mungkin kamu datang untuk melamar Fatimah?” kata Baginda Rasul Saw. kembali.
“Iya .. benar.”
“Apakah engkau memiliki sesuatu untuk menghalalkan dia?”
“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah ..”
“Bagaimana dengan baju perang yang saya berikan untuk kesiapan perangmu?”
“Ada pada diriku.”
(“Demi Zat yang jiwa Ali berada di tangannya, Itu hanya alat perang Ḥuṭamiya[2] yang harganya 4 dirham,” demikian pejelasan Ali kepada perawi.)
“Saya menikahkanmu dengan dia,” kata Baginda Rasul Saw. kepadanya.[3]
Pernikahan telah usai dengan sederhana. Dawuh Nabi, riwayat dari Ibunda Aisyah ra., “Wanita paling agung berkahnya adalah mereka yang paling mudah pembiayaannya.” Dalam riwayat yang lain, “Pernikahan yang paling agung berkahnya adalah pernikahan yang paling mudah pembiayaannya.”[4]
Saatnya untuk mengadakah walimah, yakni pesta pernikahan. Buraidah meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw., “Pernihakan harus ada walimahnya”[5] Ali ra. berusaha membiayainya. Ia mempunyai dua unta dewasa, yang satu ia peroleh saat ikut dalam Perang Badar, dan yang lainnya adalah pemberian Rasulullah Saw. (dari khumus harta fai’ yang pembagiannya diserahkan kepada beliau). Ia telah berjanji kepada lelaki pengrajin perhiasan emas dan perak dari Kabilah (Yahudi) Bani Qainuqā` agar ia menemaninya mencari rerumputan idhkhir untuk dijual kepada mereka. Ia mengambil peralatan-peralatan yang diperlukan, yaitu pelana pengangkut, kantong dan tali. Ia bergerak ke tempat untanya, di dekat pintu kediaman seorang Sahabat Ansar. Sampai lokasi ia mendapati kedua untanya telah diiris punuknya, dan telah dirobek perutnya untuk diambil hatinya. Saat itu, khamr belum secara tegas diharamkan. Orang mabuk telah melakukan itu semua karena pengaruh arak. Ali ra. hanya bisa menangis.[6] Ia baru saja menikah dengan putri Rasul Saw. dan ingin menghormatinya dengan mengadakan walimah, dan apa yang terjadi di depannya benar-benar membikin dirinya sedih.
Buraidah meriwayatkan, “ketika Ali ra. melamar Fatimah ra, Rasulullah Saw. mengatakan, ‘Pernikahan harus ada walimahnya.’ Maka, Sa’d mengatakan, ‘Saya menyumbang kambing’, seorang lainnya mengatakan, ‘Saya menyumbang sekian tepung jagung.’”[7]
Menurut versi Syiah, Nabi Muhammad Saw. memanggil Ali ra. untuk menyiapkan jamuan makan dan membuat undangan umum agar menjadi tradisi Islam (sunah Nabi). Al Ṭūsiyy meriwayatkan dari Abu Abdillah as., Nabi Muhammad Saw. mengatakan kepada Ali ra., “Wahai Ali, siapkan makanan yang baik untuk (pesta) keluargamu. Saya bagian daging dan roti, dan kamu bagian kurma dan minyak samin.” Ali lalu membeli kurma dan samin. Nabi Saw. menyingsingkan lengan bajunya, dan memecah kurma di dalam minyak samin hingga menjadi adonan “hais”.[8]
Riwayat lain disampaikan dalam Kasyful Ġummah dari Ibn Mas’ud, “Lalu Nabi Saw. memanggil Bilal, beliau mengatakan, ‘Wahai Bilal, saya telah menikahkan putriku dengan putra pamanku, dan saya ingin agar di antara sunah umatku adalah undangan (pesta) makan saat menikah. Carikan satu kambing dan empat mud[9], dan bikinkan untukku hidangan mangkuk besar. Sepertinya saya akan mengumpulkan Sahabat Muhajirin dan Sahabat Ansar.’”[10]
Demikianlah walimah Fatimah. Sahabat Muhajirin dan Ansar diundang. Hidangan sederhana itu cukup untuk semuanya. Subhanallah ..
[1] Menurut Ibn ‘Abdi al Barr dalam Al Istī’āb, 4: 373, usia Fatimah saat menikah adalah 15 tahun dan 5 bulan, sementara menurut Ibn Ḥajar dalam Al Iṣābah, 4: 377, Ibn Sa’d dalam Al Ṭabaqāt, 8: 22, dan Abī al Faraj dalam Maqātil Al Ṭālibyyīn: 30, umurnya adalah 18 tahun.
[2] Huṭamiyyah adalah nisbat kepada Kabilah Ḥuṭamah bin Muḥārib, salah satu klan Abdul Qais. Mereka memiliki kerajinan membikin baju perang.
[3] Ibn Isḥāq, Al sīrah Al Nabawiyyah, hal. 246; Al Baihaqiyy, Dalā`il Al Nubuwwah, jilid 3, hal. 160.
[4] Ahmad, Al Musnad, jilid 41, hal. 75 dan jilid 42, hal. 54; Al Nasāiyy, Al Sunan Al Kubrā, jilid 8, hal 304; Al Ḥākim, Al Mustadrak, jilid 2, hal. 194.
[5] Ahmad, Al Musnad, jilid 38, hal. 143.
[6] Al Bukhāriyy, Al Jāmi’ Al Ṣaḥīḥ, jilid 2, hal. 837; Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 3, hal. 1568.
[7] Ahmad, Al Musnad, jilid 38, hal. 143.
[8] Al ‘Allāmah al Majlisiyy, Biḥār al Anwār, jilid 43, hal 95.
[9] Empat mud sama dengan satu shā’, ukuran membayar zakat fitrah yang menurut banyak kiai setara dengan 2,5 kg.
[10] Al ‘Allāmah al Majlisiyy, Biḥār al Anwār, jilid 43, hal. 121.
Sumber FB Ustadz : Abdul Ghofur Maimoen
Beliau berdua (Ali dan Fatimah radhiyallahu anhuma) menjadi penghibur dan kebanggan bagi kami yang pernah menjalani walimah pernikahan sederhana dan memulai rumah tangga dengan kondisi ekonomi serba "belum ada".
by Ustadz : Najih Ibn Abdil Hameed