ANTARA PENCERAMAH DAN ORANG BERILMU
Fenomena penceramah kurang berilmu sebenarnya merupakan hal yang tidak asing, jauh sebelum ini, dalam literatur kitab sering ditemukan sebuah adagium sebagai berikut;
نحن دعاة لا قضاة
"Kami hanya penceramah bukan pemutus hukum".
Ulama' zaman dulu memang membedakan antara penceramah dengan orang alim yang memiliki kapasitas untuk menjelaskan sebuah hukum dan bahkan memutuskan hukum.
Seorang penceramah sebenarnya tidak dituntut harus orang yang sangat berilmu, sebab tugasnya hanya tiga hal pokok; mengajak pada kebaikan, mengajak menjauhi keburukan, dan mengajak berbakti kepada orang tua. Karenanya Hb. Abdulloh alHaddad menyampaikan bahwa sebaiknya materi ceramah itu tidak keluar dari tiga tema tersebut, dan garis besarnya adalah mengajak. Penceramah hanya bertugas bagaimana masyarakat mau shalat, mau puasa, mau zakat, mau haji dan mau ngaji. Penceramah tidak perlu menjelaskan tehnis shalat, puasa, dan haji itu seperti apa, apalagi menjawab hukum problematika kekinian. Karena itu ranahnya majlis taklim, ruang kelas, pondok pesantren, dan tempat mencari ilmu yang lain, bukan mimbar ceramah.
Zaman dulu, sangat jarang ditemukan penceramah berbicara tentang hukum, dan tidak juga ada orang yang bertanya hukum pada penceramah. Karena memang target dari sebuah ceramah, bagaimana audiens termotivasi untuk berbuat baik, dan menjauh dari maksiat, itu saja tidak lebih. Sehingga ketika ada penceramah berbicara hukum, atau ada orang bertanya pada penceramah, adagium di atas akan segera disampaikan; "Kami hanya penceramah bukan mufti".
Para penceramah zaman dulu akan mengarahkan penanya untuk bertanya kepada mufti atau orang alim setempat, tidak menjawab pertanyaan karena memang bukan kapasitasnya. Bukan karena tidak punya ilmu, tapi ada orang yang lebih berhak menjawab dibanding dirinya, sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat dulu. Atau jika dirinya mumpuni dan juga punya kapasitas, momennya bukan saat ceramah untuk menjawabnya.
Maka sudah seharusnya para penceramah zaman sekarang tahu diri dan sadar diri, bahwa kapasitasnya saat berceramah hanya orang yang mengajak bukan orang yang sedang mengajar, jangan over acting. Masyarakatpun harusnya tidak berharap terlalu banyak dari seorang penceramah, dengan menginginkan tema tertentu, apalagi sampai ada tanya jawab. Jika memang ingin belajar ilmu, datanglah ke majlis taklim, ruang kelas, dan pondok pesantren. Atau jika memang acaranya ingin diseting menjadi majlis taklim atau ruang kelas, datangkanlah orang berilmu bukan penceramah.
Tentu bukan berarti seorang penceramah sama sekali tidak perlu ilmu, karena bagaimanapun yang disampaikan adalah agama, maka semua harus atas dasar ilmu, tapi penekanan materi yang disampaikan perlu dibatasi. Ulama' zaman dulu yang sudah sekelas mufti, tidak sedikit yang juga menjadi penceramah. Dengan keilmuan yang sangat luas dan mumpuni, saat berceramah materi yang disampaikan tetap dibatasi, karena tuntutan ilmu itu sendiri. Ada saatnya ketika beliau-beliau mengajar, atau di luar mimbar, akan menjelaskan hukum dan menjawab pertanyaan. Ulama' zaman dulu juga tidak melarang orang yang tidak punya kapsitas ilmu mumpuni untuk berceramah, asalkan materinya sesuai kapasitasnya, dan tidak melanggar pakem agama, dan tidak terlalu banyak cerita yang tidak berdasar. Karena ceramah adalah seni mengajak, tidak semua orang bisa, bahkan yang berilmu sekalipun. Sehingga siapapun asalakn bisa mengajak kebaikan, dipersilahkan untuk berceramah. Baru ketika ada sebuah pelanggaran, ulama' tidak segan untuk menghimbau pemerintah membubarkan ceramah yang berlangsung sebagaimana yang dilakukan Imam Ghazali. Di sinilah sebenarnya standarisasi dai itu dibutuhkan, bukan untuk menstandarkan keilmuan, tapi menstandarkan kepatutan dalam menyampaikan materi.
Sumber FB Ustadz : Mukhtar Syafa'at