Mengambil Ujrah (Gaji) dalam Berdakwah, Antara Ikhlas dan Kewajiban

Mengambil Ujrah (Gaji) dalam Berdakwah, Antara Ikhlas dan Kewajiban

Mengambil Ujrah (Gaji) dalam Berdakwah, Antara Ikhlas dan Kewajiban

Saya sangat setuju sama pendapat sidi Habib Alibaqir dibawah. Selama ini banyak yang lupa dengan fardhu kifayah yang satu ini. Seolah yang bertanggungjawab untuk keberlangsungan ilmu agama hanya tanggung jawab ustadz saja. Padahal jika disuatu tempat tidak ada yang mengajar agama, maka seluruh orang ditempat tersebut menanggung dosa, itu karena mereka meninggalkan fardhu kifayah itu. Maka dari itu dibutuhkan kerjasama untuk melaksanakan fardhu kifayah

Jika tidak ada yang mampu mengajar sendiri didaerah tersebut, maka tetap harus ada yang mengajar agama didaerah tersebut, caranya? Mencari seorang yang mau mengajar. Jika semua orang alasannya sibuk menafkahi keluarganya, karena itu fardhu ain, maka harus masyarakat setempat menggaji seorang ustad sesuai kebutuhan si ustadz untuk mengajar ditempat tersebut, sehingga kebutuhan si ustadz terpenuhi, jadi dia bisa mengajar ditempat tersebut tanpa harus melanggar fardhu ain memberi nafkah untuk keluarganya

Dengan begitu fardhu kifayah ditempat tersebut terpenuhi, tidak ada dosa lagi bagi orang setempat karena tidak adanya yang mengajar didalamnya, dan tidak ada dosa lagi bagi si ustadz ketika mengajar, karena dia tetap bisa mengajar tanpa Harus meninggalkan nafkah wajib pada keluarganya. Dengan gaji yang cukup itu, hukum mencari nafkah dengan selain mengajar bagi pak ustadz yang sebelumnya fardhu ain sudah berubah karena sudah tercukupi dari gaji mengajarnya 

Dulu sebenarnya saya agak aneh dengan keadaan mengambil gaji dalam mengajar agama, ini mungkin dipengaruhi oleh keadaan pribadi saya, dimana saya belajar agama langsung ditempat dimana saya mengaji dari kitab mubtadi sampai muntahin, tanpa dipungut uang sepeser pun, bahkan lebih dari itu saya dibiayai oleh guru-guru saya. Makanya sampai saat ini saya pribadi masih risih mengambil amplop atau gaji ketika mengajar, karena memang guru saya ga ada yang melakukannya, bahkan sebagian mereka tidak mengambil gaji ketika mengajar dikampus. Meskipun risih saya diam saja, karena saya tau kalau hukumnya boleh aja. Hukum ya hukum, ga boleh tergantung pada selera saya

Jadi otak saya terbentuk dengan pendidikan dan kebiasaan itu, bahkan sampai saat ini jika kadang saya menerima amplop selesai mengajar itu biasanya pasti karena terpaksa, misalnya kalau mereka mengatakan tidak bisa mengajar kalau ga mau digaji dengan alasan birokrasi kantor, atau mereka memasukan amplop secara sembunyi-sembunyi ke kantong atau plastik makan karena mereka tau saya akan menolaknya jika diberi langsung, atau kalau diamplopin didepan umum saya terpaksa menerima karena ga enak harus dorong-dorongan dengan pengurus didepan orang ramai, dan berbagai keadaan terpaksa lainnya

Walau demikian, meskipun saya pribadi risih menerimanya tapi saya sangat mengerti kalau keadaan setiap orang berbeda, tidak semua orang seperti keadaan saya. Saya tau, itu semua mungkin karena saya belum butuh dan saya masih merasa cukup, mungkin karena saya belum ada tanggungjawab untuk orang lain, ga tau gimana dimasa depan. Saya tidak boleh egois, saya tidak boleh mengqiyas semua orang sama dengan saya, saya harus memahami keadaan orang lain yang berbeda dengan saya

Saya memang tidak pernah protes dengan hukum mengambil ujrah mengajar, memang ada kok  Tapi jujur saya terlambat memahami ini, karena keadaan tadi. Yang membuat saya sadar akan keadaan ini adalah penjelasan hukum mengambil upah bagi yang mengajar agama, saat pengajian syeikh husamudin farfur, beliau memberi satu faidah penting dalam ngaji, dimana sebenarnya hukumnya sudah saya tau sejak lama, bahkan semua yang belajar ilmu hadis pasti tau, yang belajar fikih juga tau, ya hukum mengambil ujrah(upah/gaji) dalam mengajar boleh, bahkan dalam mengajar alquran dan hadis sekalipun

Hanya saja keadaan di syam, tempat saya belajar, dimana semua ngaji gratis, membuat saya tidak terlalu memahami hukum itu, tapi faidah dari syeikh husam itu membuat saya tersadar, ternyata hukum bolehnya mengambil upah mengajar itu sangat penting dimana jika tidak menerapkan hukum itu dalam keadaan tertentu berdampak parah terhadap agama disuatu tempat. Beliau memberi contoh yang sangat detail, yaitu keadaan suriah yang sedang ditimpa krisis ekonomi, karena embargo dari barat, dimana nilai mata uang turun hampir 300 kali lipat, dan barang kebutuhan meningkat drastis

Krisis ini berefek pada keadaan ekonomi sebagian keluarga, yang sebelumnya sangat berkecukupan, bahkan lebih dari cukup, tapi terpaksa harus bekerja lebih ekstra hanya untuk mencukupi nafkah keluarga, karena semuanya serba mahal sedangkan penghasilan menurun. Termasuk yang paling berdampak dengan keadaan ini adalah sebagian ustadz terutama yang baru merintis bisnis atau kerjaan, dimana sebelumnya mereka cukup bekerja 4-6 jam perharj saja untuk memenuhi kebutuhan, terpaksa menambah jam kerja mereka secara drastis, ini berdampak pada waktu mereka mengajar ilmu agama yang jadi berkurang

Bahkan sebagian mereka ada yang tidak sempat lagi mengajar, kecuali sangat sedikit, keadaan yang sebelumnya tidak terbayangkan, jika ini berlanjut akan bahaya untuk ilmu agama, maka salah solusi utama dalam masalah ini adalah memberi ujrah(gaji) mereka dalam mengajar agama, sehingga pekerjaan mereka dibidang bukan mengajar bisa dikurangi tanpa harus mengganggu nafkah atau kebutuhan keluarganya, walaupun faktanya sampai saat ini mereka tetap tidak berubah 😬, tapi tentu saja keadaan ini ga boleh berlanjut

Ini bukan tentang ikhlas atau tidak ikhlas, tapi tentang memenuhi fardhu kifayah dan fardhu ain. Ini tentang hukum wajib, yang jika ditinggalkan berdosa. Ditambah dalam beberapa keadaan ada manfaat lain dari mengaji dengan meminta bayaran. Ini saya dapatkan dari salah satu dosen saya dulu, almarhum syeikh alaudin alhamwi, sebenarnya pendapat beliau agak aneh dilingkungan ahlul ilm di syam, apa itu? Saat beliau membuat daurah satu kitab, maka beliau meminta peserta membayar ujrah, jika peserta tidak pernah libur dan lulus ujian, maka uangnya dikembalikan hahaha

Alasan beliau melakukan Ini didasarkan dari pengalaman pribadi beliau, menurut beliau dengan membayar uang para peserta biasanya akan lebih menghargai sebuah daurah, dan tidak mudah meliburkan diri, soalnya mereka tidak mau rugi, karena sudah membayarnya, jadi mereka akan lebih berkomitmen untuk hadir. Berbeda dengan daurah gratis, biasa pesertanya meremehkan daurah, jadi gampang aja libur atau meninggalkan daurah "halah kan gratis, ya ga masalah kalau libur". Ruuugi doonk. Ustadnya rugi waktu, faidah bagi murid kecil. Apalagi daurah online gratis, hahaha

Sedangkan dengan membayar peluang murid untuk istiqamah lebih besar, jadi waktu ustad untuk persiapan ngaji atau waktu mengaji ga terbuang, bahkan jika murid meninggalkan daurah ditengah jalan, maka waktu ustad tidak seratus persen rugi, minimal walau daurah ga jalan, waktu yang tadinya bisa dipakai untuk hal produktif lain, tetap bisa produktif, ya mendapat gantinya dengan uang pendaftaran tadi. Jadi sebenarnya sangat efektif. Kayaknya bisa dicoba gaya ini, apalagi kalau online, biasanya jarang yang komitmen. Hahaha. Adapun murid ga mampu, mereka dikasih diskon atau gratis, jadi tetap membuka peluang ilmu bagi mereka

Saya juga mendengar ini beberapa kali, salah satunya dari teman Gontor, kata dia alasan Gontor masi meminta spp dari murid ya agar murid dan wali murid merasa bertanggungjawab, tidak main lepas begitu saja, masak udah bayar malah disia-siain, rugi donk, oh ya ga mampu tinggal beasiswa. Saya juga pernah baca status syeikh said foudah mirip seperti itu ketika membuka daurah nafeea, berdasarkan pengalaman beliau murid lebih menghargai waktu kalau sudah membayar.

Nah keadaan bisa beda. Ada kalanya lebih baik mengambil ujrah, adakalanya lebih baik tidak mengambil ujrah, tergantung keadaan yang didakwahi atau pendakwahnya. Tapi teman saya ada juga yang mengambil jalan tengah, dimana beliau bilang saya secara umum mengambil ujrah, tapi ada beberapa tempat yang saya gratiskan, jadi nafkah fardhu ain cukup, fardhu kifayah tertutupi, sisi murni dakwah dan khidmah juga dapat. Istilahnya kalau kebutuhan yang wajib sudah terpenuhi kita bebas melakukan yang sunnah. Jangan tuntut yang fadhail kalau faraidh belum dipenuhi. Yang benar aja, rugi donk. Hehe 

Orang agama mesti miskin & tidak boleh kaya.

Saya setuju dengan beliau.saya dulu pernah mengajar agama secara gratis selama beberapa waktu akibatnya banyak hak-hak istri & anak saya tidak terpenuhi bahkan pernah suatu saat anak saya sakit teruk diMalaysia kemudian disuruh menginap di Hospital akan tetapi saya tidak mau sebab tidak punya cost untuk bayar hospital.

Diatas itu para student akan merasa meremehkan kelas & gurunya karena tidak ada bayaran sama sekali untuk iuran kemudian ketika saya tukar sistem dengan mewajibkan membayar 50rm setiap bulan saya lihat para student lebih rajin,menghargai saya  & berkomitment dalam kelas.

Mengajar agama itu hukumnya fardhu kifayah sedangkan menafkahi keluarga itu hukumnya Fardhu Ai’n maka jika mengajar dengan menzolimi keluarganya dalam keadaan mereka tidak ikhlas kemgkinan yg dia dapatkan adalah dosa dari keluarganya.

Setelah lama menjadi Ust maka saya merasa ada semacam mindset dari sebagian orang terhadap ust bahwa peniaga boleh kaya,pegawai kerajaan boleh kaya & politician boleh kaya akan tetapi “ust tidak boleh kaya” “ust mesti miskin” kalau tidak maka ust tersebut tidak ikhlas,tunggang agama etc.

Wallahu A’lam 

Sumber FB : Habib Ali Baqir al-Saqqaf

Sumber FB Ustadz : Fauzan Inzaghi

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Mengambil Ujrah (Gaji) dalam Berdakwah, Antara Ikhlas dan Kewajiban - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®