MENDUDUKKAN POSISI SYAIKH YUSUF QARDHAWI SECARA ADIL
Syaikh Yusuf Al Qardhawi suka atau tidak, perlu diakui telah memberikan kontribusi besar dalam menambah khazanah zakat, beliau telah memberi sebuah pandangan baru dalam bab zakat lewat bukunya Fiqih zakat.
Buku fiqih zakat menurut kami memang tidak semua dapat diterima tapi juga tidak semua layak ditolak, ada ijtihad fiqih Syaikh Yusuf Qardhawi yang patut dipertimbangkan khususnya di beberapa sumber zakat kontemporer seperti zakat perusahaan, zakat saham dll.
Ada dua aspek yang akhir-akhir ini kembali mencuat seputar buku fiqih zakat yaitu soal pemaknaan sabilillah dan zakat profesi, untuk dua hal ini saya termasuk yang tidak sependapat dengan beliau dan lebih memilih mengikuti pendapat Ulama' Klasik Madzhab, namun meskipun tidak setuju dengan Syaikh Yusuf Al Qardhawi bukan berarti kita melebih lebihkan tuduhan kepada beliau bukan ?
Pertama, Perihal pemaknaan Sabilillah memang benar kata Ustadz Pdjatmiko bahwa Syaikh Yusuf Al Qardhawi tidak mengikuti pendapat yang meluaskan makna Sabilillah sehingga tanpa batas, tapi bukan berarti beliau mengikuti pendapat Ulama' Klasik yang memaknai Sabilillah hanya pada urusan Jihad Perang dan yang berkaitan dengannya.
Oleh Yusuf Al Qardhawi Sabilillah ia maknai sebagai semua hal yang berkaitan untuk mengangkat agama islam lewat jalur apapun termasuk jalan sosial, pendidikan, dakwah, ekonomi dan sebagainya.
Hal ini ia sampaikan dalam buku fiqih zakat halaman 626 seperti pada gambar 1 (kalimat yang di kotak merah) :
"Oleh karena itu saya menyimpulkan untuk tidak meluaskan makna sabilillah dengan mencakup semua maslahah dan ibadah, tapi saya juga tidak memilih untuk menyempitkan maknanya sehingga maknanya hanya seputar pertentaraan.
Karena jihad kadang juga dengan pena dan lisan, dan kadang juga dengan pedang dan panah, kadang jihad juga secara pemikiran atau pendidikan atau ekonomi atau sosial juga kadang dengan perang.
Dan setiap jihad ini butuh pembiayaan".
Yusuf Al Qardhawi secara lebih gamblang lagi memberi contoh bentuk sabilillah yang ia maksud di halaman 635-637 (lihat gambar 2), ia memberi contoh diantaranya membangun pusat dakwah islam, Islamic center, koran islam dll.
Kedua, perihal zakat profesi bahwa memang benar Yusuf Al Qardhawi mewajibkan zakat profesi dalam bukunya Fiqih Zakat dengan tanpa haul tapi tetap dengan nishab (seperti emas).
Namun perlu dicatat bahwa Yusuf Al Qardhawi menetapkan zakat profesi diambil dari GAJI BERSIH (setelah dipotong kebutuhan pokok dasar) bukan GAJI KOTOR sebagaimana yang dipraktekkan oleh BAZNAS dan Lembaga Amil di Indonesia.
Hal ini bisa dilihat pada halaman 487 Buku Fiqih Zakat:
"Dan kami katakan (diambil dari gaji bersih) untuk agar dikurangi dari gaji itu utang kalau ada, lalu kebutuhan dasar untuk kehidupannya dan kehidupan orang yang ditanggungnya, karena kebutuhan dasar ini sesuatu yang tidak mungkin diabaikan, adapun zakat diwajibkan pada sisa gaji di luar kebutuhan dasar sebagaimana yang kami katakan di pembahasan lalu"
Nah, lantas dari mana BAZNAS dan LAZ merujuk pengambilan zakat dari nilai gaji kotor (ini yang bikin gerutu para pegawai) ??
Jawabnya dari FATWA MUI No 3 tahun 2003 (Lihat Gambar 4), dalam fatwa itu memang MUI menjadikan pendapat Yusuf Al Qardhawi sebagai salah satu referensi, hal ini yang kemudian hari membuat Yusuf Al Qardhawi seolah paling dikambinghitamkan.
Sedangkan di fatwa MUI mekanisme zakat profesi lewat "pendapatan bersih" hanya menjadi salah satu opsi saja (lihat gambar 4 "waktu pengeluaran pada nomor 2) bukan sebagai opsi satu satunya itu pun tanpa keterangan detail yang dimaksud "pendapatan bersih" akhirnya ini menjadi celah bagi sebagian Lembaga Amil untuk menetapkan zakat profesi pada pendapatan kotor saat menerimanya merujuk pada mekanisme nomor 1.
Wallahu'alam.
Sumber FB Ustadz : Muhammad Salim Kholili