Benarkah Ada Hadits Keutamaan Tarawih 30 Malam?
( kritik atas Hadits yang viral setiap bulan Ramadhan )
Setiap bulan Ramadhan, kita seringkali menemukan hadits yang biasanya selalu disebarkan oleh banyak masyarakat, salah satunya adalah hadits keutamaan Tarawih komplit mulai malam pertama sampai malam terakhir, kalian mungkin pernah menemukan sebagian kerabat atau sahabat yang menyebarkannya dan menjadikannya sebagai status wa setiap hari di bulan suci ini.
tapi yang menjadi masalah disini, banyak yang mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits Maudhu’ alias palsu, apakah benar seperti itu realitanya ? mari kita bahas secara ilmiah dan objektif 👉
1. bertentangan dengan sejarah shahih dari sholat Tarawih
ada beberapa “kejanggalan” yang membuat kita patut mencurigai hadits ini, yang pertama adalah konten hadits ini yang sangat jelas bertentangan dengan sejarah dari sholat Tarawih itu sendiri, buat kalian yang mengkaji ilmu hadits dan sejarah Nabi, pasti sudah mengetahui bahwa Tarawih “Continue” 30 malam berturut-turut belum ada pada zaman Baginda Nabi, melainkan baru ada pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ، أَنَّ عَائِشَةَ، أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ، فَصَلَّى فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ، فَتَحَدَّثُوا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ، فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ، فَتَحَدَّثُوا، فَكَثُرَ أَهْلُ المَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ المَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَتَشَهَّدَ، ثُمَّ قَالَ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا» قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: تَابَعَهُ يُونُسُ (رواه البخاري)
Hadits Shahih yang diriwayatkan Imam Bukhori diatas jelas mengatakan bahwa Baginda Nabi Saw hanya pernah Sholat ( di tengah malam di bulan Ramadhan, belum ada nama “Tarawih” ketika itu ) selama 3 malam, setelah itu beliau tidak pernah lagi keluar untuk sholat di masjid selama Ramadhan bersama para sahabat karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas para ummatnya, dan mereka tak akan mampu. tentunya unik jika tiba-tiba dan ujug-ujug ada hadits Nabi yang menjelaskan keutamaan Tarawih secara komplit mulai malam pertama sampai malam terakhir
2. Nama “Tarawih” belum ada di zaman Baginda Nabi
Para pakar sejarah sepakat bahwa sholat malam berjamaah di masjid setiap malam Ramadhan baru dilaksanakan oleh Sayyidina Umar dalam masa kepemimpinannya, Imam Thobari mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun 14 Hijriah atau 922 Masehi, dan masih belum ada penamaan “Tarawih” pada waktu itu, tidak ada data hadits baik Sabda Baginda Nabi atau komentar para sahabat yang menyebutkan nama “Tarawih” secara spesifik, bahkan Sayyidina Umar sekalipun. Nama “Tarawih” baru muncul setelah ummat Islam pada waktu itu “menyela-nyela” setiap 2 atau 4 dari 20 Rakaat Tarawih dengan “rehat” sejenak, rehat ini yang dalam bahasa arab dinamakan “Tarwihah” yang dalam bentuk pluralnya disebut “ Tarawih”
وَالتَّرَاوِيحُ جَمْعُ تَرْوِيحَةٍ وَهِيَ الْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ مِنَ الرَّاحَةِ كَتَسْلِيمَةٍ مِنَ السَّلَامِ سُمِّيَتِ الصَّلَاةُ فِي الْجَمَاعَةِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا اجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلِّ تَسْلِيمَتَيْنِ
( Fathul Bari, 4 / 250 )
3. Hadits ini sama sekali tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits yang kredibel
ini salah satu point yang paling janggal ( emang boleh sejanggal itu ? ) Fakta dan realita yang tidak bisa dipungkiri adalah hadits ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab Hadits yang “Mu’tabaroh”, bahkan dalam kitab-kitab yang menjelaskan hadits-hadits paling palsu sekalipun. padahal adanya sebuah “referensi” merupakan syarat paling utama untuk menentukan status dari sebuah hadits. hadits ini hanya disebutkan dalam kitab “Durrotunnasihin” sebuah kitab petuah dan nasehat yang di-blacklist oleh banyak ulama pakar hadits karena memuat hadits-hadits palsu tak bersanad dengan prosentase yang sangat besar
4. Durrotunnasihin adalah kitab yang sangat problematik
jika hadits itu dimuat dalam kitab sekaliber “Ihya’ Ulumuddin” mungkin kita masih bisa berhusnudzon karena penulisnya adalah ulama agung seperti Imam Ghozali, akan tetapi “Durrotunnasihin” adalah kitab yang berisi kisah-kisah dan petuah yang dipermasalah oleh banyak ulama ahli hadits seperti : Sayyid Muhammad Al-Maliki ( yang kata aba saya bahkan menamakan kitab itu sebagai “ ضرة الناصحين ", Habib Abdullah Bin Abdul Qodir Bilfaqih, Kh. Ali Mustafa Yaqoub dll )
Penulis Kitab Durrotunnasihin sendiri yaitu Syaikh Usman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubary adalah sosok yang cukup misterius, sangat minim sekali data dan referensi yang menukil tentang biografi beliau ( apa specialis keilmuan beliau dan dimana dan kepada siapa beliau berguru, apakah beliau ahli hadits atau bukan ? )
5. iming-iming pahala yang sangat “wah” dan luar biasa
Para ulama pakar hadits mengatakan bahwa salah satu indikasi “kepalsuan” hadits adalah iming-iming pahala yang sangat besar untuk ibadah dengan “effort” yang sederhana, tentunya ini hanya indikasi yang sekuat apapun, penentu utamanya adalah “sanad” dari hadits tsb, pahala “wah” dan “wow” dalam hadits ini semisal mendapat pahala mengkhatamkan 4 kitab suci, diberi anugerah seperti ibadahnya para Nabi, seperti melakukan 1000 haji, dll.
6. Hadits ini tidak memiliki sanad sama sekali
الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
"Sanad adalah bagian dari agama, kalau bukan karena sanad maka siapa saja bisa mengatakan apa yang dia suka “
ini adalah puncak dari kejanggalan hadits ini, hadits ini tidak punya sanad sama sekali ! Hadits ini hanya dinisbatkan kepada Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi dalam sebuah kitab problematik yaitu Durrotunnasihin tanpa menyebutkan silsilah sanad dari hadits tsb. padahal kita ketahui sendiri bahwa sanad atau mata rantai informasi adalah elemen paling penting dalam menentukan benar tidaknya sebuah ucapan yang diklaim sebagai Sabda Baginda Nabi Saw
7. Komentar para ulama terkait hadits ini
Kh. Najih Maimoen Zubair memiliki kitab khusus yang menjelaskan status hadits-hadits yang ada dalam kitab Durrotunnasihin bernama “ Qurrat Ain Annadzhirin fi Takhrij Ahadits Durrotinnasihin” , tulis beliau ketika mengomentari hadits ini :
لم نقف عليه في مراجعنا
“ kami tidak menemukan hadits ini dalam referensi-referensi kami “
Kh. Ali Mustafa Yaqoub menuliskan :
“ Hadis ini merupakan penggalan dari Hadis panjang tentang keutamaan malam bulan Ramadhan dari malam 1-30. Hadistersebut tidak ada dalam kitab-kitab hadis. Namun. Utsman al-Khubbani dalam kitabnya "Durrah al-Nashihiin" menyebutnya sebagai Hadis Riwayat Ali bin Abi Thalib ra, tanpa menyebutkan dari mana sumber hadis tersebut. Maka dari itu, hadis tersebut adalah hadis maudhu, alias palsu “
8. Kesimpulan
kalo kita mau menilai secara fair dan objektif, kita bisa menyimpulan bahwa Hadits ini adalah hadits yang sangat bermasalah baik dari segi matan ( konten ) maupun dari segi sanad ( mata rantai data ), hadits ini, andaipun belum bisa dipastikan 100 persen adalah Hadits Maudhu’ atau palsu, akan tetapi sudah masuk pada taraf “ Al-Ghalib ala dzon” atau punya potensi yang sangat besar sebagai hadits palsu, kecuali jika teman-teman yang menyebarkannya bisa menyebutkan 1 saja sanad dan referesni lain dari hadits ini.
oleh karena itu hukum menyebarkan hadits ini adalah tidak boleh kecuali jika disertai keterangan bahwa hadits ini adalah hadits palsu, bagaimana jika seseorang menyebarkannya dan menjadikannya sebagai status Wa dengan tujuan baik seperti untuk memotivasi ? jawabannya adalah : semakin tidak boleh. berikut komentar para ulama terkait menyebarkan hadits palsu dengan “dalih” untum memotivasi dan menginsipirasi 👉
لا فرق في تحريم الكذب عليه صلى الله عليه وسلم بين ما كان في الأحكام وما لا حكم فيه كالترغيب والترهيب والمواعظ وغير ذلك، فكله حرام من أكبر الكبائر وأقبح القبائح بإجماع المسلمين الذين يعتد بهم في الإجماع، ويحرم رواية الحديث الموضوع على من عرف كونه موضوعا أو غلب على ظنه وضعه، فمن روى حديثا علم أو ظن وضعه ولم يبين حال روايته وضعه فهو داخل في هذا الوعيد، مندرج في جملة الكاذبين على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويدل عليه ـ أيضا ـ الحديث السابق: من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين.
“ tidak ada bedanya di dalam berdusta atas nama Rasulullah baik dalam menjelaskan hukum, atau dalam memotivasi kebaikan dan mengultimatum dari keburukan, dalam nasehat dll. dan haram menyebarkan hadits palsu bagi orang yang tau atau kuat dalam perasangkanya bahwa itu adalah hadits palsu “ ( Imam Nawawi, Syarah Muslim )
وقد ظنَّ ظانُّون: أنه يجوز وضع الأحاديث في فضائل الأعمال، وفي التَّشديد في المعاصي، وزعموا: أنَّ القصد منه صحيح! وهو خطأٌ مَحْضٌ؛ إذْ قال صلى الله عليه وسلم: " مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ"
“ ada sebagian yang berasumsi bahwa boleh mengarang hadits untuk memotivasi amal baik dan mewanti-wanti dari kemaksiatan dan mereka menyangka bahwa tujuan mereka benar ! dan itu jelas murni sebuah kesalahan “ ( Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin )
Apakah tidak cukup berhusnudzon dan berbaik sangka karena hadits ini dinukil dari kitab yang cukup populer di sebagian pesantren ?
dalam menukil hadits kita tidak cukup mengandalkan husnudzon, bahkan dalam ilmu hadits kita harus bersikap kritis agar berhati-hati dalam menstatuskan sebuah ucapan sebagai bagian dari Sabda Baginda Nabi Saw, oleh karena itu dalam ilmu hadits kita mengetahui sebuah ilmu “kritis” yang dinamakan sebagai ilmu “Al-Jarh wa Ta’diil”
terkait kehati-hatian dalam menukil sebuah hadits yang belum jelas statusnya, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkomentar :
اما الاعتماد في رواية الأحاديث على مجرد رؤيتها في كتاب ليس مؤلفه من اهل الحديث او في خطب ليس مؤلفها كذلك فلا يحل ذلك
“ adapun berpegangan dalam menukil sebuah hadits hanya karena hadits itu ada dalam satu kitab yang penulisnya bukan merupakan ahli hadits, atau dalam ceramah-ceramah yang penulisnya juga bukan ahli hadits, maka itu hukumnya tidak boleh “ ( Fatawa Haditsiah )
Buat kalian yang mungkin mau menambahi dalil dan referensi, atau mau mengkritisi karena memiliki data dan kesimpulan yang berbeda dari ini, maka postingan ini sangat terbuka untuk kalian komentari 🙏🤍🫶
“ jadi orang itu harus siap dikritik, bahkan harus bisa mengkritik dirinya sendiri “ ( Gus Baha’ )
Ismael Amin Kholil, Bangkalan, 5 Ramadhan, 1445 H
baca juga : Adakah Fadhilah Tarawih Perhari?
Sumber FB Ustadz : Muhammad Ismail Al Kholilie