MAKNA BAHAGIA MENURUT IMAM GOZALI
السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ
وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ
"Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuasai nafsunya.”
Konsep bahagia menurut Imam Al-Ghazali ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Orang bahagia adalah yang mampu mengendalikan hafsunya sendiri.
Saat kemarahan menguasi diri, kita disuruh bersabar. Saat ambisi menggebu disuruh qana'ah. Saat ujian mendera disuruh tawakal. Saat iri, dengki, riya, takabur, dan penyakit hati menyelimuti kita disuruh menghilangkan dengan penyuvian jiwa melalui sikap zuhud, warak, khaf dan roja.
Maka, benarlah bahwa ini adalah perkara penguasaan diri. Kita akan bahagia saat mampu mengendalikannya. Kita akan selalu dalam derita saat diri dikuasai oleh nafsu sendiri.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhaj al-‘Arifin mengatakan:
“Jika kau berpuasa, berniatlah untuk mengekang nafsu dari berbagai keinginan. Karena puasa berarti musnahnya kehendak nafsu. Ia mengandung kejernihan hati, menguruskan badan, dan mengingatkan kita untuk berbuat baik kepada kaum fakir. Itu semua tak lain agar kita kembali kepada Allah Ta’ala. Bersyukur atas berbagai nikmat yang Dia anugerahkan, dan meringankan hisab. Maka, anugerah Allah berupa taufik yang menjadikanmu mampu berpuasa itu lebih besar dibanding mensyukuri nikmat dan puasamu yang menuntut balasan dari-nya
"Lapar adalah cahaya, dan kenyang itu api. Sedangkan syahwat layaknya kayu yang akan menjadi mangsa api. Maka, kau tak akan mampu memadamkan apinya hingga ia benar-benar membakar pemiliknya.”
Syekh Yahya bin Muadz Ar-Razi, Kitab Jawahir At-Tashawuf.
Syekh Yahya menggambarkan bahwa sebenarnya lapar itu seperti cahaya, karena biasanya orang lapar akan lebih berpotensi untuk menangkap bisikan-bisikan lembut dalam dirinya. Hal ini merupakan pancaran cahaya Tuhan yang berpadu dalam bentuk kearifan dan kebijaksanaan hidup. Dengan begitu dia dapat mengarahkan pandangan mata hatinya karena terangnya cahaya Tuhan (faidh ar-Rahman).
Bahkan, dengan cahaya itu, dia pun mampu menyingkap tabir selubung yang menutupi sirr, bagian dalam hati yang begitu lembut tetapi amat sukar ditembus.
Lalu, membuka pintu kedekatan kepada Allah, semakin dekat dan dekat, serta menumbuhkan amal shaleh, kedermawanan, dan rasa cinta kepada sesama.
Sebaliknya, rasa kenyang dalam diri seseorang menjadi api. Karena kepuasan nafsu itu melalui syahwat perut hingga menuntut syahwat lainnya dalam bentuk yang beragam. Ia pun akan memunculkan rasa sombong, malas, dan sikap meremehkan ibadah, serta enggan melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Sumber FB Ustadz : Syahbuddin Daulay Almandiliy