"Yang unggul dalam suatu pernyataan adalah makna hakikat"
Ada kata dan ada makna. Kata hanyalah serangkaian huruf dan suara yang dibentuk untuk menunjukkan suatu makna yang ada di dalam benak agar dapat dipahami oleh pihak lain, manusia membuat bahasa mereka sendiri dengan menentukan hubungan antara kata dengan makna yang ada di benak mereka. Ketika manusia memandang ke atas misalkan, mereka melihat seluruhnya berwarna biru dengan ada beberapa yang putih, manusia (Indonesia) menggunakan kata "langit" untuk menyebut yang berwarna biru itu, mereka juga menggunakan kata "awan" untuk menyebut yang berwarna putih tadi, mereka juga yang menggunakan kata "atas" untuk menyebut arah tadi dia melihat. Ini tak hanya terjadi dalam bahasa Indonesia, semua bahasa muncul dari cara yang sama.
Makna yang sesuai dengan tujuan kata itu dibuat dikenal dengan makna hakikat, makna ini adalah yang pertama kali terlintas di pikiran ketika kata itu disebutkan. Ketika disebutkan kata "makan" orang akan langsung memahami maksudnya adalah aktifitas memasukkan makanan ke dalam mulut karena itulah yang terlintas di kepala. "Siapa yang belum makan?" Secara otomatis orang yang belum melakukan aktifitas memasukkan makanan ke dalam mulut akan mengangkat tangan dan yang sudah melakukannya akan diam.
Namun terkadang satu kata digunakan juga untuk makna lain yang tidak sesuai dengan tujuan kata itu dibuat, ia tidak sekuat makna yang pertama, tidak selalu terlintas di kepala ketika kata itu diucapkan, makna ini diistilahkan dengan makna majaz. "Perkuliahan kita memakan waktu dua jam", dalam kalimat ini kata makan digunakan untuk makna lain selain hakikatnya karena perkuliahan bukanlah makhluk hidup, waktu juga bukan objek yang bisa dimakan, dan memakan waktu bukan berarti memasukkan waktu ke dalam mulut. Kata makan dalam kalimat tadi bermakna menghabiskan. Penggunaan makna majaz ini hanya dapat dilakukan jika makna hakikat tidak bisa digunakan.
Kaidah yang sedang kita bahas ini menyatakan bahwa dalam satu ucapan yang berpeluang memiliki makna bercabang maka yang lebih kuat adalah makna hakikatnya hingga konsekuensi hukum yang terjadi adalah sesuai dengang yang dipahami dengan makna hakikat itu. Misalkan seperti kata "tangan kanan" yang makna hakikatnya adalah anggota tubuh dan makna majaznya adalah orang kepercayaan, ketika dikatakan "angkat tangan kananmu!" jelas makna yang dipahami adalah mengangkat tangan kanan dan bukan mengangkat orang kepercayaan. Contoh lain dalam buku kaidah fikih biasanya dicontohkan ketika seseorang mewasiatkan harta kepada "anak-anaknya", kata anak bisa berarti anak kandung ataupun cucu, anak angkat atau bahkan menantu, namun dalam kasus ini wasiatnya hanya berlaku pada anak-anak kandungnya karena jika suatu kata berpotensi memiliki makna bercabang maka yang unggul adalah makna hakikatnya.
Ini memang kaidah fikih, namun juga bisa menjadi kaidah ushul fiqh jika objeknya adalah dalil. Kata "tangan" memang bisa berarti kekuatan selain berarti anggota tubuh, namun firman Allah terkait hukuman potong tangan pencuri tidak bisa dimaknai dengan "belenggu kekuatannya dengan penjara" meski bisa saja dimaknai ke sana karena yang unggul tetaplah makna hakikatnya selama tidak ada hal yang mencegah penggunaan makna hakikat tersebut. Contoh lain dalam hadis tentang rukyat hilal, kata ra'a-yara artinya adalah melihat, namun juga bisa bermakna "tahu" sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Fil, dalam kasus ini tidak ada hal yang menghalangi penggunaan makna hakikat sehingga meski ilmu hisab sudah maju tetaplah perintahnya adalah "melihat hilal" bukan sekedar mengetahui hilal, atas dasar ini tetaplah kemungkinan terlihatnya hilal harus menjadi pertimbangan dalam ilmu hisab.
Sumber FB Ustadz : Fahmi Hasan Nugroho