"Kondisi asal akan selalu tetap sebagaimana kondisi sebelumnya"
Kaidah ini berbicara tentang keberlangsungan suatu kondisi atau suatu hukum, selama belum ada hal yang mengubah hukum atau kondisi tersebut maka ia akan tetap sebagaimana asalnya. Contoh paling mudah adalah jika anda tidak pernah mendaftar sebagai mahasiswa maka sampai kapanpun anda tidak memiliki kewajiban untuk hadir kuliah atau melaksanakan tugas kecuali jika ada hal yang mengubah kondisi itu yaitu anda tercatat sebagai mahasiswa.
Contoh lain adalah sebagaimana yang dituliskan pada postingan sebelumnya (#2.1), selama tidak ada hal yang mengubah status wudhu anda menjadi batal maka anda akan tetap berada dalam kondisi punya wudhu, begitu pula selama anda tidak mengubah status hadats dengan bersuci maka anda akan tetap berada dalam kondisi berhadats.
Contoh lain seperti dalam kewajiban shalat, pada dasarnya manusia itu tidak wajib shalat sampai ada hal yang mengubah kondisi tersebut seperti terpenuhinya syarat taklif (Islam, baligh, berakal, menerima dakwah) maka selama hal itu tidak ada maka orang akan tetap pada statusnya tidak wajib shalat. Begitu pula jika seseorang yang telah mendapatkan kewajiban shalat namun shalat itu tidak ia kerjakan maka kewajiban itu terus akan ada dan menjadi hutang di pundaknya selama shalat itu belum dikerjakan, inilah yang menjadi landasan mazhab Syafi'i dan mayoritas ulama yang menyatakan shalat yang tertinggal dengan atau tanpa udzur harus tetap diqadha berapapun shalat yang tertinggal (kecuali bagi wanita haid dan nifas).
Contoh lain seperti orang yang berbuka puasa karena mengira bahwa sudah masuk waktu maghrib maka puasanya batal karena selama terbenamnya matahari sebagai pengubah hukum puasa itu masih diragukan maka kondisi sebelumnya (siang dan wajib puasa) masih tetap berlaku, begitupun jika orang yang sahur karena mengira bahwa fajar belum masuk maka puasanya tetap sah karena terbitnya fajar sebagai pengubah hukum kebolehan makan masih diragukan hingga kondisi yang lama tetap berlaku. Tapi kasus ini akan berbeda hukumnya jika prasangkanya salah, masih sahur karena mengira masih ada waktu namun ternyata sudah masuk subuh maka tetap batal puasanya, ini dilandasi atas kaidah:
لا عبرة بالظن البين خطؤه
Prasangka yang jelas salah itu tak diperhitungkan.
Seperti orang shalat tanpa berwudhu karena mengira masih punya wudhu namun kemudian diketahui bahwa sebenarnya ia sudah batal, dalam kasus ini maka batallah shalatnya itu.
Kaidah ini bersinggungan dengan salah satu dalil ushul fiqh Istishab karena sama-sama berkaitan dengan keberlangsungan hukum asal. Kita bahas di postingan berikutnya.
Sumber FB Ustadz : Fahmi Hasan Nugroho
Kaidah Fikih Utama II : Tentang Hukum Asal