Pertanyaan Gagal Paham
"Aku sudah punya pasangan di rumah", kata seorang lelaki yang dikenal jomblo.
Kawannya iseng menimpali: "Ah masak. Memangnya siapa perempuan yang mau sama kamu?"
"Pasanganku bukan perempuan", kata si jomblo.
"Kalau bukan perempuan berarti lelaki dong?", tanya temannya.
Si jomblo bilang, "Bukan lelaki juga".
Kawannya bertanya lagi, "Maksudmu pasanganmu kaum lagibete?"
"Nggak juga, bukan lelaki, bukan perempuan dan bukan lagibete".
"Tapi mana ada yang begitu, namanya pasangan pasti perempuan, laki-laki atau paling tidak lagibete. Kalau bukan ketiganya berarti kamu nggak punya pasangan".
"Kamu yang salah paham. Ketiga kemungkinan itu hanya berlaku bagi pasangan manusia sedangkan pasanganku adalah waifu. Secara hakikat, waifu bukan lelaki, bukan perempuan dan bukan lagibete sebab hanya gambar yang ditempel di tembok kamar".
Akhirnya si teman paham maksud "pasangan" si jomblo yang ternyata bukan lelaki, bukan perempuan dan bukan lagibete itu. Waifu bukan jenis sesuatu yang berjenis kelamin meski artinya adalah "istri" sehingga salah bila disebut sebagai perempuan.
Gagal paham yang sama juga berlaku dalam pembahasan akidah, bahkan sering sekali kasus seperti ini terjadi. Jangankan orang awam, yang bergelar imam pun banyak yang gagal paham bila anti pada ilmu aqliyat. Orang-orang yang punya keterbatasan ilmu aqliyat ini gagal paham terhadap pernyataan ulama Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) yang berkata:
"Allah tidak di depan, tidak di belakang, tidak di samping dan tidak juga di atas atau di bawah".
Mereka keheranan, "kalau demikian kan berarti Allah tidak ada dong?" tanya mereka dengan polosnya. Padahal kasusnya hanya gagal paham karena mereka mengira Allah adalah jisim yang pasti punya tempat di salah satu arah itu. Kalau tidak berada di salah satu arah, berarti tidak ada, begitu bayangan mereka. Sama seperti si kawan dalam contoh di atas yang mengira pasangan pasti dari jenis manusia. Padahal, Allah bukan dari jenis jisim sehingga semua opsi tentang arah itu batal secara keseluruhan karena Allah ada sebelum semua tempat dan ruang tercipta. Secara hakikat, Allah tidak dapat disebut di atas, di bawah, di samping, di depan, atau di belakang sebab Allah tidak ada kaitannya dengan seluruh arah, seperti ditegaskan oleh Imam at-Thahawi dalam akidahnya.
Demikian pula ketika Ulama Ahslussunnah wal Jamaah mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam atau di luar alam, tidak bergerak tetapi juga tidak diam, dan ungkapan serupa yang membuat orang yang tidak menguasai ilmu aqliyat kebingungan. Padahal maksudnya sederhanya, yakni sebab Allah laisa kamitslihi syai'un, maka Allah secara hakikat tidak dapat disebut di dalam alam atau di luar alam. Tidak bisa juga disebut bergerak atau diam. Kesemua opsi itu hanya berlaku bagi jisim sedangkan Allah bukan jisim, jadinya tidak nyambung.
Masih bingung? oke, saya tambah contoh lain. Mobil adakalanya cepat dan adakalanya lambat, tapi batu tidak dapat disebut cepat dan sekaligus tidak dapat disebut lambat. Lampu bisa disebut menyala atau padam, tapi meja tidak dapat disebut menyala dan sekaligus tidak dapat disebut padam. Sebuah coretan gambar bisa disebut bagus atau disebut jelek, tetapi sebuah titik tidak dapat disebut bagus atau jelek. Kesemua opsi yang bertentangan itu tidak ada yang cocok sebab objek yang dibahas tidak relevan dengan kata yang dibahas. Ini baru objek makhluk saja sudah bisa tidak nyambung dengan sepasang pilihan kata yang tersedia, apalagi Allah yang memang tidak ada satu pun yang serupa dengan diri-Nya, maka makin tidak nyambung dengan semua opsi yang dikenal dalam realitas manusia.
Seharusnya ini sangat gamblang. Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad